Komitmen Nahdlatul Ulama (NU) untuk kembali ke khittah 1926 dinilai gagal di wilayah aplikasi. Keinginan ulama sepuh agar NU konsisten pada gerakan sosial keagamaan dan meninggalkan aktivitas politik praktis atau dukung mendukung dinilai tidak dijalankan para pengurus NU.
Penilaian tersebut mengemuka saat bedah buku NU 2 Versi dan dialog anak muda NU di STAIN Cirebon Center (SCC), kemarin (9/4).<>
Dalam dialog yang diselenggarakan Nalar Study Club (NSC) Cirebon kerjasama dengan BEMJ Tarbiyah STAIN Cirebon, Pustaka Publisher dan Formal CBC tersebut menghadirkan penulis buku NU 2 Versi, Masmuni Mahatma SFil dari Bandung, KH Abas Bill Yakhsyi Fuad Hasyim dari Pontren Nadwatul Ummah Buntet, dan dosen Pascasarjana Unswagati Cirebon Dr H Nurudin Siraj MSi.
Sedikitnya 200 anak muda NU dari berbagai daerah dan sejumlah kampus antusias mengikuti kegiatan tersebut. Masmuni Mahatma sebagai penulis menyampaikan keprihatinnya terhadap menurunnya spirit ke-NU-an kalangan nahdliyin. Menurutnya, NU hanya digunakan sebagai legitimasi terhadap kepentingan tertentu, misalnya ingin jadi presiden atau wakilnya mendadak mengaku NU, ingin jadi bupati dan gubernur pun demikian, termasuk ingin jadi rektor perguruan tinggi.
Mantan pengurus PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini juga mengurai isi bukunya yang menyajikan bagian-bagian dari kehidupan ber-NU yang memunculkan dua versi yang seringkali terjadi distorsi, misalnya kalangan muda dan tua, NU politik dan NU sosial keagamaan dll.
Sementara itu, KH Abas Bill Yakhsyi Fuad Hasyim dengan tegas mengatakan bahwa NU sekarang gagal membawa ke arah khittah. Pasalnya, kata dia, belum bisa menempatkan NU di antara banyak kepentingan politik atau kekuasaan. Yang terjadi NU memiliki kecenderungan dukung-mendukung.
“NU harus konsisten pada masalah keumatan. Ketika NU ditempatkan sejajar dengan partai politik, maka akan hancur. Yang harus dibawa adalah supremasi NU. Jangan bicara khittah untuk kepentingan politik lain. Yang tepat bukan kembali ke khittah, tapi ke spiritualitas NU. Karena khittah bisa disalahartikan,” kata putra almarhum KH Fuad Hasyim ini disambut aplaus hadirin.
Sementara itu, Nurudin Siraj lebih banyak mengulas relasi dan kiprah politik warga NU di partai politik. Wakil ketua DPRD Kabupaten Cirebon ini menilai, masuknya kader NU di berbagai partai politik dan menjadi keterwakilan di parlemen, tidak bisa disatukan pemikiran dan idealismenya untuk memperjuangkan kebesaran NU. Karena yang terjadi adalah tarik menarik kepentingan politik partainya.
“Inilah yang kemudian berdampak pada tidak golnya gagasan untuk memasukkan pemikiran NU dalam kebijakan-kebijakan pemerintah untuk kemaslahatan umat,” ujar doktor pendidikan lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.
Saat sesi pertanyaan, anak-anak muda NU menyampaikan keresahannya karena NU terseret-seret dalam kepentingan politik. Bagi mereka, sikap tokoh atau pengurus NU yang terlibat dalam kepentingan politik praktis dapat menurunkan wibawa NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dilahirkan untuk menjaga moralitas bangsa.(ksd)