Wawancara PROFIL KANDIDAT

Masdar: NU Harus Dilihat, Bukan Hanya Didengar

Sel, 16 Maret 2010 | 08:20 WIB

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas’udi menekankan pentingya menunjukkan eksistensi NU melalui simbol. Misalnya, dengan memasang lambang NU di rumah, di pesantren, madrasah, sekolah, atau di masjid yang didirikan dan dikelola warga NU. Ia menekankan pentingnya penguatan basis keorganisasian di dalam, agar dihargai oleh dunia luar. Program utama yang perlu dijalankan oleh NU adalah program di bidang sosial, pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan lingkungan. NU perlu mengarahkan pandangannya ke bawah, kepada umat. Berikut wawancara lengkap NU Online dengan KH Masdar Farid Mas’udi yang juga salah seorang kandidat ketua umum PBNU dalam Muktamar ke-32 di Makassar.

Kalau terpilih sebagai ketua umum PBNU apa yang pertama kali Pak Masdar lakukan?<>

Saya ingin membuat NU ini terlihat. Selama ini, NU baru terdengar katanya saja ada. Nah sekarang harus terlihat. Caranya, semua pusat kehidupan Nahdliyin harus menampakkan diri. Misalnya mulai dari rumah tangga, seluruh rumah warga nahdliyin harus memasang tanda gambar NU, apa di pintunya apa di ruang tamunya. Yang kedua, semua usaha perkhidmatan warga nahdliyin apakah itu pesantren madrasah, sekolahan itu akan kita mohon untuk menegaskan diri bahwa pesantren itu menjadi anggota RMI, sebagai bagian dari NU.

Tentu saja ini ada pertanyaan apakah dengan memasang tanda gambar NU untuk pesantren dan madrasah itu lalu diklaim menjadi milik NU, tidak. Madrasah, pesantren dan sekolahan yang memang milik keluarga atau yayasan tetap saja menjadi miliknya. Semua aset, managemen dan setrusnya tetap milik mereka. Kita hanya ingin mengajak mereka untuk mendekatkan kepada mereka bahwa kita ini bagian dari jamaah besar organisasi yang namanya NU.

Begitu juga masjid-masjid harus menegaskan diri. Ini bukan untuk menujukkan sektarianisme, tidak, tapi untuk menghidarkan fitnah. Karena masjid-masjid yang tidak mendekatkan diri sebagai bagian dari NU itu selama ini telah menjadi sasaran jahil dari organisasi atau kelompok-kelompok yang tidak punya basis dan ingin membangun basis. Kalau masjid itu memasang tanda gambar NU, kalendernya atau jadwal falaknya maka kelompok pendatang yang mengincar masjid kita akan berfikir untuk mengambil itu, dan fitnah itu bisa dihindari kalau kita menjeaskan afiliasi kita. Jadi tahap pertama membikin NU terlihat.

Apa tahapan selanjutnya?


Kedua, setelah NU ini terlihat harus terasa manfaatnya. Dalam hal ini maka seluruh unit unit amal nahdliyin termasuk masjid itu harus menjadi basis pelayanan umat yang nyata, yang kongkret dan kita jadikan sentrum pelayanan dan pembinan umat dengan menghorganisir jamaahnya sesuai dengan basis terutama basis ekonominya. Kalau di situ basisnya adalah petani maka kita bentuk kelompok petani. Atau pedagang, nelayan, dan sebagainya. Karena hanya dengan mengorganisir diri itulah kita dan jamaah kita bisa membentengi kepentingannya, mengakses sumber daya yang ada di pemerintah dan di tempat-tempat lain. Kalau sudah terasa akses manfaatnya dari program yang kita jalankan maka kita meningkat pada martabat berikutnya yakni mulai dihormati dan dicintai oleh warganya karena sudah dirasakan manfaatnya.

Apa program-program PBNU pada periode sebelum ini yang perlu dilanjutkan?

Hampir semuanya itu masih perlu. Nah kita perlu memperdalam basisnya dan kita perluas cakrawalanya. Semuanya masih penting bahkan misanya soal kegiatan ubudiyah yang menjadi koor keberagamaan kita. Saya ingin ada standarisasi misalnya wiridan atau pujian sebelum shalat dan sesuah shalat itu sebenarnya bagaimana. Kan ada yang singkat, dan ada yang berkepanjangan. Nah ini harus ada standarisasi; wiridan yang singkat menurut thariqah Nahdlatul Ulama ini apa aja aurad yang dibaca. Jadi harus ada standarisasi amalan nahdliyah dan ini tugas Syuriyah. Jadi ada wiridan atau pujian yang singkat, ada yang sedang, ada yang panjang. Jadi semuanya harus distandarisasi biar semua ngerti. Begitu juga istighotsah ada yang singkat dan ada yang berkepanjangan, semuanya harus distandarisasi.

Ini terkait program keagamaan.


Ya. Bagian dari program agama yang lain itu mungkin kita juga harus berbicara klasifikasi kekiaian. Sekarang ini kan seorang gampang menyebut kiai atau disebut kiai, tapi kualifikasinya bagaimana. Standarisasi keilmuannya apa yang harus dipelajari, standarisasi prilakunya apa, standar pelayanan sosialnya seperti apa, itu harus ada. Karena kan ada juga kiai yang mendampingi umat di tingkat basis, ada kiai yang pada level komunikator, kiai dakwah, dan ada juga kiai pemikir juga, harus jelas jenjang-jenjangnya.

Terkait dengan program internasional, apakah program yang dijalankan PBNU sebelumnya perlu diteruskan?

Itu juga harus dilakukan, tapi kita semua harus menyadari bahwa program pada level nasional itu baru dihitung betul oleh dunia internasional kalau orang lain itu tahu bahwa kita ini memang kokoh. Kalau kondisi kita di domistik ini rapuh maka orang lainya akan memandang kita lain. Jadi kita pasti akan lanjutkan program internasional dengan basis yang kokoh yaitu dengan revitalisasi habis-habisan aspek domestik kita.

Program-apa yang menjadi prioritas pertama?

Program-program yang pertama-tama harus dilakukan itu program sosial tentunya, dan pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan lingkungan. Kita ada dua level program. Pertama, kita membangun program ini dengan sentuhan pada kebijakan, dimana kita mengadvokasikan kebijakan publik mulai dari tingkat negara hingga tingkat desa yang pro rakyat, pro lingkungan dan pro keadilan. Nah yang kedua, yang bersifat praktis berupa pendampingan, yakni membentuk kelompok-kelompok pemberdayaan.

Terkait khittah NU 1926 dimana NU telah kembali pada khittahnya pada Mukatamar ke-27 tahun 1984, dan lepas dari partai politik. Apakah NU sekarang ini telah sejalur dengan khittahnya?

Saya kira harus ada moratorium ya ke depan. NU ini harus betul-betul istiqomah. Kita kurangi tatapan mata kita ke atas kepada persoalan politik tapi kita lebih banyak menatapkan mata kita ke bawah, kepada umat. Itulah menurut saya politik ri’ayatul umah, politik kemaslahatan umat yang harus menjadi prioritas. Berkaitan dengan politik praktis, soal pandangan ke atas atau berkaitan dengan politik kekuasaan, saya kira untuk beberapa periode ini kita harus ikhlaskan, biarlah itu menjadi domain para kader kita yang ada di partai. NU sebagai payung besar harus bisa melindungi seluruh warganya dimanapun partainya dan apapun afiliasi politiknya. (*)



Riwayat Hidup KH Masdar Farid Mas'udi

Nama   :  Masdar Farid Mas’udi 
Ttl       :  Purwokerto,  18 September 1954
Alamat :  Jl. Cililitan Kecil III/12,  Kramatjati, Jakarta Timur
Telp.    : (021)  809-1617, 809-2971
Fax.     :  (021)  809-1617
Email   :  [email protected] / [email protected]


PENDIDIKAN

1994 – 1997 :  Pasca Sarjana, Studi Filsafat, Universitas Indonesia,  Jakarta
1972 – 1980 :  Fakultas Syariah, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
1969 – 1974 :  Pesantren KH. Ali Maksoem Krapyak, Yogyakarta
1966 – 1968 :  Pesantren KH. Chudlori, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah
1960 – 1966 :  Sekolah Dasar/ Ibtidaiyah, Purwokerto, Jawa Tengah

PENGALAMAN ORGANISASI

1973  - 1975 : Ketua PMII Komisaris, PP. Krapyak Yogyakarta
1976  - 1978 : Sekjen Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
1983  - 1985 :  Ketua 1 PB-PMII  ( Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
1982  - 1983 : Anggota Kelompok G, dan Tim 24 yang menggagas Kembalinya NU ke Khittah 1926.
1983  -  1984 : Anggota Tim Tujuh Perumus Khittah NU 1926
1984  -  1989 : Wakil Ketua Tim Asistensi Pemikiran Sosial Keagamaan untuk Rois Am KH. Ahmad Sidiq dan Ketuan Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid.
1989  -  1998 : Wakil Ketua RMI  (Rabithah Ma’ahid Islamiy ) PBNU
1996  -  2001 : Anggota Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia
1999  -  2003 : Katib Awal Syuriah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)
2001  -  2004 :  Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI
2004  -  2009 :  Dewan Pembina APPSI  (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh    Indonesia)
2004  (Mei – Sept) : Pelaksana Harian (PLH) Ketua Umum PBNU atas Keputusan Majlis Syuriah PBNU, selama KH. Hasyim Muzadi menjadi CAWAPRES 2004
2004  -  Skrg :  Ketua 1 PBNU


PENGALAMAN PROFESIONAL 

1980  –  1982 : Wartawan – Redaktur Harian EKUIN, Jakarta
1983  –  1991 : Redaktur Pelaksana Jurnal Islam “PESANTREN”
1993  –  1994 : Wakil Direktur P3M  (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat/ The Indonesian Society for Pesantren And Community Development)
1994  –  2009 : Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta
1996  -  1999 : Dosen Islamologi,  Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
1998  -   Skrg : Rois Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Unggul Al-BAYAN, Sukabumi, Jabar
2004  -   Skrg  : Pengasuh Sekolah (SMP & SMA) Islam Unggul Nururrahman, Depok, Jawa Barat
2000  - 2004  : Komisioner OMBUDSMAN Harian Kompas, Jakarta
2000  –  2008 : Komisioner KOMISI OMBUDSMAN NASIONAL  
2002  -   Skrg  : Anggota Komisi Etik ICW (Indonesian Corruption
Watch)
2002             : Anggota Tim Seleksi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
2003  -   2009 : Ketua Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). 
2004  -   2008 : Dewan Pengawas Syariah (DPS ) Bank Permata Syariah
2005              : Anggota Panel 45 bagi Presiden RI untuk Sidang Umum PBB.
2008  –   Skg   :    Anggota Ombudsman Republik Indonesia.


BUKU & ARTIKEL 

1.  Buku ”AGAMA  KEADILAN, Risalah Zakat dalam Islam”; Pustaka Firdaus (1993), Mizan (2001), Jakarta. Tahun 2009 oleh Majalah Ilmiyah Univ. PARAMADINA dimasukkan dalam daftar 50 buku ke-Islaman asli Indonesia yang paling Berpengaruh.
2.  Buku “ISLAM  & WOMEN’S REPRODUCTIVE RIGHTS” ;  Sister in Islam, Malaysia  (2002). Tahun 2009 oleh Jurnal Ilmiyah Univ. PARAMADINA, dimasukkan dalam daftar 50 buku Penulis Indonesia paling berpengaruh.
3.  Buku ”MEMBANGUN NU BERBASIS UMAT/ MASJID”, P3M, Jakarta, 2007
4.  Buku  ”SYARAH UUD 1945, Perspektif Islam”, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009
5.  Artikel-artikel untuk Jurnal, Majalah dan Koran Nasional maupun Daerah.
6. Banyak juga buku atau tesis tentang Pemikiran MASDAR F MAS’UDI

PENGALAMAN INTERNASIONAL :  

1. Seminar on “Religion and Peace”, Manila, Philipina  (1985)
2. Comparative Study on “Religious Organizations in America Serikat”,  for 5 weeks (1996)
3. Participant and Presenter on “International Seminar on Islam and Women  Reproductive Rights”, In Cairo, Mesir (1997)
4. Participant and Presenter on ”International Seminar on  HIV/AIDS”,  in Manila, Philipina  (1998)
5. Participant and Presenter  on “International Seminar on  Islam and Democracy”,  in Kuala Lumpur     (1999)
6. Participant on  “Short Course on Anthropology”,  Amsterdam University, Belanda  (1999)
7. Seminar on “Ombudsman and Good Government”, Willingtown, New Zealand, 2002
8. Work Shop on “Ombudsman and Clean Government”, in Canberra, Australia, 2005
9. Conference on “The Prospect of Asia Pasific Ombudsman”, Sidney, April 2006
10. Supervision on “Indonesian Foreign Workers”, in Kuwait and Arab Amiratte, Mei     2006.
11. Following Roundtable discussion “Mosque as a centre for society development”, in Banglades,  June 2006
12. International Seminar on  “Ombudsman’s Role in Developing Countries”,  in  Perth, Australia,  April, 2007
13. Course on “The Ombudsman; Task and Function”, in Tunisia, and visiting Ombudsman of  Perancis,  June, 2007.
14. Participant and Presenter in  ”International Seminar on Religion and Pluralism”,  in Davao, Manila, Philipine, July, 2007. 
15. As speaker in “Dialog on Minority Group in Moslem Community”, in Frankfurt, Germany, August, 2007.
16. As member of Indonesian delegation of UN Conference  “The 40th Session  of the Committee Againt Torture”  in Jeneva, Switzerland, May 6 -7,  2008.
17. As a  keynote speaker in  2008 International Symposium “Islam for Social Justice and Sustainibility” : New Perspectives on Islamism and Pluralism in Indonesia” in  Kyoto, Japan,  September 16-17, 2008
18. As a participant in the first annual  “US-Islamic World Region Forum” in Kuala Lumpur, Malaysia, October 13-14, 2008