Pamekasan, NU Online
Saat senja berlalu, tempat berukuran 7 x 3 meter itu ramai dengan anak-anak desa mengaji Al-Qur’an. Mereka melantunkan ayat-ayat Allah di tempat yang terbilang sederhana namun penuh makna; ‘lantai’nya dari bambu, dinding-dindingnya terbuat dari kayu-kayu pilihan. Bangunan yang berdiri kokoh di timur jalan desa tersebut tidak menyentuh tanah, tapi berkaki delapan dengan kayu dari pohon Mimba sebagai penyangganya, setinggi satu meter. Di bawahnya hidup berpasang-pasang burung merpati yang dipelihara dengan baik, dikurung dan diberi makan secara teratur setiap harinya.<>
Itulah gambaran sekilas surau Al-Firdaus yang menjadi salah satu sumber pencerahan Islam di Kampung Tambak Batu, Kertagena Tengah, Kadur, Pamekasan. Di dalamnya, puluhan anak desa menekuni belajar Al-Qur’an dari Magrib hingga azan Isya’ menyapa. Lelaki paruh baya bernama kiai Busiri mengajari mereka secara serius, sesekali dibantu oleh istri tercintanya yang juga tercatat sebagai tenaga pendidik di salah satu lembaga pendidikan swasta desa, nyai Marsiti. Mereka mendidik anak-anak desa tanpa gaji, hanya berbekal pengabdian pada agama serta ketulusan yang membaja.
Lazimnya, puluhan anak-anak desa yang terdiri dari ragam umur (5 sampai 16 tahunan) selalu membuat surau itu tidak sepi. Selain malam Jumat, mereka melantunkan ayat-ayat Allah yang dibimbing langsung oleh kiai Busiri dan nyai Marsiti. Keduanya tampak mampu menyabarkan diri di tengah kecenderungan anak-anak kecil yang suka bergurau. Untuk mengondisikan agar proses belajar Al-Qur’an tidak terganggu oleh suara-suara gaduh anak-anak kecil yang mengaji Al-Qur’an di surau Al-Firdaus itu, kiai Busiri dan nyai Marsiti memanfaatkan para santrinya yang sudah menginjak remaja. Mereka diberi amanah membimbing santri-santri kecil sebelum mereka diajari langsung secara bergiliran oleh kiai Busiri dan nyai Marsiti.
Hal ihwal pendirian surau Al-Firdaus tidak diketahui pasti. Jelasnya, ia dibangun tanpa nama dan hanya sebagai tempat menyantaikan diri bagi keluarga kiai Busiri. Tanpa ada maksud sebagai tempat menyemai berkah Tuhan melalui pancaran pahala yang berpangkal dari kemuliaan Al-Qur’an. Namun kemudian, berkisar 15 tahun yang lalu, kiai Busiri menerima amanah dari masyarakat untuk menggembleng anak-anak desa agar fasih membaca Al-Qur’an. Jadilah surau Al-Firdaus.
Saat itu, kiai Busiri masih membujang, masih menikmati masa-masa mudanya yang penuh warna. Akhirnya, masa-masa muda anak desa yang biasanya dijalani dengan kesantaian, tidak berlaku bagi kehidupan kiai Busiri. Ia berjiwaku dengan waktu, mendidik anak desa dengan ilmu baca Al-Qur’an-nya yang dikenal fasih oleh masyarakat. Beberapa tahun kemudian, ia melepas masa lajangnya dengan menikahi nyai Marsiti yang juga termasuk sepupunya. Kiai Busiri pun tidak sendirian mendidik para anak desa.
Kiai Busiri selaku pendidik di surau Al-Firdaus, secara formalitas, bukanlah santri atau terpelajar. Ia hanya menamatkan pendidikannya di bangku SD, kurang lebih 30 tahunan yang lalu. Kendati demikian, ia cukup fasih membaca Al-Qur’an yang ia pelajari dari salah satu tokoh agam di desanya. Itu kian diamini oleh masyarakat tiap kali ia ikut program ajian Al-Qur’an tiap malam Rabu di masjid Baiturrahim, salah satu masjid di desanya. Melalui loudspeaker masjid Baiturrahman, lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dibaca secara tartil olehnya. Dari itulah mungkin masyarakat langsung sadar bahwa ada pemuda yang bagus mengaji Al-Qur’an-nya, sehingga dipandang pantas mengajari anak-anak mereka mengaji Al-Qur’an.
Sedangkan nyai Marsiti sendiri tergolong perempuan terpelajar. Ia tamat pendidikan di bangku Aliyah di salah satu pesantren ternama di Pamekasan, Sumber Nangka. Ia tergolong santri yang berprestasi. Tak jarang ia dinobatkan sebagai siswa atau santri teladan selama mengenyam pendidikan di pondok pesantren Sumber Nangka. Saat ini ia sedang menjalani proses perkuliahan di salah satu perguruan tinggi di Pamekasan, sembari menjadi salah satu tenaga pendidik di desanya, yaitu di Yayasan Sosial dan Pendidikan Islam Miftahul Ulum (Yaspimu). Sekalipun pendidikannya tergolong tinggi melebihi sang suami, nyai Marsiti dikenal sebagai istri yang amat patuh nan setia kepada kiai Busiri.
Selain belajar Al-Qur’an, para santri Al-Firdaus juga diajari tata cara shalat yang baik dan benar. Sehabis shalat Isya’, mereka tidak langsung pulang. Secara serentak, terutama yang masih kecil-kecil, mereka digembleng belajar shalat oleh kiai Busiri dan nyai Marsiti. Metode yang digunakan kiai Busiri dan nyai Marsiti cukup menarik. Semua santrinya disuruh melantunkan bacaan-bacaan shalat secara nyaring, lengkap dengan gerakan-gerakan shalat secara sempurna. Itu berlangsung cukup lama, karena kiai Busiri dan nyai Marsiti masih harus membetulkan gerakan shalat para santrinya yang dinilai kurang sempurna.
Pendidikan cinta lingkungan juga diterapkan di surau Al-Firdaus. Di sini dibentuk piket kebersihan. Dibuatkanlah jadwal kebersihan oleh kiai Busiri. Sebelumnya ia bermusyawarah dengan para santri terkait dengan jadwal kebersihan itu. Dengan begitu, secara bergantian, para santri membersihkan surau Al-Firdaus setiap malam. Bagi yang kebagian piket, sesuai dengan jadwal yang ditentukan, mereka datang ke surau Al-Firdaus jauh-jauh waktu sebelum azan Magrib berkumandang. Dari situlah lahir pula nilai pendidikan yang mengarah pada pendisiplinan.
Menariknya lagi, jalinan emosionalitas antara kiai dengan santri di surau al-Firdaus terbilang kental. Tiap hari raya Idul Fitri, para santri surau Al-Firdaus berkumpul di kediaman kiai Busiri dan nyai Marsiti. Dengan membawa zakat Fitrah, mereka mendatangi tempat mereka dalam menimba ilmu Al-Qur’an tanpa melepas senyuman yang menghiasi wajah mereka. Mereka langsung bersalaman dengan kiai Busiri beserta keluarganya, mengharap maaf lahir dan batin.
Beberapa menit kemudian, ketika para santri surau Al-Firdaus berkumpul semua, keluarlah hidangan yang nyaris meneteskan air liur. Beraneka ragam makanan ringan dan nasi lengkap dengan luak pauknya menggoda selera para santri surau Al-Firdaus. Setelah tuan rumah mempersilahkan mereka makan, mereka pun makan dengan lahapnya.
Aktivitas seharian kiai Busiri ialah bertani. Sesekali ia dibantu oleh nyai Marsiti sehabis istrinya ini selesai mengajar di Yaspimu. Amat mudah menjumpai kiai Busiri memikul cangkul tiap harinya. Dialah petani yang pendidik, menghidupi banyak orang dengan usaha fisiknya dan mencerahkan anak bangsa melalui ilmunya.
Redaktur : Syaifullah Amin
Kontributor : Hairul Anam