Wawancara

JQH, Menjaga Kesucian dan Keagungan Al-Qur'an

Rab, 29 Februari 2012 | 00:47 WIB

JQH, Menjaga Kesucian dan Keagungan Al-Qur'an

KH Muhaimin Zein, ketua umum JQHNU

Jami’yyatul Qurra wal-Huffadz (JQH) adalah organisasi para qori-qoriah, hafidz-hafidzah, para pecinta Al-Quran, yang bernaung di bawah Nahdaltul Ulama. Organisasi ini didirikan KH Wahid Hasyim pada tanggal 12 Rabul Awwal 1371 H bertepatan 15 Januari 1951 M, di rumah H Asmuni, Sawah Besar, Jakarta.

Tujuan organisasi  ini adalah terpeliharanya kesucian dan keagungan Al-Qur’an. Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran Al-Qur’an, terpeliharanya persatuan qurra wal-huffazh ahlussunah waljamaa’ah.

Organisasi ini pernah melakasanakan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) antar Pondok Pesantren seluruh Indonesia. Kemudian kegiatan ini diambil-alih Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) nasional sejak tahun 1968 sampai sekarang. Di sisi lain, saat itu pula, JQH bisa dikatakan “mati suri”.

Lalu, pada tahun 1992, saat KH Abdurahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, JQH kembali diaktifkan. Pada tahun 1999, JQH mengadakan MTQ antar Pondok Pesantren di Garut, Jawa Barat.

Dalam sejarahnya, MTQ antar Pondok Pesantren yang digelar JQH ini, melahirkan qori-qoriah dan ulama al-Quran bertaraf nasional dan internasional seperti KH Abdul Aziz Muslim (Tegal), KH. Ahmad Syahid (Bandung) KH Tb Abas Saleh Ma’mun (Banten) KH M. Yusuf Dawud (Jawa Timur) H Muammar ZA (Pemalang) Hj Maria Ulfa Lamongan, dll.

Mereka kemudian berhasil dan mencetak kader-kader bangsa, ulama yang hapal al-Qur,an dan sanggup menjadi teladan di tengah-tengah masyarakat.

Pertengahan bulan Februari tahun ini, delegasi dari JQH mengukir prestasi membanggakan. Satu orang qori bernama Ja’far Hasibuan dan dan qoriahnya bernama Sri Wahyuni, juara pertama pada MTQ internasional yang diselenggarakan di kota Qum, Iran.

Untuk mengenal lebih jauh tentang organisasi ini, pembinaannya, sejarahnya, Abdullah Alawi dari NU Online mewawancarai KH Muhaimin Zein, ketua umum JQH. Berikut petikannya:

Bagaimana kaderisasi di JHQ sehingga berprestasi di tingkat internasional?

Kita itu, kalau di pusat itu ada program yang telah disepakaati oleh Munas. Nah, program ini dikawal oleh pusat. Ayo kamu PW (Pengurus Wilayah JQH, red) gimana kamu programnya? Aduh, belum ada, Pak. Ayo programkan. Kalau ada, kita programkan.

Programnya apa aja itu Pak?

Pembinaan tilawah Al-Quran, pembinaan tahfidz Al-Quran, tafsir Al-Quran, qiroah sab’ah, seni kaligrafi, pembinaan pondok pesantren khusus Quran, bidang ta’lif wan-nasr, penelitian dan pengembangan.

Nah, dari program itu, terus kita kontrol. Gimana, kamu PW Kaltim? Apa programnya? Belum, kiai. Apa yang bagus ya? Ya udah adakan pembinaan, qori-qoriah, hafidz-hafidzah. Mereka sudah tahu, bentuknya seperti apa? Lalu pelatih kita kirim.

Pelatih dari pusat?

Iya, dari pusat. Yang tahfidz juga begitu. Hafidz-hafidzahnya, dikumpulkan. Dari Kaltim misalnya, ada 500 hafidz-hafidzahnya. Kumpul di satu tempat. Kemudian diadakan pelatihan.

