Cerpen

Ladang Jagung

Ahad, 14 Agustus 2022 | 19:15 WIB

Alfiyah terus berjalan menelusuri jalan setapak yang membelah bukit bersama dengan anak sulungnya. Kanan-kirinya penuh dengan tebing curam yang gersang. Udara panas musim kemarau membuat tenggorokan kering menahan dahaga. Tidak ada waktu untuk minum, mereka harus sampai di tempat aman.


Menurut info dari suaminya yang seorang gerilyawan desa tempat tinggal mereka akan kedatangan satu kompi prajurit KNIL, mereka hendak melakukan pembersihan. Para penduduk berbondong-bondong mengungsi ke tempat yang lebih aman. Namun tidak dengan Alfiyah, ia tersesat dari rombongan.


Ia memutuskan untuk kembali ke desa, lalu menyembunyikan tujuh anaknya di tumpukan jerami, dan hanya anak sulung yang diajaknya. Tidak mungkin ia membawa semua anaknya, karena justru bisa membahayakan nyawa mereka.


Di sepanjang perjalanan Alfiyah menyesal karena telah meninggalkan tujuh anaknya, ia merasa sangat bersalah. Jangan-jangan justru pilihan yang ia pilih malah membahayakan keselamatan anaknya. Pikiran Alfiyah semakin kalut, manakala dirinya mengingat bahwa prajurit KNIL akan membakar desa yang dilalui. Alfiyah pun hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Sang Pencipta.


Setelah dirasa aman, ia memutuskan untuk istirahat di batu besar di tengah ladang jagung. Tidak berapa lama kemudian terjadilah baku tembak antara gerilyawan, dan prajurit KNIL di tempat tersebut. Alfiyah segera menarik anaknya untuk tiarap. Cukup lama baku tembak itu terjadi. Ia merasakan telapak tangannya tidak berasa, setelah diraba ternyata terkena peluru. Entah bagaimana caranya peluru itu bisa mengenai telapak tangan Alfiyah.


Anak sulungnya hendak berdiri, namun Alfiyah mengisyaratkan untuk kembali tiarap. Alfiyah menengok kanan kiri, suasana begitu lengang, setelah barusan terjadi baku tembak. Ketika mereka baru berjalan beberapa meter, muncul satu kompi prajurit KNIL.


Alfiyah, dan anak sulungnya hendak lari. Namun, salah seorang prajurit KNIL yang ternyata bangsa sendiri bernama Wily mencegah mereka untuk lari "Jangan lari, kalau tidak ingin terjadi apa-apa." Komandan kemudian menyuruh Wily untuk melakukan komunikasi dengan Alfiyah, dan anak sulungnya.


"Sedang apa kalian di sini?"

 

"Saya sedang menunggu jagung di sini, akhir-akhir ini banyak babi berkeliaran. Jika tidak dijaga bisa gagal panen. Sementara saya seorang janda, dan harus menghidupi delapan orang anak. Ini anak sulung saya yang membantu saya di ladang. Sementara adik-adiknya menunggu di rumah," ujar Alfiyah sambil menahan rasa sakit di telapak tangan karena terkena peluru.


Melihat darah yang menetes deras dari telapak tangan membuat Wily merasa iba. Ia pun meminta kepada prajurit medis untuk mengobati luka tersebut. Untungnya luka tersebut tidak fatal, hanya terserempet peluru saja.


Setelah selesai diobati, Alfiyah, dan anak sulungnya diantarkan kembali ke desa. Para prajurit KNIL itu curiga, jangan-jangan mereka seorang gerilyawan. Maka dari itu harus mengantarkannya sampai ke rumah, untuk membuktikan kalau mereka benar-benar penduduk biasa.


Perasaan Alfiyah belum lega, kalau sampai anaknya masih di lumbung padi, bisa menimbulkan kecurigaan. Maka nasib dirinya, dan anak sulungnya berada dalam bahaya. Belum lagi kalau suaminya menyusul ke rumah, setelah mengetahui anak, dan istrinya tidak ada dalam rombongan pengungsi.


Alfiyah jadi teringat salah seorang tetangganya, Haji Arif yang mengalami nasib mengenaskan ditembak mati oleh prajurit KNIL beberapa bulan yang lalu. Jadi ceritanya dua kompi pasukan KNIL sedang melakukan patroli, dan istirahat di kebun kelapa milik Haji Arif. Mereka kemudian meminta kelapa muda. Haji Arif mengizinkannya. Namun, mereka meminta Haji Arif yang memetiknya langsung. Tentu saja Haji Arif menolaknya. Dengan todongan senjata, akhirnya Haji Arif pun bersedia untuk memetiknya.


Ketika sampai di pucuk pohon kelapa, para prajurit KNIL tersebut memberondongkan peluru ke arah Haji Arif. Ia pun jatuh dari pohon kelapa, dengan sederet luka tembak. Jasad Haji Arif ditinggalkan begitu saja tergeletak di kebun miliknya sendiri.


"Mudah-mudahan nasib saya tidak sama seperti Haji Arif," batin Alfiyah.


Untungnya ketujuh anak Alfiyah sedang berada di teras rumah, tidak di lumbung padi. Alfiyah  bisa sedikit bernafas lega. Belum sempat menghela nafas, Wily mengajukan pertanyaan kepada Alfiyah.


"Semua penduduk di sini sudah mengungsi, kenapa kalian tidak ikut mengungsi?" tanyanya sambil melirik kanan kiri, khawatir ada gerilyawan yang sedang menguping. Dengan nafas berat Alfiyah menjawab "Saya tidak tahu menahu tentang perang ini, yang saya tahu adalah bagaimana caranya anak saya tidak kelaparan. Di zaman perang yang sulit seperti sekarang ini semuanya menjadi korban, mudah-mudahan perang ini bisa segera selesai."


Dalam hati Alfiyah berucap mudah-mudahan tidak ada gerilyawan atau mata-mata republik yang melihat kejadian tersebut. Bisa-bisa ia dikira sebagai mata-mata musuh."


Dengan wajah sedih Wily menimpali "Saya juga ingin perang ini segera selesai, saya rindu anak, dan istri saya."


Kemudian Wily menghampiri komandannya, dan berucap "Mereka bukan republiken, mereka tidak tahu menahu perang ini, mereka hanya penduduk biasa."


Sebelum pergi, prajurit KNIL memberikan sekarung beras kepada Alfiyah, dan juga permen jahe kepada anak-anaknya.

 

Malik Ibnu Zaman, mahasiswa Prodi Psikologii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, peserta kelas Menulis NU Online 2020, kontributor NU Online, menggemari jurnalistik dan sastra.