Wawancara AL-QURAN

Jam’iyyatul Qurra wal-Huffaz, Berjuang Syi’arkan Al-Quran

Jum, 31 Agustus 2012 | 04:28 WIB

Jam’iyyatul Qurra wal-Huffaz, Berjuang Syi’arkan Al-Quran Jam’iyyatul Qurra wal-Huffaz merupakan jam’iyyah atau organisasi yang didirikan KH Wahid Hasyim pada tanggal 12 Rabul Awwal 1371 H bertepatan 15 Januari 1951 M, di rumah H Asmuni, Sawah Besar, Jakarta. 
<>
Tujuan organisasi ini adalah terpeliharanya kesucian dan keagungan Al-Qur’an. Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an, terpeliharanya persatuan qurra wal-huffazh ahlussunah wal-jamaa’ah. 

Organisasi ini pernah melakasanakan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) antar-Pondok Pesantren seluruh Indonesia. Kemudian kegiatan ini diambil-alih Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Nasional sejak tahun 1968 sampai sekarang. Di sisi lain, saat itu pula, JQH bisa dikatakan “mati suri”.

Lalu, pada tahun 1992, saat KH Abdurahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, JQH kembali diaktifkan. Pada tahun 1999, JQH mengadakan MTQ antar-Pondok Pesantren di Garut, Jawa Barat.  

Belum lama ini, JQH NU menggelar MTQ IV Nasional dan MTQ I Internasional, di samping Musyarah Nasional IV. Pada Munas tersebut, Dr. KH Ahsin Sakho Muhammad kembali dipilih menjadi Rais Majelis Ilmi JQH NU secara aklamasi. Sementara Ketua PP JQHNU KH Muhaimin Zen. Keduanya telah dilantik Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj pertengahan Ramdhan tahun ini.

Dengan demikian, perkumpulan para qori-qoriah, hafidz-hafidzah, para pecinta Al-Quran, yang bernaung di bawah Nahdaltul Ulama ini, akan segera mengabdi di masyarakat. Untuk mengenal gerak dan arah pengabdian organisasi ini, Abdullah Alawi dari NU Online, berhasil mewawancarai Rais Majelis Ilmi Dr KH Ahsin Sakho Muhammad. 

Bagaimana gerak dan pengabdian JQHNU ke depan?

Penataan organisasi terlebih dahulu. Kemudian program-programnya itu lebih dirasakan masyarakat luas dan yang kita harapkan adalah unit-unit JQH yang ada di setiap daerah, mulai dari provinsi sampai kabupaten, bahkan sampai kecamatan, semuanya itu bergerak melalui alur program-program yang ada pada masing-masing itu. ada program-program umum yang harus dilaksanakan, ada program khusus yang juga harus dilaksanakan, bisa dilaksanakan oleh masing-masing.

Selain itu, mendorong adanya insan-insan dari JQH itu bisa menelorkan hal-hal yang baru, metode-metode baru dalam cara menghafalkan Al-Quran, metode baru dalam mempelajari qiroah, tilawah, sosialisasi Al-Quran kepada masyarakat. Jadi, istilahnya insan akademis bisa masuk ke dalam program-program itu sehingga bisa diminati oleh masyarakat. 

JQH bergerak melalui pesantren-pesantren Al-Quran di lingkungan NU. Mereka yang mengajar di TK-TK Al-Quran itu kan sebenarnya berguru kepada kyai-kyai yang punya institusi tahfizd Al-Quran karena itu soko gurunya. Kyai-kyai yang memegang pesantren tahfidzul Quran, itu sebenarnya yang memegang barometer cara pembacaan yang benar.

Kendala yang paling sering dialami dalam gerak atau program JQH?

Yang peling besar kendala selama ini adalah dana, karena bagaiamana pun juga pada zaman sekarang ini, dana ibaratanya roda. Roda itu bisa berjalan dengan bensin. Hanya itu saja. Tapi, Alhamdulillah melalui ide-ide yang kita cetuskan bisa meyakinkan beberapa orang yang bisa mendukung berjalannya roda itu. 

Awal Juli tahun ini, JQHNU menggelar MTQ Nasional dan Internasional. Sebenarnya buat apa repot-repot menyelenggarakannya? 

Pertama adalah bahwa kita ingin mensyiarkan Al-Quran dan masyarakat akan tertarik apabila mendengarakan pembacaan Al-Quran dengan lagu-lagu. Jadi, lagu kan ada seninya. Dan masyarakat itu kan senang terhadap seni. Kalau ada peserta bagus, dihormati oleh orang, diberi hadiah, ini diharapkan masyarakat itu bisa ikut terdorong untuk menjadikan anak-anak mereka itu bisa mengaji, begitu. 

Apa yang ingin dicapai dengan menyelenggarkaan MTQ Internasional?

