Balitbang Kemenag RISET BALITBANG KEMENAG

Calon Jamaah Haji Perlu Dipahamkan tentang Kesalehan Sosial

Rab, 25 Maret 2020 | 23:00 WIB

Calon Jamaah Haji Perlu Dipahamkan tentang Kesalehan Sosial

Ilustrasi pelaksanaan ibadah haji (Gretty Image)

Pada ranah sosial masih sering terjadi berbagai macam penyakit. Penyakit-penyakit sosial dalam kehidupan masyarakat, seperti tingginya angka kriminalitas, maraknya pornografi dan pornoaksi, peredaran narkoba, pelanggaran hak asasi manusia, serta bentuk-bentuk penyimpangan sosial lainnya. 
 
Seseorang yang memiliki status sosial tinggi di tengah-tengah masyarakat, seperti orang yang menyandang gelar haji, diharapkan bisa memainkan peranannya dalam meminimalisasi berbagai penyakit sosial tersebut. Kemabruran haji ditunjukkan oleh sejauh mana peran sosial mereka dalam perilaku sosial.
 
Untuk mengetahui sejauh mana legitimasi keagamaan penyandang gelar haji dalam menyelesaikan beberapa persoalan di masyarakat, Badan Litbang dan Diklat Kemenag tahun 2019 pun melakukan penelitian di Jawa Barat dengan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan kedalaman data. Para pihak yang dijadikan sebagai sumber data adalah key informman yang mengertahui detail peristiwa pada kasus tersebut.
 
Temuan  
Hasil penelitian ini menemukan tiga temuan yang penting untuk diketahui publik perihal perkembangan status haji yang disandang seseorang di Jawa Barat dalam melakukan perubahan sosial.
 
Pertama; status sosial haji. Meskipun masih merupakan status yang terhormat, namun sudah mengalami desakralisasi status. Haji tidak lagi status yang ekslusif yang terbatas pada kalangan sosial ekonomi tertentu, tetapi juga menjadi bagian dari status masyarakat secara umum. 
 
Dengan demikian status haji tidak hanya menunjukkan pada derajat sosial yang istimewa, tetapi menjadi sebutan yang umum (pasaran) yang biasa digunakan umat Islam siapa saja sepanjang mereka memenuhi atribut sebagai haji, baik secara simbolik seperti pakaian dan perilaku yang mencerminkan sikap seorang haji.
 
Kedua, bertambahnya jumlah jamaah haji mendorong pada semakin beragamnya latar belakang karakater dan kapasitas pengetahuan para jamaah haji. Hal ini menjadikan proses bimbingan haji lebih terfokus pada aspek kognitif mencakup pengetahuan tentang tata cara ibadah haji. Ini didasarkan karena jamaah pada umumnya memiliki pengetahuan yang relatif terbatas terkait dengan ritual haji ini.
 
Jika melihat bimbingan yang didesain oleh pemerintah dan pihak KBIH lebih menyasar pada penguatan kapasitas kognitif untuk mengingkatkan pemahaan pada aspek ritual saja, maka sebagai konsekuensinya, pembentukan pemahaman yang substantsial dari haji sebagai ibadah yang berdimensi sosial kurang mendapat perhatian. 
 
Terebih lagi pembentukan kesadaran yang bersifat substanstif dari ibadah memerlukan proses yang berkelanjutan dan waktu yang lama. Dengan melaksanakan haji dalam waktu yang terbatas maka proses mendapatkan kesadaran substantif, seperti kesalehan sosial menjadi cukup berat untuk ditumbuhkan dalam waktu yang singkat. 
 
Ketiga, perlu adanya upaya untuk mensyiarkan pandangan ibadah yang berdimensi ritual-spiritual kepada ibadah yang bersifat transformatif. Proses bimbingan manasik haji dapat diarahkan pada sudut perspektif empirik-sosial untuk menemukan maknanya dalam kehidupan sosial. Hal ini dilandasi dengan ajaran Islam yang mengutamakan kehidupan sosial, maka kesalehan sosial sebagai parameter kesalehan keberagamaan perlu dibangun. Maka upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan penguatan bentuk ajaran keagamaan kedalam praktek yang bernilai sosial dan merupakan kesadaran kesalehan sosial.
 
Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang diberikan Badan Litbang dan Diklat Kemenag kepada pihak-pihak yang terkait adalah, pembinaan haji yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal  Penyelenggara Haji dan Umrah (Ditjen PHU) melalui kegiatan manasik haji. Materi dalam manasik haji perlu menjangkau hakikat ibadah haji, yakni kemabruran. 
 
Kemabruran haji diperlihatkan oleh jemaah setelah selesai melaksanakan ibadah haji ditanah suci dan kembali ke tanah air. Wujud konkret kemabruran adalah adanya transformasi etik, moral, akhlak dan perilaku jemaah ke arah lebih baik. Transformasi ini akan melahirkan kesalehan sosial.
 
Dengan demikian substansi materi manasik haji tidak hanya meliputi tata cara rangkaian ibadah haji. Hal yang sama pentingnya adalah spiritualitas haji, yakni kemambruran. Karenanya, pendekatan sufistik pada bimbingan jamaah menjadi tawaran yang perlu dipertimbangkan.
 
Penulis: Husni Sahal
Editor: Kendi Setiawan