Peran Agama dan Budaya Lokal Penting dalam Mendorong Kesadaran Ekologis Masyarakat
Ahad, 24 Agustus 2025 | 11:00 WIB

Eco-Talk: Faith in Action-Greening the Earth through Spiritual Responsibility oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu (23/8/2025). (Foto: NU Online/Rikhul Jannah)
Jakarta, NU Online
Perubahan iklim menjadi tantangan global yang membutuhkan respons dari seluruh lapisan masyarakat. Pendakwah muda, Habib Husein Ja’far Al Hadar menyampaikan bahwa peran agama dan budaya lokal dinilai sangat penting dalam mendorong kesadaran ekologis masyarakat Indonesia.
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara Eco-Talk: Faith in Action-Greening the Earth through Spiritual Responsibility yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu (23/8/2025).
“Green lifestyle dengan agama memberikan penjelasan yang kontekstual berdasarkan visi yang ramah lingkungan. Sedangkan agama kita, Islam dibangun oleh kesadaran yang peduli terhadap lingkungan,” ujar Habib Ja’far.
Ia menambahkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki tradisi mendengarkan nasihat para tokoh agama. “Saya kira, perlu sebulan sekali, khutbah Jumat berisi isu lingkungan, kesadaran akan menjaga lingkungan karena masyarakat kita lebih mempan kalau yang nasihatin para ulama, para tokoh-tokoh agama,” ungkapnya.
Senada, Pengurus Pondok Pesantren Al-Ittifaq Bandung, Silvie Fauziah menyampaikan bahwa menjaga dan melestarikan lingkungan yang perlu dilakukan melalui pendekatan keagamaan.
Ia memaparkan praktik nyata integrasi nilai agama dan aksi lingkungan yang dilakukan para santri hingga alumni Pondok Pesantren Al-Ittifaq Bandung, memiliki jadwal antara mengaji dan menjaga lingkungan.
“Para santri memiliki jadwal yang rapih, dimana pagi hari hingga siang hari bersekolah, sore hari diajarkan peduli terhadap lingkungan, dan malam harinya lanjut mengaji,” ujarnya.
“Untuk alumni, pagi hingga sore hari menjadi petani, ada yang petani sayur, sawah, ada juga peternak sapi, domba, lalu ketika malam hari seminggu sekali tepatnya di malam Jumat, mereka berkumpul untuk mengaji, seperti fiqih yang tentu bereratan dengan lingkungan,” lanjutnya.
Sementara itu, Pemuda Adat Suku Dayak, Dellysape menyoroti hubungan masyarakat Dayak dengan hutan yang melampaui logika pemanfaatan. Baginya, hutan adalah rumah, ruang hidup, sekaligus identitas kultural.
“Jika hutan hilang, maka rumah orang Dayak juga ikut hilang. Kehidupan masyarakat Dayak itu berkaitan erat dengan alam dan adat,” ujarnya.
Dellysape mengungkapkan bahwa jauh sebelum isu lingkungan menjadi wacana global, masyarakat suku Dayak telah hidup lestari secara turun-temurun.
“Ketika kita menjaga alam, maka ala makan menjaga kita. Itu yang kami terapkan dalam kehidupan sehari-hari,” ucapnya.