Cerpen

Ajengan Muda

Ahad, 21 Juli 2019 | 02:00 WIB

Ajengan Muda

"kyai Nasirun" lukisan karya Nasirun

Oleh Warsa Suwarsa 
 
Tahun 1943, kiai muda itu bersama istrinya pindah ke kampungku. Karena sebagai kiai, warga setempat menyambutnya dengan baik. Di pinggir mesjid ada sebuah lahan kosong, orang-orang kampung pun mengusulkan agar di lahan itu dibangun sebuah rumah, tempat kiai muda dan istrinya tinggal. Namun dengan alasan sederhana, kiai muda itu menolaknya, lahan kosong itu lebih baik digunakan untuk kepentingan masyarakat, misalkan  dibangun sebuah kobong  atau pondok pesantren. 

Waktu itu, di kampungku memang belum ada pondok pesantren, anak-anak dan para  remaja mengaji setelah Maghrib di surau atau di mesjid besar. Bangunan surau dan mesjid pun masih bida dikatakan sangat sederhana, dindingnya mengandalkan bilik bambu, panggung dengan lantai talupuh  di depannya ada kolam besar yang biasa digunakan orang-orang berwudlu atau mandi, airnya dari selokan dan sangat jernih.

Kiai muda dan istrinya datang bertepatan dengan awal musim cocok tanam. Keadaan kampungku dikelilingi oleh areal persawahan cukup luas. Jika dilihat dari atas seolah kampungku hanya berupa titik kecil ditengah lautan sawah. Sepanjang jalan tanah merah berderet pohon-pohon besar tumbuh di pinggirnya. Udara sudah pasti sangat sejuk, meskipun sampai bulan ini hujan belum turun juga. Ini sudah memasuki bulan November, para petani sering menatap langit di malam hari, seharusnya bulan ini bahkan bulan sebelumnya hujan sudah harus turun. Tapi entahlah, hujan belum juga turun. Jalan tanah merah itu meneburkan debu apalagi jika angin bertiup cukup kencang.

Pada pohon-pohon besar, pada dahan-dahan yang tertutup rimbunnya dedaunan, meski pun di siang hari akan terlihat lelawa bergelantungan, beristirahat. Malam akan semakin gelap karena rimbun dedaunan dan rapatnya batang pepohonan, benar-benar menutup kampungku. Jika purnama datang, cahayanya akan berusaha menerobos melalui celah-celah rimbunnya dedaunan itu. Sehabis isya, anak-anak akan bermain di halaman rumah sambil menyanyikan: Bulantok… bulantok… bulan sagedé batok! . Hingga mereka disuruh tidur oleh orangtuanya atau ditakut-takuti; awas ada sandékala .

Dan kiai muda bersama istrinya menempati salah satu rumah Wak Erpol, benar.. orangtua sebagai tetua kampung itulah mempersilakan agar kiai muda dan istrinya menempati salah satu rumahnya. Kedatangan kiai muda dan istrinya itu pun pada dasarnya atas saran Wak Erpol. Wak Erpol pada suatu hari datang ke salah satu pondok pesantren di Utara Sukabumi, memohon kepada Kiai Sepuh agar mengirimkan salah satu santrinya untuk mengajar dan mendidik warganya. Maka disuruhlah Wak Erpol menemui kiai muda itu. Begitu, kedatangan kiai muda dan istrinya pun disambut hangat oleh Wak Erpol.

Di kampungku, sebetulnya sudah ada orang yang bisa mengaji kemudian mengajar anak-anak, namun pikiran Wak Erpol lebih maju. Jika hanya mengajar alif ba ta saja itu masih belum cukup. Sebab anak-anak dan remaja harus diberi ilmu tambahan lain, ilmu agama agar mereka memahami ajaran dengan benar. Dan pilihan Wak Erpol adalah dengan meminta langsung kepada Kiai Sepuh di Utara Sukabumi agar mengirim salah satu santrinya itu mengajarkan ilmu-ilmu agama di kampungnya.
***
Maghrib itu menjadi berbeda dengan maghrib sebelumnya atau maghrib-maghrib sebelum-sebelumnya. Mesjid besar dipenuhi oleh orang-orang, membawa anak-anak mereka. Menyerahkan sepenuhnya kepada kiai muda agar anak-anak mereka diajari ilmu agama dan apa pun itu namanya, paling tidak anak-anak itu ketika sudah memasuki akil baligh mengetahui bacaan-bacaan sholat dan bisa mengaji Quran. Lebih afdol lagi jika kemudian anak-anak mereka menguasai ilmu-ilmu agama seperti kiai muda memahami agama setelah sepuluh tahun mondok di pesantren Kiai Sepuh. Maka pada malam itu juga setelah maghrib hingga isya dimulailah pengajian. Anak-anak mengaji bahkan orangtua mereka pun ikut mengaji juga.

