Omzet Jutaan Rupiah Santri Annuqayah Lubangsa Mandiri Kelola Laboratorium Sampah
Kamis, 19 Oktober 2023 | 07:00 WIB
Ekopaving blok yang diproduksi dari daur ulang sampah di UPT Jatian Annuqayah Sumenep Jawa Timur (Foto: NU Online/Firdausi)
Firdausi
Kontributor
Sumenep, NU Online
Keberadaan Laboratorium Sampah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jatian di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur memberikan dampak positif kepada santri dan masyarakat dalam mendaur ulang sampah plastik. Semenjak didirikan wadah pengolahan tersebut, kini Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa sudah 'kekurangan' sampah plastik. Tidak sekadar membuat sampah plastik berkurang, pengelolaan itu juga meraup uang jutaan rupiah setelah santri menjual sampah dan rongsok kepada pengepul.
Direktur Laboratorium Sampah UPT Jatian, Hariyadi menyatakan bahwa wadah pengolahan sampah ini bukan tempat bisnis. Sebagaimana dawuh pengasuh pesantren, tempat ini sekadar tempat main-main. Namun pengasuh memberikan titik tekan kepadanya bahwa yang terpenting adalah sampah harus dilakukan pemilahan.
Rumah ekologi di Lubangsa Putri yang menghasilkan kerajinan tangan seperti aksesoris, tikar, bunga, vas bunga, pot bungan, dompek, tas, kursi dan lain sebagainya merupakan cara yang terbaik agar sampah plastik dapat dimanfaatkan menjadi benda yang layak dijual dan dapat digunakan dalam setiap aktivitasnya di pesantren. Demikian pula ekopaving blok yang diproduksi di Lubangsa Putra dan sampah rongsok yang menghasilkan 'cuan', merupakan bonus dari jerih payah pengabdian santri.
"Sebenarnya target dan tujuan dari wadah pengolahan sampah adalah untuk mengubah perilaku santri agar tidak membuat sampah, mengurangi sampah, membuang sampah pada tempatnya dan memilih sampah sesuai jenisnya. Target kami bukan membuat ekopaving sebanyak-banyaknya tapi, juga tak ada maksud menjual barang rosok pada pengepul, tetapi bagaimana santri disiplin terhadap sampah," ujarnya kepada NU Online, Rabu (18/10/2023).
Pesantren Annuqayah Lubangsa yang dikenal dikenal memiliki banyak Organisasi Daerah (Orda) mulai sadar mengemas sebuah kegiatan seremonial dengan berwawasan lingkungan. Artinya, setiap acara yang dihelat, pengurus tidak menyuguhkan konsumsi yang dibungkus menggunakan plastik, seperti menyediakan galon air, dispenser, gelas kaca, jajan tradisional, dan sejenisnya.
"Ini imbauan langsung dari pengurus Penerangan dan Pengembangan Organisasi (P2O) agar Orda yang menghelat acara harus berwawasan lingkungan," ujar alumnus Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk ini.
Dirinya menegaskan, seluruh produk yang dihasilkan oleh UPT Jatian tidak diperjualbelikan, seperti ekopaving blok. Di Jatian, kata dia, ada 3 macam bentuk ekopaving blok, yaitu bentuk segi enam, segi empat ukuran kecil dan segi empat ukuran besar. Ekopaving segi enam dan segi empat berukuran kecil, ditaruh taman dan perkantoran. Sedangkan ekopaving segi empat berukuran besar, bisa dijadikan batu bata pembatas halaman masjid.
"Ekopaving yang pertama kali dijadikan percobaan adalah bentuk segi enam. Untuk membuatnya dalam 1 cetakan, dibutuhkan 2- 2,5 kilogram 1 sampah plastik daun seperti plastik bening, kresek, bisa juga plastik multilayer. Untuk jenis plastik multilayer tidak langsung dilelehkan dalam tong yang dipanaskan, tapi dihaluskan terlebih dahulu,” urainya.
Hariyadi menyatakan, sampah rongsok dijual 2 kali dalam 1 bulan, tepatnya setiap tanggal 15 dan 30. Volume uang yang dihasilkan bisa mencapai 3 sampai 3,5 juta rupiah. Pada intinya, hasil penjualan ditentukan oleh jumlah volume sampah. Jika jumlahnya sedikit, bisa mencapai 2 juta rupiah.
"Berdasarkan pendapatan dari bulan Mei-September 2023 sudah 21 jutaan. Uang tersebut untuk konsumsi petugas. Namun santri tak mengharap itu, notabene santri pengelola di sini mengharap keberkahan dalam mengabdi di pesantren. Sejak mendapatkan pendapatan, kami mandiri dan tidak bergantung lagi kepada pesantren,” ungkapnya.
