Nasional

UU Kepolisian Digugat ke MK, Pemohon Minta Polisi Minimal Lulusan S1

Jumat, 15 Agustus 2025 | 18:00 WIB

UU Kepolisian Digugat ke MK, Pemohon Minta Polisi Minimal Lulusan S1

Pemohon uji materi UU Kepolisian di MK. (Foto: mkri.id)

Jakarta, NU Online

Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dua pemohon, Leon Maulana Mirza Pasha dan Zidane Azharian Kemalpasha dalam Perkara Nomor 133/PUU-XXIII/2025 menilai aturan syarat minimal pendidikan polisi yang hanya setingkat SMA sudah tak lagi relevan.


Dalam pemaparannya, Leon menyebut bahwa Pasal 21 ayat (1) huruf d UU Kepolisian yang mensyaratkan pendidikan minimal Sekolah Menengah Umum (SMU) atau sederajat bagi calon anggota Polri, tidak mencerminkan kebutuhan zaman. 


"Hal ini menurut Pemohon mengabaikan korelasi esensial antara latar belakang pendidikan dengan kompetensi substantif yang diperlukan dalam menjalankan fungsi kepolisian secara profesional dan bertanggung jawab," katanya dalam sidang pendahuluan yang digelar di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu, (13/8/2025), dikutip NU Online dari MKRI pada Jumat (15/8/2025).


Ia berpendapat, tugas kepolisian modern menuntut penguasaan berbagai keilmuan seperti hukum, kriminologi, psikologi, teknologi informasi, hingga komunikasi publik, kompetensi yang umumnya baru diperoleh di jenjang Sarjana (S1).


Para pemohon menilai, ketentuan yang ada saat ini bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan fungsi kepolisian sebagai alat negara yang tidak hanya menjaga ketertiban, tetapi juga melindungi, mengayomi, dan menegakkan hukum.


Kuasa hukum para pemohon, Ratu Eka Shaira, menambahkan bahwa lulusan SMA bukan berarti tidak layak, tetapi belum cukup matang untuk mengemban tugas berat kepolisian. 


“Artinya, persyaratan pendidikan minimal SMA, sulit untuk memastikan kompetensi yang diperlukan dalam menjalankan tugas kepolisian yang begitu kompleks,” tegasnya.


Sementara itu, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menekankan pentingnya mempertimbangkan apakah perubahan syarat menjadi S1 memang berada dalam ranah MK. 


“Pastikan ini, apakah hal ini menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya? Dan pada petitum, apakah jika makna yang diminta itu ada, hal itu berpotensi membuat pasal tersebut berubah sama sekali? Jadi lihat contoh putusan MK sebelumnya," jelasnya.


Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani mengingatkan agar para pemohon juga mempertimbangkan peran kepolisian yang tak semata berkutat di bidang hukum. 


“Ada kepolisian yang bertugas sebagai penegak hukum, tetapi ada juga sebagai penyidik dan penyidikan. Jadi di sini belum ada kualifikasinya. Apakah semua polisi itu harus sarjana atau yang hanya terkait dengan penegakan hukum saja? Jadi pertajam lagi permohonan ini,” katanya.


Meski begitu, Wakil Ketua MK Saldi Isra turut menyoroti soal kedudukan hukum (legal standing) dari pemohon. Ia menilai argumen yang dibangun masih perlu diperjelas, khususnya tentang dampak langsung dari pasal yang digugat. 


“Jika ada syarat SMA dan Anda sekarang mau sarjana, jika takut persaingan, bagaimana membangun legal standing-nya? Itu sesuatu yang harus dicari logika kuat untuk membenarkannya, kecuali norma itu menyebabkan Saudara tidak bisa mendaftar menjadi polisi,” jelasnya.


Saldi Isra memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonan mereka. Ia mengatakan, selanjutnya akan menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan.


“Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya Selasa, 26 Agustus 2025 ke Kepaniteraan MK,” ujarnya.