Wawancara

NU Jawa Timur Ingin Perkuat Umat daripada Politik

Jum, 31 Agustus 2018 | 14:30 WIB

Di Jawa Timur NU lahir, di Jawa Timur pula NU besar, tersebar ke seluruh penjuru; dan kemudian menjadi basis utamanya. Jawa Timur menjadi tolok ukur kemajuan NU.  Dalam kadar tertentu bisa dikatakan, maju mundurnya NU bisa diukur melalui daerah ini. 

Daerah yang seperti itu, tentunya tantangannya tidak kecil. Baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan tanpa dikelola dengan baik bisa berakibat fatal. Nakhoda NU harus terampil menanganinya. 

Beberapa bulan lalu, Jawa Timur telah berganti kepemimpinan. Setelah KH Hasan Mutawakkil Alallah paripurna, dilanjutkan KH Marzuki Mustamar di tanfidziyah dan KH Anwar Manshur di Syuriyah. 

Kiai Marzuki bukan orang baru di NU, ia pernah jadi Ketua PCNU dan kini menjadi salah seorang pengurus PWNU. Sedikit banyak mengetahui peluang dan tantangan PWNU Jawa Timur, serta bagaimana cara menanganinya.  

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal itu, Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai KH Marzuki Mustamar di Gedung PBNU, Jakarta, Senin (6/8). Berikut petikannya:
 
Bagaimana cara Pak Kiai supaya PWNU Jawa Timur bisa mempertahankan program baik periode sebelumnya dan menjadi lebih baik periode saat ini?

Kami ingin mengupayakan sebisa-bisanya, supaya NU, warga NU itu kalau bisa mereka ulama karena namanya juga Nahdlatul Ulama. Kalaupun mereka bukan ulama, setidak-tidaknya mereka orang-orang yang punya etika manut para ulama. Kita harus jangan sampai kemasukan orang-orang kelihatan NU, tapi tidak manut ulama. Apalagi benar-benar orang yang bukan NU. Bukan ahlussunah wal Jamaah atau sebetulnya yang memimpin itu NU, tapi dikendalikan orang di luar NU. Jadi kita harus jaga, ingin benar-benar NU. 

Jadi, dulu itu Wali Songo punya murid-murid yang mendirikan pesantren. Kiai-kiai pesantren mendirikan NU. Pesantren itu anaknya Wali Songo. NU itu anaknya pesantren. Jangan sampai lepas dari ini. Nah, yang lain-lain ini, mau pengusaha, mau apa, ya monggo asal mereka manut sama ulama-ulama pesantren. Kalau tetap bisa diupayakan seperti ini, maka NU benar-benar on the track. Pesantrenlah kelompok elemen bangsa yang mati-matian berjuang untuk NKRI, menyumbangkan kiainya sekian puluh kiai yang mati syahid untuk memerdekakan bangsa tanpa minta upah apa pun, atau jabatan. Full NKRI harga mati. Pesantren tidak pernah berontak. Pesantren tidak pernah berkhianat pada bangsa. Pesantren pula yang terus istiqamah, terus berdakwah, ngajar Al-Qur’an, ngajar TPQ, ngajar kitab kuning, mendirikan masjid, majelis-majelis. Ide besarnya seperti itu.
 
Apakah umat masih manut pada ulama sementara ulama itu sendiri menjadi perebutan makna? Artinya kalangan lain  juga selalu mengatasnamakan ulama dengan agenda yang berbeda dengan Nahdlatul Ulama?  

Kita tidak usah berdebat pada kriteria ulama. Bahwa, Kiai Anwar Manshur dari Lirboyo ulama, semua sepakat. Bahwa Kiai Dimyati Rois ulama, semua sepakat. Bahwa Kiai Maimoen Zubair ulama, semua sepakat. Bahwa Kiai Nawawi Abdul Jalil Sidogiri itu ulama, semua sepakat. Bahwa Tuan Guru Turmudzi ulama, semua sepakat. Tuan Guru Zaini Kalsel, itu ulama, semua sepakat. Kita enggak usah neko-neko, manut ulama yang sudah jelas. Bisa jadi mereka bukan alumni yang kami sebut itu. Tapi mereka mungkin manut kepada alumni Lirboyo, alumni Sidogiri, Ploso, yang sudah nyebar ke Papua kemana-mana. Nah, mereka itu kita katakan pengikut para ulama, manut ulama. Gitu lho. Jelas kok. 

Bagaimana dengan kelompok sebelah yang mengklaim ulama? 

Ya silakan saja ada kelompok yang mengklaim ulama. Yang jelas ulama itu harus paham Al-Qur’an dan sunnah. Punya apa enggak alat atau piranti untuk bisa memahami Al-Quran sunah itu. Mereka hafal apa enggak? Berapa ribu dalil yang mereka kuasai? Sudahkah mereka khatam Bukhari Muslim dan Kutubus SIttah? Sudahkah mereka tahu asbabun nuzul-asbabl wurud? Sudahkah mereka tahu nasikh dan mansukh? Ya kan. Am, makhsus? Mutlaq muqayyad? Mujmal mubayyan? Itu semua piranti untuk memhami, menyimpulkan hukum dari Al-Qur'an sunnah. Ulama itu mereka harus khasiyah, takut  kepada Allah. Setiap malam bangun, banyak berzikir agar hati selalu sambung dengan Allah. Sudahkah itu mereka miliki? Kalau ulama itu harus kasih sayang, lebih dekat kepada umat daripada kepada pejabat. Sudahkah itu dimiliki? Ulama itu menjaga kemaslahatan, menjaga keutuhan. Sudahkah orang-orang itu dakwah, tapi tetap aman? Jihad, tapi tetap aman.  Amar ma’ruf, tapi tetap aman atau malah berkedok itu malah mengkacaukan situasi? 

Bagaimana dengan mereka yang ulama di televisi? 

Monggo saja mereka menyebut ulama. Ulama adalah kriteria seperti itu tadi. Ulama tempat bertanya. Harus alim. Harus bening. Alim dan pinter, menguasai dalil, tapi tidak bening, kuatir curang. Dia bening, tapi enggak menguasai dalil, kuatir goblok. Tempat ulama itu: fas’alu ahlad dzikri in kuntum la ta’lamun. Siapa mereka yang dijadikan tempat bertanya? 

Ada di media sosial, sering menyebutkan ulama su’ bagi mereka yang dekat dengan pemerintahan. Bagi kalangan yang menyebut ulama su’ ini juga ingin merebut kekuasaan. Sebetulnya bagaimana? 

Itu politik, seperti mereka yang mengharam-haramkan bunga bank, tapi ternyata semua masjid dan mushala di bank mereka yang menguasai. Mereka mengharamkan bunga bank, tapi mereka masuk bank. Itu politik kan. Mereka haram-haramkan negara, tapi semua lembaga negara mereka yang menguasai. Jumatan di lembaga mereka ala mereka. Tarawih di lembaga-lembaga negara ala mereka. Tapi negara mereka thagut-thgutkan. Apa-apan ini? Jangan gampang percaya pada cangkeme wong-wong seperti itu.

Mempolitisir agama itu bagaimana? 

Memperalat agama untuk kepentingannya. 

Cara membedakannya bagaimana memperalat agama untuk kepentingannya dengan agama untuk agama? 

Ada orang nyalon. Dia tidak pernah pakaia dalil agama. bahkan mungkin partai yang dilewati pun bukan partai agama. full dia pakai usaha pribadi dana pribadi. Setelah jadi anggota dewan, dia full memperjuangkan agama. guru TPQ dia perhatikan. Mumpung dia ada di dewan, masjid-masjid butuh IMB dia perjuangkan, dibantu. Masjid butuh surat tanah wakafnya dibantu. Itu namanya politik untuk agama. Kalau politisasi agama ya sebaliknya. Nyalon membawa-bawa agama, tapi untuuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. 

Terkait warga NU, penduduk jatim yang besar untuk memperkuat pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di Jawa Timur bagaiman? 

Itu NU tidak sendirian. Mana-mana yang bisa kita komunikasikan yang berwenang mengurusi itu, dengan diknas, dengan disperindag, dengan pemerintah ya kita komunikasikan. Mungkin NU membantu dengan memberikan data. Itu sudah penguatan. Kalau misalnya harga tebu dipermainkan, NU mencoba mempelajari ini troublenya dimana? Tidak harus NU menjadi petani tebu. NU ikut memproteksi, melindungi petani tebu yang rata-rata warga NU. Bahkan misalnya suatu saat, NU tidak mendirikan koperasi, mending orang-orang itu dibolehkan menggunakan label NU. Toko-toko disertifikasi oleh NU sehingga orang-orang di situ tidak waswas belanja di situ. Dan kalau karena label NU itu menjadi laris, silakan, setiap seribunya sepuluh rupiah diberikan kepada NU. Itu bakul-bakul bakso kita diklat, kita beri pendidikan. Ini lho, Mas, mencuci piring yang suci. Ini lho, Mas, menggiling daging yang suci. Tukang sembelih ayam kita panggil. Nah, setelah semuanya sah (secara fiqih), ya kita beri sertifikat, bahwa warung ini sudah dalam binaan NU. Yang membeli tidak ragu. Akhirnya semakin laris. Dan setelah semakin laris dia misalnya berbagi dengan NU, alhamdulillah. Tidak berbagi juga tidak apa-apa, toh warga NU semakin laris dagangannya. 

Menurut Pak Kiai ke depan peluang dan tantangan NU ke dapan bagaimana?

Satu, di beberapa tempat ada pengurus NU atau tokoh yang kurang merakyat, kurang diterima diterima grashoot, karena sikap politiknya menegcewakan umat. Padahal kalau pilihan politik bertentangan dengan warga NU, diam-diam saja. tidak usah vulgar. Kalau pilihan politiknya cocok dengan warga, ya silakan saja.  kita ada program, turba dulu hanya untuk pengurus, turba ke ke Ternggalek misalnya nanti yang diundang itu warga dan pengurus. Menu untuk warga zikiran, shalawatan, kalau ada Banser, Pagar Nusa yang belum dapat ijazahan, mungkin dapat ijahah. Setelah itu ada acara makan-makan, ada ceramah, keislaman kebangasaan kita sampaikan. Biar acara untuk pengurus ada khusus, bicara tentang keorganisasian. Yang ini asli turba. Dengan begitu, turba tidak hanya untuk elite pengurus, biar NU sambung dengan masyarakat. 

Dan itu dilakukan ke setiap kabupaten? 

Harus, harus.

Saya klarifikasi yang tadi, ada cabang NU yang jauh dari warga karena dukungan politik. Penyebabnya apakah dia mendukung partai politik secara organisasi atau secara pribadi?

Secara pribadi, tapi dia punya hak, biar NU tidak bertabrakan dengan umat. Kepingin saya, kader NU lebih mementingkan mengayomi umatnya ini daripada politiknya. Toh nanti setelah orang tahu toh diajak politik ala kita mereka mau. Dakwahnya dinomorsatukan, politiknya nanti-nanti ngikut. 

Cara-cara seperti itu kan biasanya dilakukan kiai NU, lalu kenapa sekarang ini...?

Makanya itu kan PR saya kan supaya umat lebih dekat kiai lagi. Punya anak, minta nama ke kiai. Punya mantu, istikharahnya kepada kiai. Mereka mendirikan rumah, ngundang kiai untuk doain. Kalau umat sebodoh apa pun, tapi barengnya kiai, shalatnya bener, puasanya bener, memilih menantu bener, menggelar walimah bener msekipun tidak mengerti dalil karena memang manut kiai itu. 

Kalau tantangan?
 
Ekses setelah pilgub, tapi kalau sesama NU kan gampang.

Caranya bagaimana?

Karakternya saya bisa berbaur. 

Jawa Timur selalu terbaik dalam pengembangan NU. Bagaimana upaya meningkatkan lagi? 

Itu kita serahkan kita cabang-cabang. Ada cabang merakyat. Ada pengurus cabang yang berbda dengan akar rumputnya yang tadi dibicarakan.

Cara menanganinya bagaimana? 

Makanya nanti kita gunakan dengan cara turba. Cabang yang sudah sembuh, sudah baikan dengan umat, akrab, diapakai program koin atau apa. Saya ingin itu lebih menjadi program cabang dan MWC duit koin itu. Setelah dapat, nanti cabang biar dibagi dengan MWC. Nah, karena kami di wilayah itu gampang mencari sumber dana, enggak usah ngarep-ngarep yang koin ini. 

Resep memimpin NU itu bagaimana?

Pertama, orang tak bisa lepas dari karakternya. Orang sama-sama Ahlussunah wal Jamaah, Mbah Hasyim Ahlussunah wal Jamaah, Mbah Wahab Ahlussunah wal Jamaah, Mbah Bisri Ahlussunah wal Jamaah, Gus Dur Ahlussunah wal Jamaah, Kiai Said Ahlussunah wal Jamaah. Yang kedua, beda situasi dan tantangan. KH Hasyim Asy’ari tidak menghadapi HTI dan (menyebut salah satu partai politik), tekanan Orde Baru. Gus Dur menghadapi Orde Baru. Gus Dur menggunakan jurus mabuk dan seterusnya, wajar. Dan jangan dituduh Gus Dur menyimpang dari Mbah Hasyim. Itu beda karakter beda tantangan. Kalau sama malah mudah dibaca lawan. Nah, saya juga bisa jadi berbeda dengan karakterk Kiai Mutawakkil (Ketua PWNU Jawa Timur sebelumnya, red.), tantangan yang saya hadapi berbeda. Sekarang nyuwun sewu, di Jawa Timur, (menyebut salah satu partai politik) memasang ketua yang agak NU, tahlilan ok, fikrahnya tetap salafi, tentu penyikapan kami terhadap mereka tentu harus berbeda dengan salafi lahir batin.