Itu tiap kapan waktunya?

Waktunya tergantung kebutuhan kondisi wialyah. Itu juga tergantung pendanaan. Kalau PW-PW yang proaktif pelatihan-pelatihannya banyak.

Bagaimana keaktifannya di daerah-daerah?

Justru kegiatannya di daerah.

Daerah mana yang paling aktif?

Kelihatannya hampir merata. Di Sumatera Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat.

Indikator keaktifannaya apa?

Ya, kegiatan.
 
Kegiatan perlombaan MTQ?
 
Nggak, kegiatan pembinaan. Sesuai dengan program itu.
 
Biasanya yang membina ke daerah itu siapa, Pak?
 
Kita punya tenaga masing-masing. Bidang tilawah ada Bu Maria Ulfah, Syarifuddin Muhammad, haji Muhammad Ali. Itu
 
Yang hafidz juga ada ya?
 
Ada. Yang hafidz saya sendiri.
 
Ini digilir, ke daerah-daerah itu?
 
Iya.
 
Tempatnya di pesantren-pesantren hapalan Qur’an ya?
 
Iya. Jadi, pesantren-pesantren itu kita kumpulkan di satu wilayah. Kemudian pelatihan.
 
Bagaimana animo masyarakat terhadap seni baca Al-Quran itu?
 
Masih banyak. Justru kita galakkan itu. Sebabanya banyak itu karena kita galakkan.
 
Apa yang mesti diperbaiki kaderisasi di JQH?
 
Kekurangannya itu, di tingkat-tingkat pemula itu kurang memperhatikan tajwid. Jadi, mereka  terlalu mengutamakan lagu.
 
Langkah terberat pembinaan di JQH?
 
Yang terberat itu nggak ada. Asal kita lakukan, dengan niat dan ikhlas. Kendala yang terberat kan biasanya dana. Tapi nyatanya JQH nggak punya apa-apa, kekayaan nggak punya. Tapi tetap jalan. Dan di JQH itu, kalau berhasil, siap tidak dipuji orang. Kalau tidak berhasil, kalau jelek, siap dimaki-maki orang. Itu yang kita tanamkan, dalam bahasa agamanya; ikhlas.
 
Terkait JQH dengan perlombaan internasional, bisa dijelaskan?
 
Iya. JQH itu mempunya akses ke internasional itu melalui tiga pintu, tiga negara. Ke Iran, ke Mesir, sama ke Arab Saudi.
 
Akses apa itu, Pak?
 
Untuk mengikuti MTQ internasional. Kalau selama ini, MTQ itu harus melalui satu pintu yaitu Departeman Agama. MTQ intenasionl itu banyak penyelenggaranya.  Kalau di Arab itu, bidang hapalan, hapalan 10 juz, 20 juz, 30 juz, plus tafsir bahasa Arab. Nah, mereka lagu, nggak. Haram. Bid’ah! Nggak boleh melagukan al-Quran. Nah, di Iran, nadhom, qori, lagu, terus tahfidz hapalan. Di Mesir juga begitu, tilawah dan tahfidz. Di Malayasia tilawah saja putra putra.

Jadi, tiap tahun, MTQ bisa bekali-kali di tingkat dunia ini?

Bahkan bisa lima kali.

Nah, Indonesia ini, semua yang diselenggarakan internasional bisa mengikuti semua. Soalnya kita, jika ada negara yang mengharamkan, bid’ah, kita ada dalilnya. Tetap ikut. Di Iran, kemarin saya ditegur kenapa ikut ke Iran karena Syiah. Saya bilang, tak ikut-ikutan Syi’ahnya.

Terkait kemenagan dua delegasi JQH, Pak. Kelebihan dari kedua qori-qoriah binaan JQH ini?

Kelebihan dari qori-qoriah ini, memang Indonesia ini sudah mulai maju. Kalau dulu, di internasional itu yang paling disegani itu, qori-qoriah dari Mesir. Berikutnya dari Iran.

Karena apa mereka itu?

Karena memang sudah lama, dan mereka itu sumbernya. Ketiga dari Indonesia. Sekarang ini kebalik. Justru yang diperhitungkan dari Indonesia. Kalau dari Indonesia tampil, mereka berhitung.

Bagaimana sih kategori penilaian MTQ?

Ada tiga komponen; lagu, suara, tajwid. Adab dan fasohah.

Nah, yang ditakuti dari Indonesia itu dari segi mananya.

Dari ketiga kategorinya. Tajwidnya memenuhi syarat, fasohahnya memenuhi syarat, iramanya memenuhi syarat. Lagu itu ada ketentuan. Lagu itu ada tujuh, bagaiamana ini bisa merangkaikan tujuh lagu ini. Begitu.

Terkait pendanaan pembinaan di JQH, boleh dijelaskan?

Kita ini kan JQH itu kan punya senjata pamungkas. Kita itu kan direkomendasikan oleh Komisi Delapan DPR RI. Komisi Delapan merekomedasikan ke Kementrian Agama, ke Diknas, ke Depdagri supaya menganggarkan, membantu. Jadi dengan adanya rekomendasi itu, mereka datang ke Pemda. Pak saya lapor, saya dari JQH, ini surat dari Depdagri, ini dari Kemenag ini, dari Diknas?

Bagaimana ceritanya bisa begitu?

Sejak priode saya ini. Sejak saya terpilih di Brebes di Pesantren al-Hikmah Benda, Brebes. Setelah itu saya audiensi ke DPR. Minta waktu, untuk diberi kesempatan di DPR. Alhamdulillah diberi kesempatan dengar pendapat. Saya  perkenalkan orang yang merasa bapaknya tergabung di sini, di DPR itu. Kebetulan di komisi itu ada ibu Aisyah Hamid Baidlawi. Nah, dia saya sentuh. Bu, sebelum dengar pendapat besok, saya ingin beri masukan dulu. Iya, bagaimana? Begini, Bu. JQH ini pendirinya Bapak KH Wahid Hasyim. Nah, saya ini, disuruh merawat, disuruh menyirami. Mana airnya? Biarin saya yang kerja, saya yang nyangkul, dan yang nyiramin, saya merawat. Tapi tolong Ibu carikan sumber mata airnya. Ini supaya hidup. Belum apa-apa dia sudah menangis.

"Jadi, itu amanah Bapak saya, ya." Iya. Saya ceritakan semuanya. Jadi ini jasa Kiai Wahid Hasyim ketika jadi Menteri Agama sebagai wadah hafidz-hzfidzah qori-qoriah. Semua organisasi yamg berbentuk keal-Quranan bergabung disini. Tahun 51 berdiri, masih bebas tidak berafilisasi kemana-mana. Orang Muhammadiyah masuk, al-Washliyah masuk, Mathlaul Anwar masuk, Persis juga masuk. Lalu tahun 59 menjadi banom Nahdlatul Ulama. Tahun 1964 mengadakan MTQ antar pondok pesantren seluruh Indonesia. Pertama kali 64. Nah, juaranya Kiai Aziz Muslim dari Tegal. Almarhum.

Nah, setelah 68 diangkat jadi MTQ nasional oleh pemerintah yang sekarang sudah berjalan. Jadi, semenjak itu MTQ dilaksanakan pemerintah, kita tidak melakukan lagi. Pada tahun itu nggak pernah dapat porsi. Jangankan banomnya, NU sendiri tiarap. Kegiatan-kegiatan itu mandeg. Pada tahun 92 Gus Dur memanggil Gus Nu’man dari Pati, menantunya kiai Tohir Surabaya. Nu’man tuh, dihidupkan JQH, hidupkan kembali, berdiri, digerakkan. Ketika Gus Dur jadi presiden diadakan MTQ JQH kedua, di Garut. Alhamdulillah berjalan sampai sekarang.