Kiai muda itu hanya mengajarkan beberapa hal kepada anak-anak, kecuali mengajar bacaan-bacaan sholat dan praktik wudlu, juga mengajarkan agar anak-anak menghormati orangtua mereka.  Dan kepada para orangtua, kiai muda itu berpesan agar membimbing anak-anak mereka. Itu saja.
***
Jepang telah memasuki Sukabumi pada tahun itu. Orang-orang kampung yang biasa pergi ke pusat kota ramai bercerita, di pusat kota telah dijaga oleh tentara-tentara Jepang, militer Jepang itu memakai topi dan di belakang topi seperti dipasang kain saputangan juga dilengkapi oleh senjata-senjata dengan bayonet terhunus di ujungnya. Orang-orang kampung itu sering ke pusat kota untuk berjualan ke pasar. Mereka tahu lebih awal berita-berita dan kejadian dari orang kampung lainnya. Kedatangan Jepang ke negara ini pun - mereka tahu lebih awal dan diceritakannya kembali kepada orang-orang di kampung.

Semua orang kampung tahu, Jepang adalah sahabat, rumpun Asia, bahkan menurut berita, mereka lah yang telah mengusir  kompeni dari Tanah Air ini. Ya, mereka meyakini Cahaya Asia itulah yang akan membawa negara ini ke alam yang lebih baik, kemerdekaan.

“Mereka pendek, sama dengan kita. Tapi matanya tajam seperti tidak mau diganggu. Cara berdirinya kaku, ya seperti pohon-pohon itu. Benar-benar dingin dan tidak bisa diusik..”Kata salah seorang dari mereka, berkata  sehabis Ashar di teras mesjid. “Tapi entahlah, mereka baik atau jahat, aku tidak tahu… mudah-mudahan saja benar, mereka datang ke negara ini untuk mengusir kompeni-kompeni itu..!”Lanjutnya.

“Menurut, Kiai?”

“Tidak tahu. Tapi pikiran Saya hanya pada satu hal. Kenapa mereka datang jauh-jauh ke negara ini kemudian mempersenjatai diri dan memiliki tekad kuat untuk mengusir kompeni.”Kata kiai muda. “Guruku pernah berpesan, dulu.. Kompeni datang ke negara ini dengan cara baik-baik, tapi pada akhirnya ketika kesempatan untuk berbuat jahat itu terbuka, mereka pun akhirnya melakukan juga kecurangan-kecurangan, perampokan rempah-rempah di daerah Timur, ya daerah Timur entah apa namanya.”

“Kita harus bagaimana, Kiai?”kata orang bernama Acun.

Kiai muda itu menatap Acun.

“Ya, biasa saja. Kang Acun lakukan tugas-tugas hidup. Itu saja. Mau melawan Kompeni atau ikut menjadi tentara Jepang?”

“Tidak, saya tidak mau perang. Saya lebih senang menjadi seorang petani penggarap sawah. Tahun kemarin Saya ditawari jadi tentara Hizbullah, istriku melarang. Ya karena Saya juga tidak senang perang maka saya menolak tawaran itu.”Acun membetulkan kopiah hitamnya.

“Dan takut istri!”Gumam Oo.

*** 
Satu minggu kemudian.

“Kiai, bisa tidak berdoa kepada Allah agar hujan segera diturunkan. Agar hasil pertanian orang-orang kampung ini tetap bagus seperti musim sebelumnya?”Seorang petani bertanya pada saat pengajian.

