Daerah

Ketua NU Sumenep: Kiai NU Bisa Mengawinkan Keagamaan dan Kebangsaan

Jum, 29 September 2023 | 23:00 WIB

Ketua NU Sumenep: Kiai NU Bisa Mengawinkan Keagamaan dan Kebangsaan

Ketua PCNU Sumenep KH A Pandji Taufiq memberikan tausiyah ke-NU-an di acara pelantikan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) Pragaan Daya 1, Sumenep, Jawa Timur, Kamis (28/9/2023) malam. (Foto: NU Online/Firdausi)

Sumenep, NU Online 
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan, satu-satunya ulama yang bisa mengawinkan keagamaan dan kebangsaan adalah kiai NU. Negara di Timur Tengah yang kaya dengan tokoh yang alim, belum bisa meredam gesekan konflik antarsesama. Artinya, hingga saat ini, ulama di Timur Tengah masih belum bisa mengawinkan keagamaan dan kebangsaan.


Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep KH A Pandji Taufiq saat memberikan tausiyah ke-NU-an di acara pelantikan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) Pragaan Daya 1 yang dipusatkan di kediaman Rasyidi Desa Pragaan Daya, Pragaan, Sumenep, Jawa Timur, Kamis (28/9/2023) malam.


Di negara lain, lanjutnya, jarang ditemukan setelah Yasinan, tahlilan, dan membaca Barzanji, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya (lagu nasional) dan Mars Syubbanul Wathan, bahkan di setiap acara ke-NU-an, para kiai dan jamaah pasti bernyanyi. Jika dipikir-pikir pakai logika, seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dikatakan, model seperti inilah yang dilihat oleh dunia internasional bahwa demokrasi dan keagmaan bisa hidup berdampingan. 


"Perkumpulan malam ini merupakan bukti konkrit bahwa keagamaan dan kebangsaan tidak hanya ada di kampus-kampus, buku-buku, dan lainnya, tapi sudah dipraktikkan oleh warga NU di akar rumput. Kendati kita pakai sarung, kegiatan ini menjadi contoh bagi negara asing dan menjadi model bagi mereka bahwa kita bisa mengawinkan keagamaan dan kebangsaan di desa," ujarnya.

 

Sebelum Indonesia merdeka, Mars Syubbanul Wathan digubah oleh almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah pada tahun 1934. Bayangkan, sebelum proklamasi dibacakan oleh Presiden RI ke-1, muassis NU sudah menyebut Indonesia biladi. Ternyata, kata dia, muassis NU adalah kekasih Allah kendati tidak memberi pengumuman kepada khalayak. 


"Saya yakin setiap bahtsul masail PCNU Sumenep yang digelar setiap bulan, salah satu musyawirinnya ada walinya. Meskipun jabatannya jadi anggota ranting, bisa jadi dia wali Allah," ucap alumni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk ini.

 

Di momen Maulid Nabi, Kiai Pandji mengajak kepada seluruh Nahdliyin untuk bershalawat. Ia menjelaskan, hanya shalawatlah yang bisa dibaca tanpa wudhu, pahalanya berlipat-lipat dan dijanjikan syafaat Rasulullah. Sebagaimana dawuh almaghfurlah KH Maimun Zubair, kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dengan shalawat. Hingga saat ini, kata dia, shalawat bisa dibaca oleh siapa pun, mulai dari Presiden RI hingga non-Muslim yang terlarut terhadap bacaan shalawat.

 

Di akhir tausiyahnya, ia memberikan motivasi kepada pengurus terlantik. Dikatakan, menjadi pengurus NU adalah anugerah, bukan beban. Amanah diterima dari pengurus sebelumnya, akan mengubah seseorang lebih baik hingga menjelang wafat. 

 

"Kepada pengurus yang sudah purna, semoga pengabdiannya menjadi amal kelak di akhirat. Untuk pengurus terlantik, semoga bisa memassifkan kegiatan sosial ke masyarakat, sehingga rintisannya menjadi contoh bagi ranting lainnya," tandasnya.