Pertama adalah silaturahim antar-para kaum muslimin secara keseluruhan. Kemudian antarnegara, antara Indonesia dengan negara-negara lain. Ketiga mempererat persahabatan antara para praktisi ke-Quranan antarnegara. Dan kita tahu bahwa Indonesia itu sering dipanggil kemana-mana, masak kita nggak pernah menghormati mereka. Kita dihormati dimana-mana di hampir 20 negara. Mulai Mesir, Iran, yang dahulu di Saudi Arabia sampai ke Maroko di Yordania. Banyaklah.

Itu karena kualitas ahl-ahli Al-Quran kita? 

Iya, karena mendengar bahawa Indonesia adalah sebuah negara yang mempunyai budaya MTQ yang sedemikian mapan. Dan kalau kita lihat, MTQ di Indonesia merupakan MTQ yang paling terbanyak cabangnya di dunia. Di Saudi cuma lima saja, di Iran cuma tiga saja, di Sudan cuma dua saja, di beberapa tempat nggak sampai 10 cabang. 

Di Indonesia, tilawah saja ada tilawah untuk tunanetra, anak-anak, remaja, dewasa, qiroat syab’ah, cerdas cermat Al-Quran, MHQ, Syarhil Quran, khotul Quran, kaligrafi itu sudah empat cabang, belum lagi tafisr bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Banyak sekali. Kita harus bangga sekali, dan pemerintah memberikan keleluasaan bagi para pecinta Al-Quran untuk mengembangkannya. 

Dengan prestasi seperti itu, kita mengingat jasa KH Wahid Hasyim yang pertama kali mengusulkan terbentuknya JQH NU karena melalui lembaga inilah yang pertama kali mengadakan MTQ antarpesantren. Bagaimana menurut Kyai?

Luar biasa. KH Wahid Hasyim itu orang yang paripurna. Orang yang hafal Al-Quran, negarawan, demokrat, orang yang jenius, orang yang memikirkan persoalan ke-Quranan. Beliau negarawan, tapi peduli terhadap satu dunia, dunia yang belum terpikirkan oleh orang-orang. Pak Wahid Hasyim itu ingin memberikan wadah kepada para ahli-ahli Al-Quran di lingkungan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, yaitu berupa Jam’iyyatul Qurra wal-Huffaz. Pengaruhnya sangat besar sekali bagi perkembangan Indonesia. 

Karena apa? Kita sudah diazani, wadah. Silakan kembangkan wadahnya. Selain itu, Abu Bakar Aceh juga salah seorang yang besar jasanya. Saaya ingat beliau menulis tentang masjid-masjid, sejarah masjid-masjid di Aceh, di Nusantara,  yang menceritakan anak-anak masa lalu. Dimana anak-anak Aceh dahulu, ketika kecil, menghormati Al-Quran. 

Landasan-landasan pertama bagi generasi berikutnya. Nah, menurut saya, mereka itu telah menyumbangkan apa yang mereka bisa sumbangkan. Makanya sekarang kita juga harus menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi masyarakat sekarang ini.

Apa yang kira-kira dipikirkan Wahid Hasyim saat membentuk JQH waktu itu? 

Ya kita melihat ya bahwa di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama itu kan ada dua jenis ulama. Ada ulama yang berkecimpung dalam kitab-kitab kuning; nahwu, sorof, fiqih, tasawuf. Kemudian, ada ulama-ulama yang menggeluti dalam bidang Al-Quran, menghafalkan Al-Quran. Kalau mereka yang ahli hadits, terbiasa dengan bahsul matsail. Sementara yang ahli Al-Quran ini mau dikemanain ini? Maka, saya melihat KH Wahid Hasyim itu, punya pemikiran yang luar biasa untuk memberikan wadah untuk satu kelompok lagi dalam lingkungan NU, yaitu kelompok, orang-orang mendalami dalam bidang tahfizul Al-Quranul Karim.

Lalu, perhatian pemerintah kepada para ahli Al-Quran bagaimana? 

Masih kurang. Masih belum optimal. Pertama, mereka yang sudah hafal Al-Quran yang ingin memasuki perguruan tinggi itu mestinya diperlakukan dengan berbeda. Kalau perlu dikasih beasiswa. Mestinya begitu. Atau mereka yang telah hafal Al-Quran itu mengabdi di masyarakat, mestinya mereka itu ditempatkan di masjid-masjid besar, di masjid raya, menjadi imam besar di situ. Kemudian mengajarkan Al-Quran kepada orang-orang di sekitar itu. 

Pemerintah juga belum mendirikan institusi pendidikan yang berbasis Al-Quran apakah mulai dari Tsanawiyahnya, Aliyahnya hingga perguruan tinggi. Jangankan untuk membikinkan begitu, program-program pembelajaran Al-Quran misalnya di Tsanawiyah negeri, Aliyah negeri, itu belum ada yang mengharuskan anak-anaknya itu menghafalkan Juz ‘Ama mislanya, menghafal Ya Siin, nggak ada. Malah yang berkembang itu di pesantren. 

Jadi, mereka yang ahl tahfizd yang ikut MTQ itu berasal dari pesantren-pesantren di lingkungan NU.