Wawancara PROFIL KANDIDAT

Slamet: 4 Prioritas Program Lima Tahun Mendatang

Sen, 8 Maret 2010 | 13:44 WIB

H Slamet Effendy Yusuf pada tahun 1980-an punya andil dalam memelopori kembalinya NU ke Khittah 1926. Bersama Gus Dur dan sahabat-sahabatnya, ia telah mewujudkan NU baru.

Kini, ia menyatakan dirinya siap memimpin Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ke depan jika dipilih dalam Muktamar 2010. Sebagai mantan Ketua Gerakan Pemuda Ansor selama dua periode dan selama bertahun-tahun malang-melintang di dunia organisasi, ia optimis bisa menjadi pemimpin organisasai besar dan berskala nasional seperti Nahdlatul Ulama.

Berikut wawancara
NU Online dengan H Slamet Effendy Yusuf:<>

Bagaimana Anda melihat Muktamar ke-32 di Makassar, apa yang perlu dirumuskan oleh NU?

Muktamar NU Maret 2010 yang akan diadakan di Makasar adalah momentum penting bagi perjalanan organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah ijtima’iyah) untuk melakukan pembaharuan dan peningkatan di bidang pemantapan wawasan, modernisasi pengorganisasian, dan pelaksanaan program yang nyata bagi keperluan umat Islam dan bangsa Indonesia. Karena itu Muktamar NU di Makassar harus dibawa kepada pergulatan konsepsional mengenai hal-hal tersebut. Dengan cara demikian NU akan dapat meningkatkan kiprahnya sebagai kekuatan keagamaan dan kebangsaan.

Sebagai organisasi yang telah memiliki sejarah panjang pengabdian, NU harus tetap mampu memberikan yang terbaik bagi pemecahan problem bangsa yang dewasa ini tampak nyata. Problema kebangsaan yang meliputi masalah politik kenegaraan, masalah etika dan moralitas bangsa, masalah menurunnya ‘trust’ atas lembaga-lembaga publik, masalah kemandirian bangsa-negara, masalah masih adanya kelompok yang terabaikan dalam bidang hukum, sosial, pendidikan, dan ekonomi, serta masalah keterbatasan akses atas berbagai lompatan kemajuan internal dan eksternal Negara-bangsa Indonesia, harus memperoleh perhatian NU ke depan.

Kongkretnya, apa agenda NU ke depan?

Pemantapan wawasan NU sangat penting dilakukan, oleh karena wawasan NU baik di bidang keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan dewasa ini makin relevan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila yang masih menghadapi problem ekslusivisme pemahaman keagamaan kelompok-kelompok tertentu, masih adanya pengabaian nilai-nilai mulia agama dalam pengelolaan aset negara, masih adanya spirit separatisme di beberapa wilayah tanah air dan lain-lain mengharuskan peningkatan wawasan keagamaan dan kebangsaan yang saling memperkuat dan memperkokoh.

Sikap kemasyarakatan NU yang mengedepankan sikap tengah (tawasuth/moderat), menghargai perbedaan (tasamuh/toleran), dan cinta tanah air (hubbul wathan/patriotisme) perlu ditanamkan secara intensif di kalangan nahdliyin dan ummat Islam khususnya, serta masyarakat bangsa pada umumnya. Dengan cara demikian NU akan menjadi jangkar yang kokoh dan garda terdepan bagi terjaganya demokrasi, persatuan, dan keutuhan NKRI.

Anda berbicara modernisasi organisasi, apa maksudnya?

Modernisasi organisasi NU mutlak dilakukan. Sebagai organisasi yang memiliki struktur yang kompleks, di mana dalam dirinya, selain memiliki struktur di tingkat syuriyah dan tanfidziyah, juga memiliki banyak lembaga dan lajnah, serta badan otonom, NU pasca Muktamar harus dikelola dengan prinsip manajemen dan organisasi yang modern. Tanpa pengelolaan yang bertumpu pada prinsip manajemen dan organisasi yang modern, akan terlalu banyak potensi yang mandek, tidak bergerak, tidak mampu membangun sinergi sehingga tujuan organisasi tidak tercapai secara optimal. Karena itu mutlak diperlukan pembaharuan pengorganisasian organisasi NU. Dan pada saat bersamaan secara kelembagaan Syuriyah dan Tanfidziyah perlu melakukan langkah-langkah yang dapat mendorong agar dua-duanya dapat melakukan fungsi dan perannya secara proporsional.

Pada periode lalu syuriyah kurang dapat berperan, dan dan peran NU didominasi oleh Tanfidziyah, menurut Anda?


Berdasarkan aturan yang ada, Syuriyah sesungguhnya memiliki peranan sentral dalam kepemimpinan NU. Syuriyah harus dikembalikan fungsinya sebagai penentu dalam pengambilan keputusan dan kebijakan organisasi. Tanfidziyah sebagai pelaksana organisasi harus melakukan perannya untuk melakukan, mengimplementasikan, dan menjalankan berbagai kebijaksaan organisasi yang sudah ditentukan oleh Syuriyah. Dengan demikian Syuriyah dan Tanfidziyah memiliki hubungan fungsional yang dalam konteks organisasi NU saling memperkuat. Karena itu, kesan yang selama ini ada yakni adanya peran tanfidziyah yang terlalu dominan harus diakhiri dengan cara mengembalikan secara proposional melalui penguatan peran kelembagaan syuriyah NU.

Walaupun demikian upaya penguatan Syuriyah NU tidak berarti harus dilakukan pelemahan/reduksi atas Tanfidziyah. Karena itu baik PBNU baik di Syuriyah maupunTanfidziyah ke depan memerlukan leadership yang kuat, sehingga organisasi NU secara keseluruhan mampu bergerak melaksanakan programnya dengan baik.

Program apa yang anda tawarkan ke depan?

Program NU ke depan harus bisa menjawab kebutuhan warga NU (nahdliyyin) dan masyarakat bangsa pada umumnya. Program NU harus selaras dengan maqam/kedudukannya sebagai organisasi sosial keagamaan. Dengan melihat tantangan ke depan, NU harus bisa memiliki prioritas dalam memilih dan melakukan programnya. Setidak-tidaknya ada empat prioritas yang harus dilakukan dalam lima tahun ke depan.

Pertama adalah peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan. Selain memantapkan kuantitas dan kualitas kiprah pendidikan yang sudah ada, NU perlu membangun lembaga pendidikan yang selama ini belum sepenuhnya menjadi perhatian, seperti pembangunan universitas yang excellent di negara ini. Di ibukota negara dan pusat-pusat komunitas NU, NU harus memiliki universitas dengan standar internasional.

Kedua, di bidang pelayanan masyarakat, khususnya kesehatan, NU seharusnya memiliki rumah sakit yang memadai di Ibukota Republik dan pusat-pusat komunitas NU.

Ketiga, program pemberdayaan ekonomi warga nahdliyyin. NU melalui pengorganisasian yang baik dan profesional harus bisa mendayagunakan potensi ekonomi warga NU menjadi kekuatan ekonomi yang akan menjadi penopang model pembangunan ekonomi kerakyatan.

Keempat, program pengkaderan dan penguatan jaringan NU. Melalui pengkaderan terencara NU dapat menyiapkan sumberdaya manusia agar kelak mempunyai kemampuan berkiprah di berbagai bidang pengabdian untuk agama, bangsa ,dan kemanusiaan. Bersamaan dengan itu NU harus memperkuat jaringan SDMnya sedang berpirah dalam berbagai bidang kehidupan dan berada dalam berabagai lembaga kemasyrakatan dan kenegaraan.

Hal-hal di atas dapat dilakukan jika NU istiqamah dalam menjalani perannya sebagai organisasi sosial keagamaan, serta tidak tergoda untuk menjalani peran di luar kodrat dan maqamnya itu. NU tidak boleh dibawa ke dalam politik kepentingan yang sempit, NU tidak boleh diarahkan hanya menjadi pendukung partai politik tertentu. NU harus menjadi rumah bersama warganya yang beramal dan berkiprah di berbagai ladang dan bidang pengabdian. NU hanya melibatkan diri dalam politik dengan P besar: yakni politik kemaslahatan rakyat, politik keutuhan negara-bangsa, dan politik terwujudnya humanitas dalam kehidupan bersama.

PBNU pernah memfasilitasi pendirian PKB, dan sekrang PKB sedang dirundung konflik dan dianggap telah menyita energi NU sendiri. Apa yang perlu dilakukan PBNU?


Saya hanya mau mengatakan bahwa NU itu jamiyah diniyah yang sifat dasarnya sebagai pengembang dari suatu ajaran di NU yakni ahlussunnah wal jamaah. Karena sebagai pengamal, kemudian pengembang, maka sifat ajaran harus termanifertasikan dalam wataknya.

Karena itu konflik model konflik politik seharusnya jauh dari NU. Kalau dikatakan bahwa konflik PKB itu menguras energi NU saya kira tidak benar juga, wong PKB itu persoalan lain.

Jadi perlukah PBNU ikut cawe-cawe melerai konflik PKB?


Kalau PBNU melihat warga NU di semua parpol, bukan hanya PKB. Kalau muisalnya parpol perlu asistensi informal, nasihat, saya kira bisa saja dilakukan. Tetapi harus tetap menjaga koridor bahwa NU organisasi diniyah bukan partai politik. Karena partai politik di partai itu biasa karena partai itu tempatnya konflik. Ilmu pengetahuan mengatakan begitu, sedangkan di NU orang tidak berbicara apa kepentingan kita tapi apa yang kita punya kita abdikan kepada NU, untuk membesakan NU, untuk menjaga landasan berfikirnya, untuk menjaga amalnya, kiprahnya agar sesuai dengan ajarannya ahlussunnah wal jamaah.

Jadi politik NU itu dengan P besar tadi?

Ya. Yaitu ketika negara ini tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan bangsanya maka NU harus turun tangan. Ketika bangsa ini terancam eksistensinya dari keutuhannya itu NU harus turun tangan. Yang pertama kepentingan masyarakat umum, kepentingan bangsa dan kepentingan kemanusiaan. Kalau nilai-nilai kermanusiaan diinjak-injak maka NU harus turun tangan. Jadi kontek politik dalam NU adalah politik dalam arti moralitas, etik, bukan kepentingan.

Ada dikotomi NU kultural dan struktural, menurut Anda?


Saya kira itu bukan dikotomi, tapi realitas. NU adalah jamiyah diniyah. Jamiyah itu dalam bahasa indonesia adalah organisasi. Organisasi itu struktural. Tetapi anggota yang memiliki amal-amal keagamaan yang sama itu disebut NU kultural. Dan pada mulanya NU itu kultural dan ketika terjadi ancaman dari luar barulah NU dilahirkan sebagai organisasi, atau struktural, kalalu sudah organisasi maka hukum organisasi harus berjalan. Jadi karena itu segala sesuatu harus mengenal perencanaan, mengenal evaluasi.

Cara berfikir kultural-struktural seperti itu sebenarnya salah permulaan aja. Itu sebenarnya bukan hal yang berbeda

Kalau ada elemen NU yang menamakan diri kultural?

Itu boleh aja, kan hanya jargon saja, untuk membedakan diri. Padahal realitasnya NU itu kan satu.

Lebih khusus, menurut anda sosok pemimpin PBNU yang diperlukan ini seperti apa?

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ke depan harus bisa menggerakkan jami’iyah NU di tingkat wilayah, cabang, wakil cabang bahkan sampai ke ranting atau anak ranting dan warga. Siapa pun atau saya kelak kalau terpilih menjadi ketua umum NU dengan sistem organisasi yang saya permodern itu adalah ditujukan untuk membesarkan NU di seluruh Indonesia. Jadi bukan hanya membesarkan PBNU.

Jadi bergerak di tingkat PBNU tidak bisa diartikan bergerak di tingkat wilayah dan struktur kepengurusan ke bawah. Semua program yang dijalankan PBNU harus melihat aspek pergerakannya di daerah. PBNU pada beberapa hal malahan harus menjadi lokomotif saja dari gerakan keseluruhan baik di tingkat NU pusat, wilayah sampai ke ranting. Makanya, NU memerlukan pemimpin yang mengerti organisasi, dan punya track record memimpin organisasi besar. (*)

Daftar Riwayat Hidup :

Nama:
Slamet Effendy Yusuf

Lahir:
Purwokerto, Jawa Tengah, 12 Januari 1948

Istri:
Dra. Siti Aniroh

Anak:
Lulu Diany Zuhdiyya, Syarief Hidayatullah Az-Zaky, Ridlo Mohammad Fahmi

Ayah:
KH Yusuf Azhari

Ibu:
Hj. Umi Kulsum

Pendidikan :
S1 Fakultas Syarah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
S2 Pasca Sarjana Universitas Indonesia Bidang Politik.

Organisasi/Karir :
Ketua Anak Cabang IPNU Kecamatan Ajibarang
Anggota Front Pancasila/Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu, KAPPI Purwokerto
Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ( 1973-1975 )
Ketua PMII Cabang Yogyakarta (1972-1973)
Ketua Umum GP Ansor dua periode (1985-1995)
Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar (1988-1993)
Pemimpin Redaksi Majalah ARENA (1975-1978)
Wartawan harian umum Pelita (1977-1998)
Ikut mendirikan dan memimpin majalah Forum Keadilan (1989}
Anggota MPR-RI ( 1988-1993)
Anggota DPR-RI sejak 1992
Ketua Yayasan Islam Duta Yumika, Purwokerto
Ketua Yayasan Pendidikan Fajar Dunia, Jakarta
Ketua Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama MUI Pusat (sekarang)

Karya Tulis :
“Reformasi Konstitusi Perubahan Pertama UUD 1945”
“Dinamika Kaum Santri”
“Pendidikan Kependudukan untuk Pesantren” dll