Nasional

Gus Rozin Sampaikan Transformasi Digital Masih Jadi Tantangan bagi NU

Rab, 22 Desember 2021 | 12:30 WIB

Gus Rozin Sampaikan Transformasi Digital Masih Jadi Tantangan bagi NU

Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) KH Abdul Ghofar Rozin (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Transformasi digital masih menjadi tantangan bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), terutama dalam hal bagaimana menjadi 'pemain', bukan hanya menjadi pengguna.


"Mayoritas menjadi pengguna, walaupun beberapa kelompok santri dan pesantren masih apa gagap teknologi juga. Tetapi secara pelan-pelan kalau menjadi pengguna saya kira tinggal menunggu waktu semuanya akan menjadi pengguna teknologi," kata Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU) KH Abdul Ghofar Rozin pada tayangan Road to Muktamar Ke-34 NU Seri 1: Pesantren dan Tantangan Global diakses Rabu (22/12/2021) pagi.


Menurutnya menjadi pemain dalam persoalan digital ini menjadi persoalan sendiri, transformasi digital di dunia pesantren masih menjadi tantangan yang sangat besar.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


"Saya sih harapannya adalah yang pertama apa kita tidak bisa lagi menghindar. Dunia pesantren, Nahdliyin, dan Nahdlatul Ulama tidak bisa lagi menghindar dari datangnya digitalisasi ini. Saya kira pesantren harus bertransformasi," jelasnya.

 

Lebih lanjut Gus Rozin mengatakan ketika pesantren bertransformasi secara digital, maka kultur pesantrennya harus tetap ada, dan harus insan-insan pesantren sendiri yang melakukan transformasi digital.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

"Kenapa transformasi digital ini menjadi sangat penting sekali, bahwa kita ingin memenangkan bonus demografi di internal dalam negeri. Artinya bahwa usia produktif yang ada di Nahdliyin itu adalah orang-orang yang mempunyai skill, mempunyai kemampuan untuk maju begitu, mempunyai hal-hal dasar sehingga tidak tergantung dengan orang lain," kata Gus Rozin.


Menurut dia hal itu juga ada kaitannya dengan hal lain yang lebih penting yaitu soal kontestasi otoritas keagamaan, soal perebutan otoritas keagamaan. "Mestinya kita menyadari, dan mengalami bahwa dalam beberapa tahun kemarin ini sungguh perebutan otoritas kelamaan dan otoritas keagamaan ini sangat besar sekali," jelasnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Ia mengingatkan fakta bahwa generasi Z di Indonesia itu adalah generasi yang tertinggi perhatiannya terhadap agama. Berbeda dengan generasi Z di negara-negara lain, serta melek kepada namanya internet dan dunia digital juga sangat tinggi.

 

"Artinya ketika kemudian otoritas keulamaan ini tidak digeser kepada dunia maya secara virtual begitu. Maka kemudian orang-orang dari generasi muda di Indonesia ini baik santri, maupun non santri. Itu akan mencari fatwa, mencari apa namanya solusi-solusi keagamaan baik itu ubudiyah, yaumiyah, muamalah, maupun wathaniyah itu kepada namanya kepada dunia digital," ungkapnya.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Menurutnya kalau kiai-kiai kita ini tidak menguasai dunia digital, maka otoritas keagamaan dan otoritas keulamaan yang selama ini dipegang oleh para kiai-kiai kita, kemudian bergerak pada orang lain.


"Jadi ini dua hal yang penting, pertama soal transformasi digital, kedua ini berkaitan dengan soal konstentasi otoritas keagamaan, dan kontestasi otoritas keulamaan," pungkasnya.
 

Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

ADVERTISEMENT BY ANYMIND