Rembuk Perempuan Adat di Lombok Utara Cegah Kekerasan dan Perkawinan Anak
Sabtu, 2 Agustus 2025 | 16:00 WIB
Lombok Utara, NU Online
Data dari Simponi 2024 yang dihimpun oleh DP3AP2KB Provinsi NTB mencatat sebanyak 603 kasus kekerasan terhadap anak di wilayah NTB. Kabupaten Lombok Timur menempati posisi tertinggi dengan 187 kasus, diikuti Lombok Utara (112 kasus), dan Kota Bima (79 kasus).
Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat 967 kasus kekerasan seksual terjadi di NTB selama periode 2024–2025, dengan dominasi kasus berada di lingkungan pendidikan.
Selain itu, angka perkawinan anak di NTB juga masih mengkhawatirkan. Pada 2023, NTB tercatat sebagai provinsi dengan angka tertinggi secara nasional sebesar 17,39 persen, meskipun pada 2024 mengalami penurunan menjadi 14,96 persen. Angka tersebut tetap jauh di atas rata-rata nasional sebesar 5,6 persen.
Berangkat dari keprihatinan atas tingginya kasus tersebut, Lakpesdam PWNU NTB dan Fatayat NU Kabupaten Lombok Utara menggelar Rembuk Perempuan Adat, Kamis (31/7/2025), di Dusun Beleq, Desa Gumantar.
Rembuk Perempuan Adat digelar sebagai forum untuk menggali gagasan dan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat dalam merespons isu kekerasan dan perkawinan anak.
Masyarakat adat dikenal memiliki tata nilai kuat dalam hal solidaritas, pengasuhan, serta relasi sosial yang harmonis; hal yang dapat dijadikan pijakan dalam upaya perlindungan perempuan dan anak.
Kegiatan ini mengusung tema Transformasi Gagasan Perempuan Adat untuk Perlindungan Perempuan dan Anak dari Potensi Kekerasan. Hadir sebagai narasumber, Denda Suriasari dari Dewan Aman Nasional (Damanas) Bali Nusra dan budayawan NTB Satria Wangsa.
Sejumlah tokoh juga turut hadir, antara lain Camat Kayangan yang diwakili Raden Sawinggih; Kepala Desa Gumantar Japarti; Ketua Fatayat NU KLU Megawati, Duta Perempuan Aaman KLU, serta para tokoh dan perempuan adat setempat.
Field Coordinator Lakpesdam PWNU NTB, M Jayadi, menjelaskan bahwa rembuk ini merupakan inisiatif yang dirancang untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam isu-isu strategis.
“Salah satu pilar yang ingin kami perkuat adalah masyarakat adat,” ujar Jayadi pada kegiatan yang merupakan bagian dari Program Inklusi hasil kemitraan antara Pemerintah Australia dan Bappenas RI.
Menurutnya, masyarakat adat menyimpan kekayaan nilai dan praktik kehidupan yang bisa menjadi referensi penting dalam upaya mitigasi kekerasan.
“Termasuk dalam isu perempuan dan anak, kami ingin mengidentifikasi ide, praktik, dan ritual yang relevan agar bisa dijadikan rujukan dan disebarluaskan,” tambahnya.
Jayadi menyoroti pentingnya kontribusi budaya dan adat dalam memahami dan mencegah praktik kekerasan serta perkawinan anak. Ia berharap diskusi ini mendorong lahirnya kebijakan konkret.
“Kami ingin dari diskusi ini lahir rekomendasi yang bisa dibawa ke pemerintah, terutama dalam upaya menurunkan angka pernikahan dini, stunting, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tegasnya.
Tak hanya sebagai forum diskusi, rembuk ini juga menjadi ruang bagi perempuan adat untuk menyampaikan pandangan dan praktik hidup yang dapat dikembangkan sebagai model perlindungan.
“Tujuan akhirnya adalah menjadikan suara perempuan adat semakin didengar dan diperhitungkan dalam masyarakat,” pungkas Jayadi.