“Ya, berdoa saja agar hujan segera turun.”

“Saya tiap hari berdoa, Kiai. Kenapa hujan tidak turun juga ya?”

“Wah, Saya tidak tahu itu.”

Doamu tidak didengar Alloh!” kata salah seorang jama’ah.

“Iya, mana mungkin doamu didengar oleh Yang Kuasa, setiap mau menanam padi, kamu itu pasti ngukus  dan memberi sesaji dulu kepada Dewi Sri. Itu namanya menduakan Tuhan, syirik itu!”

“Benar, kiai? Jika Saya melakukan hal itu sebelum menanam padi menjadi penyebab ditolaknya doa?”

“Tidak tahu..”

“Lho, kiai kok banyak tidak tahunya. Kiai ini kan tinggi ilmu agamanya.”

“Saya tidak tahu, kenapa doa kamu belum dikabul. “

“Perbuatan Saya, tentang syirik itu gimana, Kiai.?”

“Itu budaya. Asal jangan dicampur-campur dengan keyakinan saja. Asal tidak diyakini saja kalau yang memberikan rejeki dan yang menumbuhkan padi itu adalah siapa tadi? Dewi apa?”

“Dewi Sri.. Dewi Sri Pohaci…”

“Ya.. itu…!”

“Jadi boleh?”

“Boleh.”

“Wekkk… boleh tahu!”Orang itu mencibiri teman di sampingnya.

“Bukankah itu musyrik, Kiai?”

“Siapa bilang?”

“Ya kata pengajian-pengajian di kota itu… katanya orang-orang di kampung yang masih suka membakar kemenyan ketika akan menanam padi itu perbuatan jahiliyyah apa itu, itu menyekutukan Alloh!”

“Karena di kota sudah jarang sawah.”

“Jadi, kalau ada sawah orang kota pun akan melakukannya juga!”

“Musyrik itu jika kita meyakini. Kalau tidak meyakini hanya sebatas menjaga kebiasaan kenapa salah?”

“Tapi dia ini meyakini Dewi Sri pemberi dan penumbuh pohon-pohon padi…!”

“Eh, itu dulu.. itu dulu.. sekarang mah tidak!”

“Kalau masalah budaya dan kebiasaan lakukan saja. Tidak perlu kita memperdebatkannya, masing-masing memiliki pandangan dan alasan. Tidak perlu diperdebatkan.”
*** 

Tentara Jepang, orang menyebutnya Jepun atau Dai Nippon masuk juga ke kampungku pada tahun itu. Mendatangi rumah tetua kampung, Wak Erpol. Ada juru alih bahasa. Pimpinan tertinggi Jepun di Jakarta, memberikan perintah agar seluruh warga negara menghormati Kaisar mereka setiap pagi, saat matahari terbit. Orang-orang Jepun memiliki keyakinan, Kaisar mereka merupakan turunan Dewa Matahari. Negara ini akan merdeka dengan satu sarat, memberikan penghormatan kepada Kaisar setiap pagi, melakukan seikerei. Tapi ada nada ancaman juga, jika tidak melakukannya, maka kemerdekaan yang didambakan itu akan terbuang dan terbang begitu saja.

Sore itu juga Wak Erpol mengumpulkan masyarakat di mesjid besar.

“Bagaimana menurut, Kiai?”Tanya Wak Erpol setelah menjelaskan kedatangan tentara Jepun siang tadi.

“Saya akan menceritakan sebuah kisah kepada para bapak.”Kata Kiai muda itu menarik nafas. “Dulu, di tanah Jerusalem ada seorang pemuda bernama Elia, kita menyebutnya Ilyas.”

“Oh, nabi Ilyas?”

“Ya, hidup sekitar 500 atau 600 tahun sebelum diutus nabi Isa. Raja pada saat itu bernama Ahab, dia memiliki istri cantik seorang wanita keturunan bangsa Fenisia, Libanon. Atas permintaan istrinya yang bernama Izebel, Ahab diwajibkan mengganti Tuhan bangsa Israel dengan Tuhan bangsa Fenisia, tuhan bangsa Fenisia bernama Baal, dewa yang memberikan hujan dan kesuburan kepada orang-orang Kanaan dan Fenisia. Karena kecintaannya kepada Izebel, Ahab menyetujuinya. Dia membuat aturan, menekan agar seluruh masyarakat menyembah Baal dalam bentuk patung. Ahab mengatakan, hari ini sampai seterusnya adalah hari berakhirnya tuhan Israel, Tuhan Israel telah mati dan digantikan oleh Tuhan Baal, dewa pemberi hujan dan kesuburan tanah.

“Tokoh-tokoh agama dan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi dan para utusan Tuhan diberi dua pilihan. Menyembah Baal atau mati dengan cara dipenggal atau dipanah jantungnya oleh pasukan kerajaan. Suatu hari, Ilyas mendatangi Ahab, kemudian mengingatkan untuk tidak mengganti Tuhan bangsa Israel dengan Baal. Karena bagi Ilyas, Tuhan adalah Tuhan, Dia tidak akan memerintahkan manusai untuk saling membunuh dan saling serang, Dia tidak akan pernah mati apalagi digonta-ganti. Hal ini menjadi alasan bagi Ahab dan Izebel untuk tidak memberikan pilihan kepada Ilyas kecuali kematian.

“Ilyas dikejar oleh tentara-tentara Raja Ahab. Ilyas tidak takut dengan kematian tapi masih khawatir apakah dia akan bisa menjalani hidup, umurnya baru 23 tahun, tentu suatu saat dia harus hidup normal, berkeluarga. Dia tidak pernah mengaku sebagai nabi dan utusan Tuhan, meminta kepada Tuhan agar dirinya dijadikan Nabi pun tidak pernah, tapi kenapa dia menjadi nabi. Ilyas sendiri tidak tahu. Maka, kematian itu pun menjadi bukan hal menakutkan bagi Ilyas, karena keyakinan terhadap Tuhan sangat kuat, Tuhan telah menancap dalam dirinya. Dan Ilyas pun hidup, bisa hidup seperti biasa hingga Raja Ahab ditaklukkan oleh Raja lainnya. Ilyas selamat kemudian menetap disebuah bukit sebelum kenabiannya dilanjutkan oleh Eliasa atau Ilyasa..”

“Jadi kita harus menolak paksaan seikerei tentara Jepun itu?”

“Ada dua pilihan, melakukan seikerei atau kita tidak merdeka, kan?”

“Benar.. jadi lebih baik kita tidak merdeka?”

“Kenapa kita takut tidak merdeka? Ilyas saja tidak takut dengan kematian?”

“Kita tidak akan pernah melakukan seikerei itu… dan jangan pernah melakukannya!”Kata Wak Erpol.

Dan seluruh masyarakat pun menyetujuinya. Mereka memiliki anggapan, tidak merasa merugikan juga menguntungkan orang-orang Jepun itu.
*** 

Satu minggu kemudian, Kiai muda bersama tetua kampung itu ditangkap oleh tentara Jepang. Mereka dikirim ke kamp konsentrasi penjara di daerah Ubrug dengan alasan telah menghasud masyarakat menentang kebijakan pimpinan tertinggi Jepang, mereka menolak melakukan seikerei. Penangkapan itu, dalam benak tentara-tentara Jepang akan meluluhlantakkan tekad orang-orang kampung. Dan pada malam itu juga, beberapa rumah dibakar oleh tentara Jepang, ada gadis-gadis yang dibawa secara paksa. Sebagian besar warga kampung menghindar dan mengungsi ke daerah-daerah pinggiran Sukabumi. Hingga keadaan aman kembali, saat matahari kembali bersinar di ufuk Timur. [ ]
 
Sukabumi, Oktober 2013
 
Catatan
Kobong = asrama santri
Talupuh (Sunda) = Lantai dari bamboo biasa digunakan untuk rumah panggung
Bulantok… bulantok… bulan sagedé batok adalah lagu tradisional anak-anak di tatar Sunda saat purnama
Sandekala = Hantu dalam mitos orang Sunda
Ngukus = Membakar kemenyan pada pedupaan

Penulis adalah Guru MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul)