Cerpen

Sesat

Ahad, 4 Juni 2023 | 11:30 WIB

Sesat

Ilustrasi (Freepik)

Cerita Pendek Dimas Jayadinekat
Di ruang tamu, seorang perukyah sudah bersiap untuk mengeluarkan ayat-ayat pengusir setan, sementara mata ayah, ibu, kakakku tertuju kepadaku yang menunduk terdiam.


Serba salah, aku tak tahu harus bagaimana lagi ketika mereka merasa telah terjadi hal aneh pada diriku, hanya karena aku tidak sepemahaman dengan mereka dari banyak hal. Sesuatu yang boleh dibilang aneh, namun tidak menjadi hal aneh lagi di negeri ini.


Mereka yang berbeda selalu dianggap aneh dan harus diperangi sampai menjadi sepemahaman! Kurang lebih seperti itulah spirit yang terjadi di negeri yang dulunya terkenal dihuni oleh anak-anak bangsa penuh ramah tamah ini. Dan entah berkaitan atau tidak, sampai ke banyak hal di keluarga pun kondisi demikian kerap mewarnai.


Dan ini sudah nggak asyik lagi, sumpah!


Mereka lupa, atau aku yang terlalu bodoh, sehingga menganggap perbedaan adalah sebuah sunatullah, sebuah hal yang sangat wajar dan pasti terjadi. Bukankah orang yang kembar saja dinyatakan memiliki sidik jari berbeda?


Ras, suku, dan bahkan warna kulit setiap orang di dunia ini memiliki keragaman, tidak ada yang sama persis, selalu ada perbedaan. Apa lagi? Partai? Dukungan politik? Jenis kelamin? Jelas berbeda, meski untuk yang terakhir ini, kini ada sekelompok orang yang bias gender dan kemudian mengklaim mereka sebagai kelompok minoritas yang memiliki orientasi seksual berbeda.


Hasil apa yang ingin dipaksakan untuk sesuatu agar dianggap sama sehingga tidak memiliki perbedaan? Ini malah menjadi sebuah permasalahan absurd yang sangat akut!

 

"Ustadz, kenapa belum dimulai?" tanya ayah kepada perukyah.


"Sebentar, Pak. Saya ingin memastikan semuanya siap. Dan tolong nanti jika terjadi sesuatu pada Mirna, ibu yang bantu pegang ya." Ustadz menjelaskan dan meminta ibuku untuk memegangi diriku.


"Mirna, gimana?" tanya ustadz memastikan.


"Sudah siap dari tadi, Pak Ustadz," jawabku meyakinkan.

 

"Baiklah kita mulai saja," ujar ustadz.

 

Dan mulailah ia merapalkan ayat-ayat rukyah yang memang lazim digunakan oleh para perukyah syar’iyah, demikian mereka kerap menyebut namanya seperti itu.

 

Sambil menyimak ayat-ayat suci yang dilantunkan dengan suara syahdu ustadz, aku pun berpikir, sering aku berpikir tentang ini. Mengapa sekarang segala sesuatunya gemar dilabeli dengan syar’i atau syariah? Seolah ingin menegaskan bahwa di luar mereka artinya tidak syar’i alias tidak sesuai dengan syariat Islam dan berpotensi menjadi sesat di dalam setiap tindakannya.

 

Ada bank konvensional ada bank syariah, ada busana syar’i, perekonomian syariah, pegadaian syariah dan masih banyak lagi.


Ah, entahlah, hal-hal seperti itu jauh di luar jangkauan nalar serta pengetahuanku. Tak baik juga jika aku terlalu memikirkan atau bahkan mengomentarinya manakala terjadi pembahasan seperti itu di dalam lingkungannya masing-masing.

 

Beberapa ayat terucap, tapi tak ada juga reaksi yang timbul di dalam tubuhku dan aku pun melihat ayah, ibu, kakak dan perukyah. Ayah dan ibu terlihat harap-harap cemas. Apa mereka berharap bahwa di dalam tubuhku ini benar-benar ada jin, gitu?

 

"Nggak ada jinnya ya, Tadz?" tanya kakakku penasaran.


Ibu mencolek tangannya supaya jangan mengganggu konsentrasi ustadz yang tengah meneruskan bacaannya. Sementara itu ia merespons hanya dengan senyuman dan gelengan kepala, serta kemudian berujung dengan meletakkan simbol satu jari di depan bibir, menandakan agar kakakku tak banyak bicara.


Aku menikmati suara ustadz perukyah yang syahdu. Meski dicap sesat dan badung oleh mereka, aku juga manusia yang jika diperdengarkan ayat-ayat Allah seperti ini, hatiku ikut menikmati bahkan terenyuh.


Aku bukan santriwati dan pasti tidak memahami apa yang dibaca oleh ustadz. Tapi aku menyadari bahwa ayat-ayat suci dari Allah di dalam Al-Qur'an ini begitu mulia. Jika aku buka terjemahan Al-Qur'an Departemen Agama RI saja, aku banyak terkesima oleh redaksional terjemahan tersebut. Bagaimana jika aku mengerti dan mempelajari bahasa Arab, apalagi sampai belajar mendalami ilmu tafsir?


Aku bisa saja berpikir, mengapa mereka yang jauh lebih tinggi ilmunya serta memiliki wawasan keagamaan lebih dalam, sering kali berperilaku rendah dan tidak sedalam pemahamannya? Tidak semua memang dan itu pasti hanya oknum. Namun, rasanya oknum-oknum yang menjual agama sebagai kosmetik ini semakin banyak.


Agama hanya menjadi sebuah fesyen dan gaya hidup semata. Seolah jika sudah mengikutinya maka serta merta menjadi manusia paling beriman dan tidak akan tersesat selama-lamanya. Astagfirullahal adzhiim....


Bukankah dengan kesombongan sejenis, makhluk Allah yang bernama iblis seketika terhukum menjadi penghuni neraka dan abadi di dalamnya?


Apakah mereka yang demikian berbangga diri mengenakan agama sebagai kosmetika serta jargon, pantas untuk memasuki surga nan suci dan hanya layak dihuni oleh orang-orang suci, karena senantiasa menyucikan Allah serta menjaga perilakunya agar tidak terjebak dalam jurang kesombongan?


Mungkin pertanyaan ini begitu naif atau bahkan menjadi sebuah pertanyaan haram jadah dan layak dilabeli sesat karena dianggap terlalu liberal?


Itu pula label yang mereka sematkan kepada diriku hanya karena aku berpikiran terbuka sehingga terkesan liberal. Aku dianggap berani melawan dogma-dogma yang sering disampaikan ayah dari para ustadznya.


Dogma yang sebenarnya tidak seratus persen salah karena memang selama memiliki dalil, maka disepakati bahwa itu artinya masih berada di dalam koridor tuntunan Islam. Meski mungkin berbeda mazhab atau bahkan sekadar pemikiran dangkal yang tidak menyentuh kepada masalah akidah.


Aku mereka cap sesat karena berani menggugat dan menjalani Islam yang kupahami serta kuikuti dari para kiai serta pemuka agama nan ramah. Aku tak paham, sungguh. Mengapa hanya sebatas perbedaan kecil lantas menjadi sebuah masalah besar hingga aku dipaksa dengan cara seperti ini?

 

Islam Rahmatan lil Alamin versi mana yang mereka serta orang-orang fanatik penghujat itu ikuti? Sekali lagi, ini hanya oknum. Meski keoknumannya kini merebak bagaikan virus, layaknya pandemi Covid-19 kemarin yang menyerang serta meluluhlantakkan sistem imun hingga sistem pemerintahan di seluruh dunia.

 

Huuuffff…capek deh..


***

 

Dan sampai beberapa menit, perukyahan masih berlangsung. Tiba-tiba aku iba dengan ustadz yang telah berkeringat serta mereka yang berharap aku ini kerasukan jin kafir sehingga berani menentang dogma Islam versi mereka.


Ah, tiba-tiba, aku ingin meraih pahala dalam kondisi seperti ini, aku ingin menyenangkan mereka. Biar sajalah mereka berkata apa pun tentang diriku.

 

Maka aku yang pernah belajar akting mulai berakting layaknya orang kesurupan. Teriak dan berontak tak keruan, kulepas jilbabku dan meronta-ronta sambil menjambak-jambak rambutku sendiri. Sejenak mereka tertegun.

 

"Bapak, Ibu, Kak. Tolong dibantu.... pegangin Mirna," ucap ustadz panik sambil mengernyitkan kening seakan berkata, kok jadi gini ya?


Aku melanjutkan aktingku dengan penuh penjiwaan, membuat mereka semakin yakin bahwa aku adalah makhluk tersesat.

***


Sejak kejadian itu, mereka lebih intens mendakwahi aku dengan doktrin mereka. Aku tak membantah, namun secara perlahan, aku mengkritisi, tidak sefrontal dulu, namun lebih halus dengan menggunakan logika serta apa yang kupelajari dari para kiai dan tarekat yang kuikuti.


Perlahan kukenalkan pada mereka dimensi lain agama yang hebat ini, bahwa Islam tidak hanya berisi jastifikasi semata. Islam bukanlah penghujat karena memaksa seseorang untuk memasuki agama ini saja sudah salah dan terlarang.


Tanpa sadar mereka berpikir dan mengenali betapa Islam yang selama ini mereka jalani tidak salah, namun ada lagi dimensi kebenaran yang mereka belum paham dan karena ketidakpahaman itulah mereka bertindak salah.


Aku tak pernah ingin mengubah siapa pun karena perubahan itu selalu datang dari dorongan sendiri atas hidayah dari Allah. Aku hanya ingin terus menimba ilmu Allah menjadi pribadi yang lebih baik lagi hingga pada akhirnya semuanya menjadi lebih baik.


Biarlah dicap sesat, selama aku tidak tersesat dalam sebuah doktrin yang membuat setiap pengikutnya merasa paling benar, karena dengan demikian mereka tanpa sadar telah mengakui bahwa ada keragaman yang perlu diakui serta dihormati.

***

Dimas Jayadinekat, penulis skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi, sutradara film pendek. Juga aktif menulis sebagai kreator konten di media online. Karyanya yang sudah terbit berupa buku motivasi Rahasia Nekat, serta novel online Mencintai Pelakor.