Nasional

Harmonisasi Umat Beragama di Desa Mbawa: Mulai dari Kehidupan Sosial, Keluarga hingga Pemberian Nama

Kam, 27 Oktober 2022 | 17:30 WIB

Harmonisasi Umat Beragama di Desa Mbawa: Mulai dari Kehidupan Sosial, Keluarga hingga Pemberian Nama

Uma Leme, wadah penyatuan antarumat beragama di Desa Mbawa. (Foto: dok I Made Purna/Jurnal Dikbud)

Agama atau keyakinan kerap kali dijadikan pagar pembatas dalam pergaulan kehidupan sosial. Namun, tidak pada masyarakat di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Harmonisasi kehidupan antarumat beragama di desa yang memeluk tiga agama yaitu Islam, Katolik, dan Protestan ini tidak hanya dipraktikkan dalam lingkup keluarga, kehidupan sosial, tetapi juga nama orang dengan mengombinasikan nama-nama dari 3 agama tersebut.


Pada masyarakat Mbawa pemberian nama dari dua bahkan tiga agama sebagai keyakinannya sudah tidak menjadi sesuatu asing. Padahal agama yang dianut dan diyakininya hanya satu agama. Namun untuk penghormatan, karena agama itu adalah ciptaan Tuhan, maka warga sangat banyak mengutip dan mencontoh tokoh-tokoh maupun nabi-nabi dari dua agama yang berbeda.


Strategi seperti ini belum tentu dapat diterapkan pada etnik maupun daerah lain untuk mewujudkan toleransi beragama. Namun, bagi etnik Donggo yang berada di Desa Mbawa akan merasa aman, bermoral, dan sudah terbukti hasilnya dalam kehidupan bermasyarakat.


Nama-nama anggota masyarakat Mbawa yang menggunakan dua agama seperti nama Yohanes Ibrahim, Anderias Ahmad, Bernadus Abu Bakar Wrg Prote, Petrus Herman Fabianus Tabi, Ignatius Ismail, Matinus Tamrin, Markus Jafar, dan lain-lain. Untuk kaum perempuan, nama-nama tersebut seperti Kristin Siti Hawa, Marta Maemunah, Marta Hadijah, Anastasia Nuraini, dan lain-lain. Pada umumnya nama-nama tersebut digunakan oleh pemeluk agama Katolik dan Protestan sebagai bentuk pengejawantahan terhadap sikap toleransi.


Dengan demikian, karakter nama seseorang di Desa Mbawa yang mengombinasikan tiga agama tersebut menjadi salah satu sistem perekat kehidupan sosial keagamaan di Desa Mbawa.


Menurut I Made Purna dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, NTB, NTT yang meneliti tentang kearifan lokal di Desa Mbawa sebagai perekat kehidupan sosial (2016) menjelaskan bahwa selama empat dasawarsa terakhir, tidak pernah terjadi konflik di kalangan masyarakat Desa Mbawa.


Kerukunan erat yang ditunjukkan masyarakat Desa Mbawa tidak lepas dari akar sejarah dan karakteristik masyarakat yang sedari awal sudah terbuka menerima perbedaan. Pengaruh agama Katolik, Protestan, dan Islam baru masuk pada abad ke-20. Dengan masuknya ketiga ajaran agama itu, masyarakat Donggo mulai terbuka dengan dunia dan masyarakat luar. Etnis Donggo dengan cepat menerima pembaruan-pembaruan.


Masyarakat Desa Mbawa pada hakikatnya sangat membanggakan hidup harmonis antara pemeluk agama Islam, Kristen Prostetan, dan Katolik. Tidak ada hal-hal yang mengusik ataupun mengganggu kerukunan tersebut. Masing-masing saling menjaga dan menghormati.


Etnik Donggo yang berada di Desa Mbawa tidak memandang mayoritas dan minoritas. Walaupun jumlah penduduk Desa Mbawa sebanyak 4.774 jiwa yang terdiri atas pemeluk Islam 3.737 jiwa, Protestan 96 jiwa, dan Katolik 941 jiwa (Data Statistik Desa Mbawa, 2015).


Ketiga pemeluk agama ini memiliki tempat peribadatannya masing-masing, yaitu Masjid Jaba Nur, Gereja Katolik St. Paulus Mbawa, serta Gereja Protestan GKII (Kemah Injil). Meski letak bangunan ini saling berjauhan, tetapi ketika ada perayaan hari besar agama yang diselenggarakan di masing-masing tempat ibadah, para pemuda dari masing-masing agama saling mengundang satu sama lain.


Satu rumah dua keyakinan

Sistem perekat kehidupan sosial keagamaan yang sudah terjalin penuh dengan harmonisasi menjadikan masyarakat Desa Mbawa menjadi rujukan moderasi dalam kehidupan beragama. Bahkan di desa ini sudah tidak asing lagi melihat antara orang tua dan anak memiliki keyakinan beragama berbeda. Meski begitu mereka tetap hidup rukun, tenteram, dan damai.


Realitas tersebut telihat pada keluarga Khadijah. Agama yang dianut perempuan paruh baya tersebut ialah Kristen Protestan. Sehari-hari dia menempati rumah panggung sebagai tempat tinggal. Khadijah tidak sendirian, ia tinggal bersama suami bernama Ismail, anak, dan menantu. Ternyata keluarga besar yang terdiri atas dua KK itu memeluk agama yang berbeda, yaitu Islam dan Protestan. Ismail, suami Khadijah beragama Kristen Protestan.


Khadijah bercerita, anaknya Junari yang beragama Islam karena dipinang menantunya Nurdin, seorang muslim. Dengan cinta yang tulus dan keikhlasannya, Junari saat akan menikah bersedia berpindah keyakinan dari protestan ke Islam.


Melihat putrinya pindah agama, sikap Khadijah tetap menerima dengan hati yang lapang dan menghormati keputusan anaknya. Bagi Khadijah anak yang berpindah agama bukan pertama kali dialami dalam hidupnya. Sebab dari perkawinan Khadijah dengan Ismail lahir 4 orang anak. Dua di antaranya beragama Islam, satu Katolik, dan satu lagi tetap Protestan.


Kebutuhan anak-anaknya yang beragama Islam juga tetap dipenuhi oleh Khadijah. Setiap bulan suci Ramadhan tiba, Khadijah sudah terbiasa bangun pada pukul tiga pagi untuk menyiapkan makan sahur bagi mereka. Karena menurut Khadijah, dia berkewajiban menjaga ibadah anak-anaknya.


Bahkan selama bulan Ramdahan, Khadijah dan Ismail tidak pernah makan di siang hari. Kecuali anak dan menantunya yang beragama Islam tidak berada di rumah. Pola seperti itu sudah bertahun-tahun diterapkan Khadijah dan suami dalam rumah tangganya.


Keluarga beda agama seperti Khadijah memang banyak di Mbawa. Hal ini sudah menjadi budaya warga Mbawa. Tak ada batasan dalam memilih pasangan. Walaupun mereka beda agama. Jadi tidak heran menemukan puluhan ayah dan anak yang berbeda keyakinan di Mbawa. Perbedaan agama itu tidak membuat mereka saling menyalahkan. Di sana memilih keyakinan dibebaskan. Asal pilihan tersebut benar-benar datang dari hati tanpa paksaan.


Kearifan lokal perekat kehidupan umat beragama

Masyarakat etnis Donggo di Desa Mbawa juga memiliki sejumlah kearifan lokal yang berfungsi sebagai perekat kehidupan sosial keagamaan antarumat beragama. Seperti yang terkandung dalam rumah tradisional Uma Leme dan upacara tradisional Raju.


Upacara Raju merupakan upacara pembasmian hama dan penentuan musim tanam yang dilaksanakan setiap tahun sebelum musim tanam. Upacara ini mengandung nilai-nilai budaya yang sejak dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh etnik Donggo, seperti percaya dengan adanya kekuatan Ilahi yang tidak dimiliki manusia, menjalin hubungan harmonis antarmanusia, dan selalu harus menjaga keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya.


Sementara itu, rumah tradisional Uma Leme telah menjadi bangunan cagar budaya pemerintah Kabupaten Bima. Uma Leme merupakan menumen kerukunan umat beragama yang dibentuk masyarakat Mbawa saat upacara Raju itu digelar. Fungsi Uma Leme cukup penting sebagai pusat harmonisasi dan sumber penyatuan antarumat beragama. Uma Leme dan upacara Raju dapat dijadikan rujukan kesadaran sosial antarumat yang berbeda agama.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Muhammad Faizin

 

=====================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI