Wawancara

Menanggulangi Gempa dengan Mengadopsi Budaya Lokal

Rab, 28 Desember 2016 | 05:45 WIB

Menanggulangi Gempa dengan Mengadopsi Budaya Lokal

Ketua PP LPBINU M. Ali Yusuf (pegang mic).

Akhir-akhir ini, gempa bumi bertubi-tubi  melanda bupaten Pidie Jaya yang meruapakan salah satu provinsi Nangro Aceh Darussalam. Kita pun bertanya-tanya kenapa gempa tak kunjung reda? Bagaimana potensi gempa di Indonesia umumnya, dan Aceh khususnya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Kontributor NU Online Husni Sahal berkesempatan meminta penjelasan kepada Ketua Pengurus Pusat Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) M. Ali Yusuf di lantai 7 gedung PBNU Jakarta, Selasa (27/12).

Dalam konteks Indonesia, apa yang penyebab terjadinya gempa?

Negara Indonesia itu diantara tengah-tengah 3 lempeng aktif didunia. Lempeng aktif itu maksudnya lapisan dibawah tanah yg bergerak, baik Australia, Eurasia, dan lempeng pasifik. Kita ditenga-tengah semua lempeng itu. Makanya disemua daerah yang ada di indonesia rawan gempa, kecuali kalimantan.

Apakah gempa bumi bisa diprediksi?

Gempa bumi tidak bisa diprediksi seperti banjir. Dia hanya bisa dikenali bahwa kejadian itu ada didaerah  ini atau itu. Sebenarnya, gempa bisa dikenali, salah satu caranya dengan peningkatan  kapasitas dan kebutuhan masyarakat. Kalau terjadi gempa harus menghindar, berlindung kemana, itu bisa dipelajari, dari semua umur, baik oleh anak kecil atau dewasa.

Kemudian bangunannya harus diperkuat. Nenek moyang dulu itu kalau bikin rumah tidak asal tembok. Orang dulu lebih banyak pakai kayu, panggung, gentengnya juga tidak berat. Sekarang ‘kan orang banyak yang bangun rumah dengan tembok,  . 

Maksudnya bagaimana?

Gempa itu tidak mematikan. Yang mematikan itu robohnya bangunan. Dan sebenarnya Sesar-sesar di Indonesia bisa dikenali.

Apa yang dimaksud dengan sesar?

Sesar itu aliran gempa. Sesar setiap waktu bergerak. Bentuk bumi Indonesia tidak seperti sekarang ini, konstan, bumi kan bergerak. Kawasan, kampung atau daerah  kita ini rawan gempa atau tidak, bisa ditelusuri pada sejarah daerahnya. Khusus Pidie Jaya sudah lama, 40 tahun yang lalu pernah terjadi.

Di jawa timur sesarnya banyak, jadi potensial gempa. Tipikal sesar itu beda-beda. Kalau yang di Pidie Jaya sekali serang, hantamannya itu kencang. Ada yg sering gempa, tapi tidak sampai merusak, itu karena sesarnya sedikit atau kecil-kecil.

Apakah sesar itu ada yang aktif dan tidak aktif?

Semua sesar rata-rata aktif, hanya tipikal gerakannya aja yang beda. Yang paling penting kita kenali daerahnya,  termasuk sesar gempa atau  tidak, kalau sesar gempa kita kenali modelnya atau kita siapkan kemampuan kita menghadapinya, kita menyelamatakan diri atau kita mengadaptasi bangunan yg kira-kira tahan gempa.

Jangan dipersepsikan tahan gempa itu bangunannya harus kokoh kaya di Amerika atau Jepang, karena ekonomi kita belum memadai. Dengan banyak cara, bangunan bisa tahan gempa. Yang paling mudah mengadopsi budaya lokal. 

Bagaimana dengan sifat gempa sendiri?

Kalau sifat  atau  model gempa bisa dicirikan dari sejarah. Yang paling penting bahwa kita ini tahu lingkungan. Yang namanya gedung ini  tanahnya kaya apa, kita harus tahu.  Tanah gempur atau tanah pasir. Atau dari nenek moyang dulu pernah  ada cerita gempa apa tidak, itu bisa di cek.  Ada 2 hal kaitan gempa. 

Yaitu ada  kekuatan dan kedalaman gempa. Kalau gempa di laut semakin dangkal, itu justru akan semakin merusak, sedang kalau semakin dalam, maka semakin aman. Begitu juga gempa didarat. Pidie termasuk kencang karena dangkal. Ibarat kaki masuk ke lobang yg dangkal, maka lumpurnya akan mencepret kemana-mana, beda kalau lobangnya dalam, maka lumpur tidak mencepret kemana-mana. 

Menengok Tsunami, bisakah dikatakan bahwa gempa di laut dampaknya lebih bahaya daripada di darat?

Dampak gempa didalam  laut dan didarat itu sama. Sama-sama merusak. Kalau tsunami itu merusak karenaterseret air. Begitu juga didarat membuat bangunan roboh, merusak juga.Â