Wawancara

Habib Anis: Pesantren Ikut Arus atau Menciptakan Arus?

Kam, 13 Desember 2018 | 12:00 WIB

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Hingga hari ini terus bertahan dan bahkan berkembang. Jumlah lembaganya mencapai puluhan ribu yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara jumlah santrinya, menurut data Kemenag RI tahun 2017, ada sekitar 7 juta orang. 

Pada masa lalu, pesantren merupakan sebuah lembaga yang dekat dengan kalangan kerajaan Islam. Ronggo Warsito, misalnya pernah nyantri kepada Kiai Kasan Besari. Bahkan Pangeran Diponegoro juga merupakan seorang santri. Sehingga, pesantren merupakan lembaga yang digunakan keraton untuk transformasi pengetahuan, bahkan revolusi kebudayaan. Pesantren melahirkan manusia-manusia terpilih yang merdeka dan ahli.  

Lalu, bagaimana ceritanya pesantren bisa seperti itu, dan bagaimana dengan pesantren hari ini? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai Habib Anis Sholeh Ba'asyin di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (6/12) malam. Berikut petikannya:

Bagaimana hubungan pesantren dengan keraton atau kerajaan Islam di masa lalu? 

Itu pesantren-pesantren letaknya di kota-kota. Lewat pesantren dan kerajaan pengetahuan disebarkan. Kaum intelektual (pesantren) dan bangsawan (keraton) memiliki hubungan erat. Perubahan-perubahan kebudayaan atau revolusi kebudayaan melalui pesantren dan kerajaan. 

Lalu, pesantren terpinggirkan itu mulai kapan?

Diponegoro. Jadi, ketika perang Diponegoro, ada kooptasi dari asing (penjajah Belanda, red.) kepada kerajaan. Sikap pesantren yang (menentang) tasyabuh (menyerupai kalangan yang yang telah dipengaruhi asing) itu, maka mereka menarik diri. Itu juga menjadi awal jarak antara Islam santri dengan apa yang kemudian dikembangkan sebagai Kejawan. Jadi, mereka (pesantren) menarik diri dari pusat-pusat kerajaan ke desa-desa, dan mereka menolak ekspresi budaya yang sudah diklaim milik keraton seperti wayang. 

Tanda perpisahan itu apa?

Mulai itu pesantren menolak tradisi yang disebut Jawa itu. Itu yang kemudian secara sosiologis terjadi, itu dimanfaatkan Belanda untuk membelah sekalian.  

Generasi-generasi pesantren berikutnya, merasa semakin tidak berhubungan dengan generasi keraton. Begitu juga sebaliknya? 

Ya, mereka menarik diri, dan sampai pada tahun 60-an 70-an, bahkan sampai sekarang banyak pesantren yang menolak wayangan, karena dianggap itu ekspresi budaya Jawa dan budaya Jawa itu sama dengan keraton, dan keraton itu sama dengan budaya yang sudah dikooptasi oleh orang kafir. Padahal mereka lupa, asal-usul wayang itu malah dari (Sunan) Giri. Jadi, wayang yang ada sekarang, yang kita kenal sebagai Sunan Kalijaga, ternyata mazhabnya dari Sunan Giri. 

Apa wayang itu dari luar? 

Enggak, Anda harus bedakan, wayang di Jawa, itu sudah kemampuan kreatif orang di Jawa. Jadi, ada (semacam wayang) di China, ada di Vietnam, tapi di Jawa sudah berbeda jauh. Jadi, kemampuan kreatif orang di Jawa itu menyerap yang dari luar, mengolahnya menjadi sesuatu yang baru. Itu dari China, ya bukan.

Alat musiknya (gamelan) ada di China, ada di Vietnam, tapi di Jawa menjadi orkestra paling lengkap kayak pentas orkestra di Eropa, di Jawa sudah lebih dahulu. 

Kemampuan seperti itu faktor apa? 

Jawa (Nusantara) kan kepulauan, banyak pengaruh masuk. Artinya dia harus banyak mengelola apa  puan yang datang menjadi sesuatu yang baru sehingga dia tidak kehilangan dirinya. 

Kemampuan itu masih berlangsung sampai sekarang tidak? 

Sekarang dibunuh karena kemampuannya ditekan. Dulu kan berdaulat. Banyak orang yang datang, supaya saya tidak kehilangan jatidiri, saya olah menjadi diri saya sendiri. Kemampuan mengolah menjadi sesuatu yang baru dari segenap yang datang itu karena berdaulat. Sekarang itu kan hilang. Mindset dasarnya kan hilang. 

Pengaruh penjajahan? 

Ya, kolonial akhir sebenarnya dan modernitas yang kebablasan ini. 

Kemudian Indonesia menjadi terkesan membebek kepada budaya lain, semisal Eropa dan Timur Tengah? 

Iya. Bayangkan di sini, orang dulu itu kemampuan spiritual yang sangat membanggakan, manusia yang dianggap agung, dan itu hilang. Padahal nanti, kalau kita ikuti jalan peradaban kemampuan manusia itu hanya tinggal dua, kerohanian, dan kreativitas, yang lainnya bisa diganti mesin. Harusnya kalau kita menyadari ulang, harusnya kita sejak awal disiapkan untuk mengarah ke sana. 

Apakah pendidikan model sekarang membunuh dua hal itu? 

Sangat. Sangat. Pendidikan membunuh kreativitas dua hal itu. Bagaimana dulu  pendidikan itu menciptakan manusia tangguh berdaulat. Teorinya begini, DNA orang ada on off itu, orang itu punya kemampuan dasar yang dibunuh karena mindset dibunuh. Kalau dalam teori DNA, orang bisa meloncat sampai 5-6 meter tanpa sadar. Jadi, itu kalau bahasa DNA, DNA-nya on (hidup, aktif). Sekarang siapa yang meng-off-kan? Yang meng-off-kan itu adalah ketakutan-ketakutan yang diciptakan. Jadi, pendidikan yang sebenarnya adalah bagaimana menghidupkan itu semua, tidak terhalangi oleh apa pun. Itu manusia berdaulat. Jadi, meng-on-kan DNA semuanya. Selama ini, sistem pendidikan meng-off-kannya supaya orang bisa dikuasai mesin. Jadi perangkat dalam sistem besar.  Tujuannya pertama dari awal pendidikan di kita ini adalah untuk mengisi lapangan pekerja, pegawai

Itu yang sangat kecewa, pesantren ikut-ikutan. Padahal dulu pesantren itu membentuk orang menjadi berdaulat. Saya kan protes di banyak tempat. Kalau kita mau bongkar sejarah, kenapa kok Indonesia memilih sistem sekolah, padahal secara teoritik, infrastrukturnya belum ada. Yang sudah ada secara nasional adalah pesantren. Kenapa tidak diadopsi? Artinya sudah ada pertarungan sejak awal. Di seluruh Indonesia sudah ada pesantren.

Kondisinya pesantren sudah banyak mengadopsi pendidikan umum. Lalu bagaimana caranya supaya bisa tetap meng-on-kan DNA-nya?  

Saya punya contoh di Kajen, Mbah Dullah Salam itu menolak sistem sekolah, dia mandiri. Artinya kalau jadi persoalan, bagaimana menghidupkan yang mandiri ini supaya lebih dinamik. Tantangan di dalam. Tapi dia sudah menolak semua kurikulum pemerintah, di luar dirinya, dan menolak itu semua. Dan masih bisa hidup. Minimal sampai tahun 2000, sampai 2000 sekian, bahkan sampai sekarang. 

Pesantren juga terkait dengan pikiran orang tua santri yang memikirkan anak-anaknya agar setelah di pesantren itu tidak menganggur.

Bukan sekadar itu, dulu orang jadi kiai itu karena ada santri datang sehingga dulu ada istilah gotakan, gubuk yang dibangun oleh orang tua santri untuk berguru. Si kiainya tidak butuh. Sekarang ada keterbalikan, mendirikan itu butuh murid, sistem pasar; yang dibutuhkan pasar, apa yang disiapkan itu. 

Pesantren kalau tidak mengadopsi sekolahan biasanya tidak laku?

Itu ketakutan dari maindset yang diciptakan. Siapa yang membuktikan itu kalau tidak pernah dicoba? Saya punya beberapa bukti, termasuk yang Kajen itu. Bisa kok. Banyak santrinya dan terkenal. Jadi kan tergantung kedaulatan orangnya kan, kiainya. Ikut arus atau menciptakan arus. 

Bisa tidak pesantren bersiasat dengan mengadopsi sekolahan, pada saat yang sama menciptakan manusia berdaulat? 

Sebenarnya masih ada. Tapi dengan kurikulum yang ikut pemerintah sudah enggak merdeka sebenarnya. Artinya kan kiai seharusnya punya kewaskitaan kan; untuk apa yang dibutuhkan masyarakat dan diajarkan. Dan kewaskitaan itu bukan hanya untuk saat ini, tapi untuk ke depan. 

Meskipun tanpa harus formal ikut pemerintah? 

Iya, itu yang hilang sekarang. 

Bagaimana juga pesantren di era digital sekarang ini? 

Itu juga tantangan artinya. Sekarang lebih banyak kepungan pengetahuan ya. Harusnya ada nilai tambah dari pesantren itu yang tidak akan didapat ketika orang masuk ke internet dan lain sebagainya.  Artinya begini, soal pengetahuan, itu kan kuantitas, itu bisa diambil di mana saja. Kualitas yang sulit dicari. Pesantren seharusnya menciptakan generasi mandiri, berdaulat  sehingga nanti ketika dia masuk ke level mana pun, dapat informasi dari mana pun, dia tetap tidak kehilangan kemandiriannya, tidak bisa dikooptasi oleh pengetahuan mana pun. 

Saya ingat kisahnya Imam Ghazali dan Syekh Abdul Qadir Jailani yang mendidik orang-orang ketika menghadapi pemerintahan yang kocar-kacir waktu itu, sistem pendidikan, dan itu melahirkan Salahudin Al-Ayubi, orang- orang yang lebih bersih mengelola pemerintahan. Mereka sudah visioner itu. Jadi kalau Al-Hallaj mau menciptakan, tapi gagal, dia gerakan langsung, untuk menciptakan pemerintahan bersih, seperti gerakan politik, tapi dilibas kan, tapi kalau seperti Imam Ghazali mendidik orang yang sekian waktu.