Selain itu, hasil penjualan dibelikan kebutuhan UPT Jatian, seperti memperbanyak alat pembakaran sampah residu (insinerator). Alasannya adalah insinerator yang dimilikinya tidak memenuhi standar. Artinya, bahan insinerator tidak menggunakan bata api yang dilapisi plat besi yang tebal.
"Satu juta rupiah sebagai modal awal, kami buat insinerator dengan alat seadanya yakni tong besi. Berselang 3 bulan, alat itu rusak. Kami coba buat menggunakan bahan bata ringan. Hasilnya pun juga sama. Hari ini kami membuat menggunakan batu bata tanah yang dicampur semen (mirip tomang atau tungku masak tradisional)," terangnya.
Dirinya berharap kepada pemerintah memberikan perhatian. Diakuinya bahwa Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumenep pernah memberikan bantuan viar. Itu pun kendaraan roda tiga tersebut diterima pihak pesantren sebelum UPT Jatian berdiri.
Karbonisasi
Hariyadi menjelaskan, proses karbonisasi berlangsung selama 4-5 jam dan dilakukan setiap hari. Jadi, proses pemilahan, daur ulang dan pembakaran dilakukan pukul 13.00 WIB tepatnya di luar jam belajar formal. Tahap kedua di start pada pukul Jam 21.00 WIB.
Selama proses pembakaran, kata dia, tetangga yang berada di lingkungan pesantren tidak terganggu. Karena sebelum mendirikan wadah pengolahan ini, pihaknya telah melakukan koordinasi dan meminta izin kepada warga setempat.
"Kami akui bahwa di awal berdirinya UPT Jatian, warga sempat terganggu pada asap pembakaran. Karena waktu itu sampah residu sangat banyak. Namun lambat laun, sampah residu semakin berkurang. Untuk sampah pembalut wanita, volumenya tak pernah berkurang," curahnya.
Pihaknya berencana memperluas lokasi karbonasi dan menambah insinerator, mengingat insinerator tidak awet yakni bertahan 3 bulan. Jika kepengurusan mampu mengelola sampah di daerah pesantren lainnya, pihaknya berencana membuka tempat pembakaran residu di bukit Lancaran yang kelak diberi nama Sektor 2 UPT Jatian yang membakar residu 2 kali dalam 1 pekan.
Kontrol pengasuh
Dalam pengolahan sampah, kata Hariyadi, ada keterlibatan pengasuh, yakni pengasuh mengontrol setiap hari ke lokasi selama tidak keluar kota. Pengasuh juga berkenan melakukan evaluasi bersama pengurus. Sebagaimana hasil Ekopesantren Madiri Atasi Sampah (EMAS) Nasional, pengasuh memiliki peran aktif dalam menangani persoalan sampah.
"KH Muhammad Shalauddin A Warits terbiasa datang ke sini. Beliau berkenan rapat bersama pengurus setiap pekan. Jika rapat tidak bisa diselesaikan di waktu pagi, rapat itu dilanjutkan pada sore hari. Jika tidak kunjung selesai, kadang dilanjutkan pada malam hari,” ungkapnya.
Dirinya melaporkan, kekreatifan santri dalam memilah sampah di asrama, kini tim pemilah di UPT Jatian tidak diperumit lagi. Banyak pengurus sering diminta mengisi acara seminar dan pelatihan terkait lingkungan, seperti pelatihan pembuatan ekopaving, mendaur ulang sampah plastik menjadi kerajinan tangan, dan membuat kompos.
"Berhubung secara struktural UPT Jatian di bawah naungan pengasuh. Bila ada persoalan maka kami komunikasikan dengan ketua pengurus pesantren. Pada intinya, wadah pengolahan sampah masih baru dan masih banyak kekurangan yang harus kami benahi. Mohon dukungannya dari semua pihak," pintanya.
Terpopuler
1
Kronologi Penembakan terhadap Guru Madin di Jepara Versi Korban
2
Silampari: Gerbang Harapan dan Gotong Royong di Musi Rawas
3
Sejarah Baru Pagar Nusa di Musi Rawas: Gus Nabil Inisiasi Padepokan, Ketua PCNU Hibahkan Tanah
4
NU Peduli Salurkan Bantuan Sembako kepada Pengungsi Erupsi Lewotobi
5
Hukum Mengonsumsi Makanan Tanpa Label Halal
6
Kekompakan Nahdliyin Inggris Harus Terus Dijaga
Terkini
Lihat Semua