Wawancara

Potret Pendidikan Indonesia di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal

Sen, 3 Mei 2021 | 12:00 WIB

Potret Pendidikan Indonesia di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal

Jadi daerah-daerah 3T sudah terjangkau semua karena umumnya orang berpikir juga cost-nya kalau membuat sekolah di situ, kalau sekolah-sekolah Ma’arif biasanya atas prakarsa dari masyarakat.

Pada setiap 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan tahunan ini ditetapkan sebagai penghormatan kepada Bapak Pendidikan Indonesia yang lahir pada 2 Mei 1889. Pendidikan menjadi sangat penting bagi sebuah perjalanan bangsa. Karena itu, Ki Hadjar Dewantara memiliki motto yang sangat masyhur yakni ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.


Sementara itu, Nahdlatul Ulama memiliki lembaga pendidikan yang kini sudah berusia 91 tahun, yakni LP Ma’arif NU. Lembaga ini sudah banyak memberikan kontribusi bagi perjalanan kehidupan bangsa di dunia pendidikan, bahkan hingga menjamah daerah-daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan) di Indonesia.


Untuk bisa membangun pendidikan Indonesia, Ketua LP Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Zainal Arifin Junaidi memiliki pemaknaan yang sangat menarik tentang pendidikan yang semestinya diwujudkan di Indonesia. Potret pendidikan di Indonesia masih sangat buruk. Terutama karena sistem pendidikannya terlalu banyak yang harus dibenahi lantaran terlalu mengedepankan sisi literasi-numerasi, tetapi meninggalkan pembangunan karakter. 


Keberhasilan LP Ma’arif PBNU di dunia pendidikan telah banyak ditorehkan. Terdapat sekitar enam juta anak didik dari 21 ribu sekolah dan madrasah di lingkungan LP Ma’arif NU se-Indonesia. Hal ini tentu menjadi kebanggaan sendiri secara kuantitas. Ditambah berbagai kualitas yang juga dihasilkan. Sebab dikatakan bahwa LP Ma’arif NU selalu memiliki tekad untuk memberikan tantangan kepada zaman, tidak hanya sekadar menjawab tantangan zaman. 


Seperti apa pemaknaan pendidikan, kritik untuk sistem pendidikan nasional saat ini, kontribusi LP Ma’arif NU di dunia pendidikan, hingga harapan dan pesan bagi seluruh guru di lingkungan LP Ma’arif NU? Berikut petikan lengkap wawancara jurnalis NU Online Aru Lego Triono bersama H Zainal Arifin Junaidi melalui sambungan telepon pada Ahad (1/5) siang. 


Assalamu ’alaikum kiai, saya minta waktu sebentar untuk wawancara terkait Hardiknas. Pertama-tama saya izin minta ucapan dan bagaimana harapan di Hardiknas ini dari LP Ma’arif NU? 


Pertama, karena Hardiknas ini ditetapkan berdasarkan tanggal lahir dari Bapak Pendidikan Bangsa kita, saya ucapkan Selamat Hari Lahir Ki Hajar Dewantara. Kedua, Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mudah-mudahan dengan Hardiknas, pendidikan kita di masa mendatang akan lebih baik lagi. Karena yang utama dari perayaan Hardiknas itu bukan dengan upacaranya, tapi bagaimana kembali ke semangat awal dari Bapak Pendidikan Nasional itu untuk memajukan bangsa Indonesia. Itu yang penting menurut saya. 


Kemudian kiai, bagaimana sih makna pendidikan itu sendiri yang selama ini diterjemahkan oleh LP Ma’arif NU? 


Makna pendidikan itu adalah proses menyiapkan anak baik akalnya, fisiknya atau keterampilannya, dan rohnya, jiwanya, karakternya sehingga dia menjadi orang yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Hal ini sebagaimana yang juga telah ditetapkan oleh UNESCO. 


Menurut UNESCO pendidikan itu adalah how to know (bagaimana mengetahui), di situlah yang disebut dengan bagaimana mempersiapkan akal atau otak bagi anak didik kita. Kemudian how to do (bagaimana melakukan), itu artinya soal melaksanakan atas apa yang diketahuinya. Inilah yang saya sebut sebagai proses mempersiapkan fisik atau keterampilan anak didik. Menurut UNESCO, makna pendidikan yang selanjutnya adalah how to be (bagaimana menjadi). Inilah proses agar anak itu menjadi seseorang, menjadi manusia, menjadi diri sendiri. Itu yang tadi saya sebutkan yang diikuti Ma’arif itu adalah mempersiapkan ruh, jiwa, dan karakternya. Kemudian how to live together (bagaimana hidup bersama). Itulah yang kemudian disebut sebagai anak itu menjadi orang yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.


