Dr. Syauqi al-Fanjari, pemikir ekonomi Islam yang cukup terkemuka sebelum Dr. Asyraf Muhammad Dawabah, dalam buku monumentalnya yang berjudul al-Madzhab al-Iqtishâdy fî al-Islâm mengemukakan tuju prinsip (ushûl) ekonomi Islam lengkap beserta dalil-dalil Al-Qur’an dan haditsnya. Segala kegiatan ekonomi harus tunduk terhadap prinsip-prinsip tersebut.<>
Menurut Adhi Maftukhin, ekonomi Islam datang sebagai pelengkap. Ia tidak menawarkan segala hal yang sama sekali baru dan berbeda dari sistem ekonomi lain. Ia tak lain sebagai sebuah fragmen penyempurna dari sistem perkonomian dunia yang telah ada. Titik tekanya banyak terfokus pada akhlaqiyyât (moral-etik).
Ekonomi Islam melanggengkan sistem-sistem yang dinilai positif dan tak menyalahi prinsip syariah, di satu sisi, dan mengeliminasi sistem yang bertentangan dengan syariah. Namun Asyraf Muhammad Dawabah memastikan bahwa kadar efektifitas dan solutifitas sistem ekonomi Islam sendiri sangat bergantung pada bagaimana sistem itu diterapkan. Jika tidak diterapkan secara sempurna, tentu sistem ekonomi Islam sendiri tak akan beda jauh dengan sitem konvensional yang ada.
Adhi mengungkapkan, dalam Islam konsumsi tidak hanya mementingkan aspek kepuasan materi akan tetapi lebih condong ke aspek pemenuhan kebutuhan. Dalam Islam ada norma-norma yang semestinya ditaati oleh seorang Muslim dalam kegiatan konsumsi.
Pertama, barang yang akan dikonsumsi adalah barang yang halal. Hal ini sesuai dengan arahan Al-Qur’an secara tegas dalam beberapa ayat. Kedua, prinsip keseimbangan dalam konsumsi. Yaitu tidak jor-joran dalam mengkonsumsi sebuah produk. Ketiga, prinsip prioritas dalam konsumsi. Yaitu mendudukkan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier sesuai dengan tempatnya. Keempat, tidak terpedaya oleh style dan mode. Kelima, budaya menabung dan keenam adalah pengawasan dari negara.
Sistem ekonomi Islam menjadikan keadilan sebagai asas dalam distribusi dan memberikan batasan-batasan dalam distribusi fungsional dan personal supaya tercipta keadilan nisbi yang menjadi kestabilan dalam kehidupan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Keadaan ini bertolak belakang dengan sitem ekonomi kapitalis yang menciptakan kesenjangan dalam masyarakat disebabkan tersumbatnya proses distribusi pendapatan.
Berbeda pula dengan sistem ekonomi sosialis yang menjadikan masyarakat secara bersama-sama dalam kemelaratan, sementara dilain pihak kaum penguasa hidup dalam kemewahan. Oleh karena itu Islam memberikan batasan-batasan dalam hal distribusi fungsional dan personal.
Dalam distribusi fungsional Islam tidak mengenal istilah uang melahirkan uang, karena sistem pendapatan dalam Islam diatur dengan dua cara yaitu, aktifitas yang menghasilkan upah atau laba dan harta/modal–selain dari uang--yang akan menghasilkan laba atau sewa.
Sumber pemasukan dalam Islam hanya ada dua yaitu aktifitas yang menghasilkan laba atau upah dan dengan modal (kapital). Sebab itu, dalam Islam tak mengenal bunga, dan penghasilan pasti dari aktifitas ekonomi. Sedang dalam distribusi personal sistem ekonomi Islam sangat menganjurkan umatnya untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan dalam pendapatan dan kekayaan.
“Karana itu Islam memperbolehkan adanya kepemilikan pribadi melalui rangkaian kegiatan yang dapat menghasilkan kekayaan dengan catatan mengikuti norma-norma yang ada dalam Islam, misalkan saja menghindari riba, monopoli dan yang sejenisnya,” demikian Adhi Maftuhin.
Redaktur : A. Khoirul Anam
Kontributor: Emril El Batanji