Wawancara

Ikranegara: Ada Ruh di Film Sang Kiai

Rab, 5 Juni 2013 | 11:00 WIB

Ikranegara, untuk memerankan Hadratus Syaikh KH Hasyim Ay’ari melakukan riset tentang kehidupan dan kepribadian Rais Akbar NU itu di Tebuireng. Ia berkesimpualan, meskipun sudah tua, Kiai Hasyim tidak lembek dan bungkuk.
<>
Selama riset di Tebuireng, ia “menemukan” yang dia sebut “ruh” yang dikaitkan dengan surah Al-Ashri. Lalu bagaimana pengalaman dia selama memerankan pendiri  NU itu, apa pentingnya nonton film tersebut,  dan pandangan dia terhadap  pesantren? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancari Ikranegara di Jakarta Teater, Jakarta, Kamis (23/5), selepas nonton bersama dengan Wakil Presiden RI Boediono.

Setelah memerankan KH Hasyim Asy’ari, bagaimana pandangan Anda terhadap dia?

Selama ini kan beliau kita kenal sebagai salah seorang pahlawan nasional. Itu lama saya tahu. Tapi yang ini, terutam sekali peran saya pada dia dalam usia 70 tahun ini, biasanya kan ada semacam stereotipe lembek, bungkuk, bertongkat. Ternyata dia tidak begitu, setelah saya tanya-tanya pada orang di Tebuireng sana. Dan saya sendiri umurnya 70 tahun, juga nggak bungkuk-bungkuk. Jadi, ada persamaan itu. Selain itu juga tidak cukup hanya sekadar akting, tapi ada yang bisa disebut akting plus, karena dalam  hal ini ada “ruh”. Ruh dia itu ternyata menurut saya ada di dalam Surah Al-Ashri  di dalam Al-Quran. Saya sebagai aktor tidak cukup mengandalkan kemampuan akting, tetapi ruh itu sendiri, sehingga saya harus menghayati terus surah itu.

Dari mana tahu itu?

Setelah melakukan riset di  sana ya muncul saja. Ketika sedang riset kita menemukan sesuatu yang tidak kita tahu. Itu kesimpulan saja. Dan itu akhirnya jadi pegangan bagi saya memerankan ini. Setiap manusia kan tidak psikologi saja. Akting itu kan psikologi saja, ini ternyata ada yang namanya ruh, jiwa, yang walaupun orangnya sudah mati, ruh itu akan terus. Kalau psikologi akan hilang ketika mati, tapi ruh akan terus jalan, dan itu saya temukan dalam surah Al-Ahsri, surah yang pendek sekali.  

Apa pentingnya memilmkan semacam tokoh KH Hasyim Asy’ari?

Ya, pertama tokoh ini kurang dikenal. Entah kenapa? Tetapi sebenarnya jasanya sangat besar. Maka itu, pantaslah ini untuk difilmkan. Dan juga problemnya dia itu tak mau dibesar-besarkan. Dari keluarganya juga sulit kalau mau dibikin riwayat hidup. “jangan, jangan, dibesar-besarkan, nanti orang memuja-muja”. Akhirnya diizinkan sebatas perjuangannya sebagai  seorang pejuang.

Kesulitan apa memerankan dia?

Saya mencoba bermain dengan semaksimal mungkin. Kesulitannya begini, memerankan peran orang yang sudah dikenal orang, tidak cukup dengan akting yang bagus saja, tetapi harus berhasil dikenal oleh orang yang kenal beliau. Tidak cukup dengan akting yang bagus saja, tetapi harus berhasil diterima orang yang kenal beliau, misalnya keluarga-keluarganya. Ketika keluarga dan orang-orang yang kenal beliau ini mereka bilang, “Wah, ini hidup”. Waktu itu saya merasa bukan hanya sekadar aktor, tapi aktor plus yang tidak mudah dicapai karena itu saya bahagia sekali dan saya mengucurkan air mata ketika mereka mengatakan, “Seperti itulah Mbah Hasyim,”.

Apa pentingnya nonton film ini?

Sangat penting terutama generasi muda, dan generasi tua seperti saya ini yang sudah 70 tahun ini yang sudah memikirkan masalah ruh. Ruh itu kan, kalau jasad sudah mati, tapi ruh tetap hidup. Ruhnya itulah yang saya temukan di dalam hidup dalam surat Al-Asri itu.

Setelah memerankan KH Hasyim Asy’ari, bagaimana pandangan Anda terhadap pesantren?

Saya sendiri orang pesantren. Waktu masih SD, saya belajar ngaji sampai khatam Al-Quran, tajwid di pesantren. Saya lahir di Bali. Karena saya dibesarkan di perkampungan Islam. Di sana ada tiga pesantren. Saya belajar dari salah satu pesantren, tapi nggak pernah nginap di pesantren. Ayah saya mungkin berpikir pesantren ini bagus untuk pendidikan agamanya, sedangkan sekolah biasa itu bagus untuk pandangan duniawinya, kasarnya begitu.

Terkait dunia pergerakan kemerdekaan, menurut Anda kenapa pesantren turut berjuang mengusir penjajah?

Ya, bagi orang pesantren ajaran Islam itu kan melawan kejahatan itu kan amar ma’ruf nahi munkar ya. Menegakkan kebenaran dan melawan kejahatan itu jihad fi sabilillah.

Â