Itulah makna pendidikan yang kita ikuti dan tentu saja pendidikan itu sangat bermakna bagi perjalanan hidup, tidak hanya seseorang, tapi juga bangsa. Karena itu kita harus terus mendidik dengan sebaik-baiknya, karena masa yang akan datang bisa menjadi baik kalau pendidikan yang sekarang kita laksanakan ini baik. 


Lalu menurut LP Ma’arif NU, bagaimana sih potret pendidikan di Indonesia saat ini? 


Jadi, potret pendidikan Indonesia saat ini belum terpenuhi sebagaimana yang tadi saya sampaikan. Karena sekarang ini lebih mengedepankan atau mengisi how to know-nya saja, akalnya saja. Sebab hal itu dilakukan untuk mengatasi keterpurukan peringkat pendidikan kita di PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional).


Di PISA itu, kita berada di peringkat 72 dari 78 negara. Itu kemudian dijawab (oleh pemerintah) dengan bagaimana kita mengejar literasi dan numerasi, dan itu berarti tidak ada Ujian Nasional (UN). UN diganti dengan Asesmen Nasional. Nah menurut Ma’arif, tidak sekadar itu (literasi-numerasi) yang harus kita kejar. Tapi juga bagaimana pembentukan karakter dari anak-didik kita.


Merdeka belajar misalnya. Itu adalah istilah yang pernah dicetuskan Ki Hajar Dewantara yang saat ini dipakai atau dimaknai hanya sebagai upaya untuk mengejar literasi-numerasi. Padahal Ki Hajar Dewantara dengan belajar merdeka-nya itu justru menekankan pada pengembangan karakter. Karenanya LP Ma’arif NU tentu berharap, bahwa untuk mengatasi keterpurukan pendidikan kita, tidak hanya mengejar literasi-numerasi tapi juga bagaimana mengembangkan karakter anak-didik kita.


Nah dari Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara itu ada harapan bahwa yang dijadikan motto Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu tidak hanya tut wuri handayani. Tapi juga ing ngarsa sung tuladha. Nah ini sekarang tuladha-nya yang sangat minim. Itu kan kalimatnya adalah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kalimat ini dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yang merupakan seorang santri, sekaligus kiai.


Jadi, ing ngarsa sung tuladha itu dijiwai oleh ayat laqad kaana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah (sungguh, telah ada pada diri Rasul itu suri tauladan yang baik). Kemudian ing madya mangun karsa itu terinspirasi dari wa maa arsalnaka illa rahmatan lil alamin (tidak kuutus Engkau, Muhammad, kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta). Kemudian tut wuri handayani itu innama anta mudzakkir (sesungguhnya engkau, Muhammad, hanyalah seorang pemberi peringatan). 


Rumusan Ki Hajar Dewantara itu secara lengkap itu menjadi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Sudah sangat lengkap. Nah sekarang ini apakah misalnya tenaga didik kita sudah memahami kredo atau kalimat itu atau belum? Kalau saya melihat kok masih sangat jauh. 


Berarti kalau ada yang mesti dibenahi, di sisi sebelah mana sistem pendidikan Indonesia harus dibenahi? 


Semua. Karena dari segi literasi-numerasi, sains, yang diukut oleh PISA itu kita jeblok dan berada di urutan 72. Kemudian di HDI (Indeks Pembangunan Manusia), Indonesia berada di urutan 111 dari 134 negara. Ini artinya dalam indeks pembangunan manusia juga jeblok, berada di urutan bawah. Kemudian di competitive development (pembangunan yang berdaya saing), kita juga pada urutan di bawah juga. Jadi, literasi-numerasi jeblok ditambah pembangunan manusianya (human development) juga jeblok. Human development itu karakter, termasuk juga soal pembangunan yang berdaya saing itu. Nah di dalam 18 karakter sebagaimana yang dikehendaki oleh UU Sisdiknas, itu salah satunya kan berdaya saing, itu jeblok. 


Di PISA, peringkat pertama adalah China. Kemudian disusul oleh Singapura, Makau, dan Hongkong. Dari 10 negara peringkat teratas, empat di antaranya itu adalah negara beretnis China. Itu sebabnya saya sekarang menyimpulkan alasan Nabi mengatakan uthlubul ilma walau bisshin (carilah ilmu walau sampai di negeri China), dulu kita menerjemahkan begitu. Saya sekarang menerjemahkan, carilah ilmu walau dengan orang China, kepada orang China. Karena nyatanya kan empat dari 10 negara teratas itu beretnis China. Kenapa kita tidak belajar dari sana?


Misalnya China dan Singapura itu jelas pendidikan karakter sangat dipentingkan, tidak hanya supaya anak didik pintar. Pendidikan karakter yang dikembangkan di sana tentu saja seperti yang hendak kita kembangkan dengan 18 karakter itu. Mereka hanya minus satu hal yaitu kita punya yang nomor satu karakter religius, sedangkan mereka religiusitasnya berbeda dengan kita. Kalau kita mau maju maka jangan malu untuk belajar dari negara-negara itu, termasuk Korea yang berada di urutan ke-9.


Kemudian Finlandia yang selama ini dianggap sebagai negara dengan pendidikan terbaik di dunia, mereka juga tidak hanya mengejar literasi-numerasi. Jadi yang perlu dibenahi adalah kita jangan semata hanya mengejar literasi-numerasi. Karena yang mengukur pendidikan itu kan hanya PISA, tapi kita jangan melupakan ada juga HDI. Karena pendidikan itu arahnya juga untuk menyiapkan manusia. Manusia yang mampu bersaing dalam kehidupan yang akan datang, itu yang tadi human competitive development. 


Sekali lagi, menurut saya, yang perlu dibenahi itu jangan beranggapan bahwa jika literasi-numerasi bagus lalu pendidikan bagus, itu keliru. Menurut saya harus juga dilengkapi dengan pengembangan karakter dan bagaimana hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Itu yang oleh UNESCO disebut sebagai how to live together. 


Oke kiai. Kemudian saya ingin tahu nih kalau secara konkret, bagaimana sih komitmen dan dukungan LP Ma’arif NU untuk dunia pendidikan di Indonesia?


Ma’arif ini adalah lembaga pendidikan terbesar di Indonesia yang diselenggarakan oleh swasta. Jumlah satuan pendidikan kita sekitar 21 ribu sekolah dan madrasah se-Indonesia. Itu terbesar 21 ribu. Sekolah ada 8 ribu, madrasah sekitar 13 ribu. Madrasah kita lebih banyak dari madrasah negeri yang hanya 3600-an. 


Kemudian kalau kita bandingkan dengan Muhammadiyah yang selama ini dikenal sebagai organisasi pendidikan, sekolahnya bagus-bagus itu, hanya punya satuan pendidikan sekira 7600-an. Nah itu kalau Ma’arif kira-kira 2/3 madrasah dan 1/3 sekolah. Kalau Muhammadiyah sekira 2/3 sekolah dan 1/3 madrasah. Hanya saja kalau 2/3-nya dari 7600-an itu kan masih lebih banyak Ma’arif yang punya Ma’arif sekitar 8000 (2/3 dari 21 ribu). 


Kemudian ada yang menilai Ma’arif hanya unggul dari segi kuantitas. Itu keliru. Itu stigma yang ditanamkan orang, yang diberikan orang kepada kita. Nyatanya banyak sekali sekolah Ma’arif yang berprestasi, bahkan tingkat dunia.


SMK NU Banat Kudus itu juara rancangan mode heritage di Paris tahun 2019. Jurusan tata busana, juara internasional di sana. Kemudian, SMK NU 01 Wates, itu juara Teknik Sepeda Motor yang diadakan oleh Astra, juara 1 nasional yang juara 2 SMK Negeri, dan juara 3 dari SMK Muhammadiyah. Kita unggul. Jadi banyak sekali sekolah-sekolah kita yang unggul.


SMA NU 1 (NUSA) Gresik misalnya, itu sudah meraih juara macam-macam. Kalau kita sekarang misalnya mengenal ATM (Automatic Teller Machine), itu dulu yang merancang sistemnya adalah siswa-siswa dari SMA NUSA. Saya diberitahu oleh Presiden Direktur Alto. Alto itu jaringan ATM pertama. Jadi menurut Alto, yang pertama merancang sistem ATM adalah SMA NUSA itu. 


Nah dengan potensi yang sangat besar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas luar biasa besar, Ma’arif punya tekad untuk mengembangkan anak didik menjadi bagian dari bangsa dengan daya saing yang tinggi. Karena itu kita selalu menekankan kepada tenaga pendidik, anak didik, dan pengurus, Ma’arif jangan hanya puas mendidik anak yang mampu menjawab tantangan zaman. Ma’arif harus mendidik anak didiknya mampu memberikan tantangan kepada zaman. 


Nah sekarang ini kita kan lagi pada posisi menjawab tantangan zaman. Kalau kita menjawab tantangan zaman, kita selalu berada di belakang, orang lain yang memberikan tantangan baru kita mencarikan jawaban. Tetapi kalau memberikan tantangan kepada zaman, kita yang berada di depan. Itulah yang hendak kita kontribusikan kepada bangsa ini. Karena kita punya murid 6 juta seluruh Indonesia, tentu sangat signifikan bagi upaya penataan pendidikan di negeri kita. 


Baik kiai. Kemudian bisa disebutkan tidak apa saja yang sudah dilakukan LP Ma’arif NU selama ini untuk berkomitmen terhadap dunia pendidikan, tetapi di wilayah 3T?


Banyak. Kita punya banyak sekolah, terutama madrasah di daerah 3T itu. Di daerah terluar pun, hanya ada madrasah dari LP Ma’arif NU. Contoh di Sota, Merauke, hanya 500 meter dari garis perbatasan dengan Papua Nugini. Di sana, hanya ada madrasah punya kita tidak ada yang lain. Madrasah negeri pun tidak ada. Begitu pula halnya di Kabupaten Keerom, Papua. Kemudian ada di Amanuban, Pulau Timor Bagian Barat, perbatasan dengan Timor Leste, juga hanya ada sekolah kita.


Kebetulan semua sudah saya datangi, jadi saya tahu. Lalu ada di Nunukan, Kalimantan Utara, perbatasan dengan Malaysia, itu juga adanya madrasah punya kita. Nah di daerah-daerah miskin, daerah terbelakang, kita punya misalnya madrasah di Pulau Salama, Sulawesi Barat, itu di satu pulau hanya ada madrasah punya kita juga. Kemudian di Kalimantan Timur ada Pulau Maratua yang dari daratan Kalimantan itu kita naik speed boat saja paling cepat 2 jam. Itu juga hanya ada Ma’arif, Pak Kiai Said yang meresmikan di situ belum lama ini.


Apalagi kalau di daerah-daerah transmigrasi seperti Sulawesi. Di sana banyak sekali daerah yang terdapat sekolah hanya dari Ma’arif. Saya di Papua itu juga pernah ke daerah-daerah transmigrasi di Papua Barat. Kita (Ma’arif) ada juga di Kalimantan Barat, di daerah Sintang dan Melawi, perbatasan dengan Malaysia.


Jadi daerah-daerah 3T sudah terjangkau semua karena umumnya orang berpikir juga cost-nya kalau membuat sekolah di situ, kalau sekolah-sekolah Ma’arif biasanya atas prakarsa dari masyarakat. Jadi masyarakat di situ seadanya saja. Seperti di Pulau Salama, Sulawesi Barat itu, sekolahnya dengan atap dan dinding dari rumbia serta lantai dari tanah.


Kemudian kita bangun dari Ma’arif Pusat. Jadi sekarang dindingnya dari kayu, lantainya diplester pakai semen, dan atapnya juga dari seng. Lalu guru-gurunya kita gaji dari Ma’arif Pusat. Kita sanggup karena sampean tahu berapa yang diminta mereka? Mereka kan mengajukan supaya gurunya digaji karena anak-anak di situ yang penting mau sekolah, masyarakat sudah senang. Jadi saya minta mereka untuk mengajukan anggaran. Nah guru dan kepala sekolah itu ada enam orang, jadi minta satu orangnya Rp150 ribu dikali enam, jadi Rp900 ribu. Ditambahkan Rp100 ribu buat beli kapur. Nah di sana itu, Rp150 ribu sudah banyak itu. Di Jakarta mah cukup sekali makan, ya. 


Jadi sekali lagi, kalau kita selama ini diledek misalnya, sekolah Ma’arif itu punya organisasi bukan punya masyarakat. Tetapi faktanya justru menguntungkan untuk masyarakat di daerah-daerah 3T. Karena sekali lagi, inisiatif dari masyarakat sendiri untuk membuat sekolah.


Nah kenapa misalnya saya tidak membangun gedung besar di situ, seperti di Pulau Salama itu? Karena nanti kan tidak sesuai dengan lingkungan di situ. Jadi elitis, kan. Lha wong di pulau itu masyarakatnya sederhana. Kita juga ada yang belum kita tangani ini, kita dapat wakaf tanah di Pulau Mentawai, Sumatera Barat. Ini karena ada pandemi, jadinya terhenti. Luasnya itu 8000 meter. Jadi, sekali lagi kalau soal di daerah 3T sudah selesai. 


