Film Seribu Bayangan Purnama Gambarkan Pak Haji Jadi Tokoh Pembaharu
Kamis, 26 Juni 2025 | 17:00 WIB
Jakarta, NU Online
Agustinus Gusti Nugroho atau yang akrab dikenal Nugi memerankan Budi atau Pak Haji dalam film Seribu Bayangan Purnama. Ia menjadi ayah dari tokoh utama, Putro Hari Purnomo.
Keteguhannya dalam menerapkan cara bertani alami dengan pupuk dan pestisida yang diproduksi mandiri menjadi inspirasi masyarakat di sekitarnya. Cara bertaninya ini kemudian berkembang dan ditularkan anaknya, Putro, yang diperankan Marthino Lio, hingga menyebar di seluruh petani.
Setelah mulanya hanya penggarap, keteguhan Budi dengan metodenya itu dan ketulusan istrinya meminjamkan tabungannya untuk membeli sepetak lahan menjadi pengantar mereka dalam meraih keberhasilannya.
Setelah sukses, Budi lebih dikenal sebagai Pak Haji dan membangun langgar yang menjadi sarana beribadah masyarakat sekitarnya.
Keteguhannya dengan terus mengembangkan cara bertani alami merupakan bentuk perlawanan terhadap cara bertani kimiawi yang marak, secara tidak langsung. Tidak dengan kekerasan, perlawanan itu dilakukan dengan hati.
Tokoh demikian sengaja dibentuk Sutradara Yahdi Jamhur dalam film tersebut karena memang dalam realitas di tengah masyarakat demikian adanya.
"Pak Haji itu sebetulnya kita mencoba mendekatkan dengan realita yang ada di kultur Indonesia bahwa ada di dalam strata masyarakat itu ada panutan," katanya usai Press Screening dan Press Conference di Metropole XXI, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
Yahdi menjelaskan bahwa Budi atau Pak Haji itu memang diberi sentuhan karakter yang membawa pesan demikian, bukan saja dari sikapnya tetapi juga laku dan motivasi, serta pesan verbalnya.
"Di konstelasi sosial kultur Indonesia kan begitu," jelas pria yang pernah aktif di dunia jurnalisme dan film dokumenter itu.
Ia mengaku ingin betul-betul mendekatkan film karyanya tersebut dengan dunia yang sebetulnya. "Ini kita pengen bikin film fiksi tapi enggak fake (palsu)," ujarnya.
Sosok Putro yang menjadi anaknya pun tampil berupaya mewujudkan mimpi-mimpi ayahnya. Ia kembali ke tanah kelahirannya dan melanjutkan perjuangan ayahnya secara sukarela setelah beberapa tahun merantau di kota.
Sebaliknya, terdapat juga tokoh seperti Gatot dan anaknya, Dodit. Gatot merupakan petani yang sempat menjadi tuan bagi Budi. Namun, keteguhan Budi untuk menggunakan pupuk dan pestisida produksi sendiri dari bahan alami membuatnya dipecat.
Lahan mereka yang luas itu membuat istri hidup glamor. Hal itu ditunjukkan dengan tangannya yang penuh dengan gelang dan cincin emas. Sementara Dodit, putranya, juga tak kalah gengsi dengan mencicil mobil.
Dodit bersikap culas dengan bertindak curang dan tidak jujur dalam perlombaan melalui penyebaran tikus ke lahan Putro. Pun hasil panen berikutnya yang tidak memuaskan.
Di ujung, pada akhirnya, keluarga Gatot pun berkiblat pada Budi. Gatot turut berjamaah di langgar yang dibangun Budi. Dodit pun turut mengikuti sosialisasi yang disampaikan Putro.
Film ini juga dibalut kisah cinta antara Putro dan Ratih, adik Dodit dan putra Gatot. Benih itu sudah tumbuh sedari Budi masih bekerja pada Gatot. Nasib pekerjaan dan cita membawa mereka ke persimpangan sampai akhirnya tanah kelahiran mempertemukan mereka kembali.
Film ini juga menampilkan unsur lokalitas dengan adegan Budi yang selalu menentukan hari tanam dan panen berdasarkan perhitungan kalender Jawa, mulai tanggal, hari umum hingga hari pasaran.
Mimpi yang terwujud
Bagi Yahdi, lahirnya film ini membawa mimpinya tercapai. "Film ini menjadi seperti mimpi yang menjadi kenyataan," katanya.
Sebab, menghasilkan karya film layar lebar ini menjadi salah satu yang dicita-citakannya setelah lama berkecimpung di jurnalistik dan menghasilkan sejumlah film dokumenter. "Akhirnya dikasih kesempatan untuk bikin film layar lebar," ujarnya.
Pemaknaan mimpi ini sedikit berbeda dengan penulis skrip, Swastika Nohara. Menurutnya, kelahiran film ini merupakan sesuatu untuk memulai mimpi baru demi terwujudnya petani sejahtera.
"Yang bisa, saya bikin karya. Karya memulai sebuah perubahan di masa mendatang," katanya.