Mestinya kalau pemerintah mau mendukung, memback-up itu sangat bagus. Saya nggak ngerti kenapa Menteri PDT (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) Abdul Halim Iskandar kenapa tidak memback-up sekolah-sekolah NU di daerah 3T. Dulu, sekolah kita yang di Sota, Merauke, sempat ingin dibantu oleh Menteri PDT zaman Pak Eko Putro Sandjojo. Karena saya ke Sota dengan Pak Kiai Said juga. Itu sekolahnya di Serambi Masjid dan belum punya bangunan sendiri. Nah, saya sampaikan waktu itu ke Pak Eko. Tapi sampai Pak Eko pensiun dan ganti dengan yang sekarang, hal itu belum juga terwujud. 


Di Sota ini yang menarik, pernah ada murid-murid yang berasal dari Papua Nugini. Jadi itu kalau dari perbatasan kan hanya setengah kilometer dan itu aspal bagus. Nah katanya yang anak-anak sekolah di situ itu dari perbatasan saja masih 10 kilometer, dan jalannya tanah. Mereka seminggu atau dua minggu sekali pulang ke kampungnya.


Jadi di Sota ini mereka tidur di masjid. Waktu itu kepala sekolah bertanya ke saya, ‘Mereka ini bukan orang Islam bagaimana hukum tidurnya di Masjid?’ Saya jawab, kita doakan saja lah mudah-mudahan masuk NU. Tapi sekarang anak-anak Papua Nugini itu sudah tidak ada. Karena sekolah di situ nggak bayar, gratis. Seperti di Pulau Salama itu gratis. Kebanyakan begitu di daerah 3T kita itu.


Nah, hanya saja kebanyakan berada di daerah transmigrasi. Di sana biasanya yang ngurusi orang-orang transmigran sendiri dari Jawa dan biasanya yang orang-orang asli di situ malah kurang ngurusi. Padahal kalau mereka ini kemudian menjadi pintar itu merupakan aset dari daerah itu sendiri kan.


Apakah selama ini LP Ma’arif NU juga memberdayakan orang lokal?


Iya. Nah ketika kita berhasil memberdayakan masyarakat lokal, misalnya di Bengkalis Riau, beberapa kali saja kita dapat wakaf tanah. Di sana, kita dapat tanah 14 hektar untuk sekolah dan pesantren. Tanah untuk komplek itu lahannya hanya sekitar 2 hektar. Sedangkan yang 12 hektar, lahannya sudah ada tanaman kelapa sawit. Nah kelapa sawit itu hasilnya bisa untuk membiayai sekolah. Kemudian di Indragiri Hulu, pada Rakernas 2020, kita diserahkan tanah 2 hektar. Jadi ketika masyarakat lokal sudah menyadari pentingnya pendidikan maka akan banyak sekali potensi-potensi seperti itu, yang kita sendiri kewalahan. 


Terakhir, apa sih pesan dan harapan untuk seluruh guru di lingkungan LP Ma’arif NU se-Indonesia? 


Ya, mari kita bekerja dengan sebaik-baiknya supaya kita bisa menghasilkan generasi mendatang yang lebih baik dari sekarang ini. Karena kata Nabi juga, kalau hidup kita sama dengan kemarin, itu artinya kita orang yang tertipu. Kalau hidup kita lebih buruk dari kemarin, kita ini orang terlaknat.


Kalau hidup kita lebih baik dari kemarin, kita adalah orang yang beruntung. Nah tinggal pilihan kita mau menjadi orang yang beruntung, terlaknat, atau yang tertipu? Kalau saya, pilihan saya, saya mau jadi orang yang beruntung. Hidup yang akan mendatang itu harus lebih baik dari hari ini.


Karena itu, saya berharap, tenaga kependidikan sampai pengurus yang harus terus bangkit menata pendidikan di lingkungan Ma’arif NU. Jadi ketika 2013, saya ditunjuk jadi Ketua LP Ma’arif NU itu, ketika mengadakan Rakernas hanya 16 wilayah yang datang, tapi sekarang seluruh 34 wilayah hadir semua, dari Maluku Utara, Papua, Papua Barat, semua datang dan mereka sangat antusias.


Nah waktu Januari 2020, saya dengan Wakil Ketua Umum PBNU Prof Maksum Machfoedz meletakkan batu pertama untuk pembangunan MTs di Sentani, Jayapura, tidak jauh dari Bandara Jayapura.


Jadi, sekali lagi, harapan saya bagi tenaga didik, kependidikan, dan pengurus, mari kita curahkan tenaga, pikiran, waktu, dan kalau perlu dana untuk meningkatkan pendidikan kita sehingga hari esok lebih baik dari hari sekarang, dan kita benar-benar bisa mewujudkan dan memberikan tantangan kepada zaman. Jadi tidak hanya menjawab tetapi juga memberikan tantangan. (*)