Cerpen

Suatu Waktu di Kios Buah Itu

Ahad, 19 Maret 2023 | 13:00 WIB

Suatu Waktu di Kios Buah Itu

Ilustrasi (Frepik)

Cerita Pendek: Baitul Muttaqin Al Majid
Dalam perjalanan menuju kios buah—di antara bising kendaraan-kendaraan berlalu-lalang tampak tidak mau saling mengalah, suara dalam benak lelaki itu kian kentara terbelah.


Satu suara menyuruhnya melakukan apa yang tadi oleh teman sekantornya utarakan. Kendatipun temannya tidak secara langsung menyarankannya, lewat cerita temannya ia memperoleh satu cara untuk mendapat uang tambahan.


Mula-mula, pagi tadi, sebetulnya ia cuma meminta temannya supaya meminjaminya uang guna membeli susu anaknya—karena kini baru tanggal setengah, uang gajinya masih cukup lama. Namun, belum sempat ia tahu bagaimana tanggapan temannya itu, atasannya memanggilnya. Maka, sebagai pesuruh di kantor itu, gesa-gesa ia menuju ruang atasannya—meninggalkan pos security yang dijaga oleh temannya.


Beberapa saat kemudian, kali ini naik sepeda motor, ia kembali menemui temannya. Saat hendak mengutarakan apakah temannya mau atau tidak meminjaminya uang, ia sudah dihadang pertanyaan temannya, tadi ia dipanggil untuk apa? Membeli jeruk untuk acara siang nanti, demikian jawabnya. Kemudian, saat ia menyatakan maksud tersebut, temannya malah menjawab dengan bercerita:


Sekali waktu di hari libur kerja, seorang atasan mengajak temannya itu ke sebuah toko untuk belanja kebutuhan kantor mereka. Saat pemilik toko hendak membuat nota, si atasan meminta nota kosong atau menuliskannya dengan menaikkan harga. Si pemilik toko, yang sepertinya telah mengenal si atasan sebagai pelanggannya, bersedia menaikkan harga di nota. Atas apa yang disaksikannya dan setelah mengangkut barang-barang belanjaan tersebut, temannya itu diberi beberapa lembar uang oleh atasannya. Demikianlah cerita temannya.


Sementara satu suara, seusai menyatakan bahwa apa yang bakal ia lakukan merupakan perbuatan tidak baik, mencegahnya.

 

Kemudian, saat ia mempertimbangkan lintasan-lintasan dalam benaknya tadi, sekonyong-konyong suara yang pertama kembali membujuknya untuk melakukan saja, karena ia sedang terdesak kebutuhan untuk anaknya. Lagi pula, demikian lanjut suara tersebut, apa yang bakal dilakukannya kecil apabila dibanding dengan apa yang diceritakan oleh temannya.


Untuk beberapa saat ia sepakat dengan suara tadi. Apalagi setelah ia merasa bahwa di kantor ia paling sedikit dalam hal menerima uang gaji. Akan tetapi, sekonyong-konyong suara kedua terdengar kembali. Kendatipun gajinya kecil, demikian suara tersebut, ia harus bersyukur kepada Gusti Allah Ta’ala yang memberinya rezeki uang lantaran pekerjaannya. Karena, bagaimanapun, di antara teman-temannya masih ada yang belum mendapat pekerjaan tetap hingga hari ini; kendatipun gajinya kecil, ia harus pandai-pandai mengatur pengeluarannya, semisal apabila belum bisa berhenti, setidaknya jatah uang untuk membeli rokok ia kurangi.

 

Demikianlah, sepanjang perjalanan dua suara yang berseberangan dalam benaknya tersebut tiada henti saling mempengaruhinya hingga tiada terasa ia telah sampai di depan kios buah dekat pertigaan jalan raya itu.


Seusai memarkirkan motor, ia berjalan mendekati lapak yang memajang aneka buah segar-segar tampaknya. Kepada penjual yang sontak berdiri menyambut kedatangannya itu ia bertanya, satu kilo jeruk berapa harganya? Pemuda itu menjawab, saat ini harga jeruk yang sepuluh ribu ada; yang lima belas ribu juga ada.


Sementara pemuda itu menunjukkan jeruk-jeruk tersebut sembari bertanya mau beli berapa kilo, ia tampak tertegun—benaknya menghitung, apabila penjual itu mau memenuhi permintaannya nanti, yakni menulis di nota lima belas ribu untuk jeruk yang harganya sepuluh ribu, ada selisih lima ribu per kilo untuknya. Karena ia disuruh membeli sepuluh kilo, maka total selisih uang bakal cukup untuk membeli dua bungkus susu untuk anaknya. Hanya, ia bingung bagaimana cara menyatakan permintaannya. Karena ia belum pernah melakukannya.


Ia rada tersentak saat penjual itu kembali berkata, "Mau beli berapa kilo, yang mana?"

 

"Sepuluh kilo," jawabnya agak gugup, "tetapi...."


Untuk beberapa saat ia terdiam. Kemudian, karena ia tak kunjung menyelesaikan kalimatnya, penjual itu menyatakan, "Tetapi?"


"Tetapi," suaranya terdengar rada grogi, "bisakah sampean menulis nota lima belas ribu untuk jeruk yang harganya sepuluh ribu?"


Pada titik ini penjual itu merasa gamang harus menolak atau memenuhi permintaannya.

 

Di satu sisi, sepuluh kilo adalah pembelian yang cukup banyak jumlahnya; cukup banyak keuntungannya. Akan tetapi, di sisi lain, mulai hari ini ia telah bertekad untuk tidak melakukan lagi hal yang baru saja didengarnya; di satu sisi, satu suara dalam benak menyuruhnya untuk memenuhi permintaan tersebut—untuk terakhir kalinya. Setelah itu jangan lagi mengulanginya. Akan tetapi, di sisi lain, satu suara dalam benak menyatakan bahwa apabila kali ini ia melakukan lagi, bagaimana kalau nanti lagi-lagi ia mengulanginya? Sementara itu, ia juga bingung; agar calon pembelinya itu tidak tersinggung, bagaimana cara mengutarakan penolakannya? Namun, setelah tekad tersebut kembali menguatkannya, ia berkata, “Seandainya sampean membeli kemarin, saya mau menuruti permintaan sampean…”


Rada bingung memahami pernyataan penjual itu, ia bertanya, "Maksud sampean?"


Penjual itu menjawab bahwa semalam saat membuka akun media sosialnya ia mendapati unggahan tulisan yang mengisahkan tentang seorang Sahabat Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, yakni Umar bin Khattab yang, pada suatu hari, berkeliling demi melihat kondisi rakyatnya. Sesampai di padang rumput ia mendapati seorang bocah tengah menggembalakan beberapa kambingnya.


Kemudian, dengan maksud menguji bocah itu, ia menyatakan bahwa ia ingin membeli seekor kambingnya. Akan tetapi, bocah itu menjawab bahwa ia tidak berhak menjualnya, karena ia hanya seorang budak yang sedang menggembalakan kambing-kambing milik tuannya.

 

Atas jawaban tersebut, Umar bin Khattab tetap membujuknya dengan mengatakan bahwa saat ini tidak ada seorang pun yang melihat apabila bocah itu menjual seekor kambing padanya.

 

Akan tetapi, jawaban bocah itu sungguh tidak terduga. Ia mengatakan bahwa memang tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Namun, Gusti Allah Ta’'ala yang Maha Tahu pasti melihat apabila ia menjual seekor kambing padanya.

 

Mendengar jawabannya, Umar bin Khattab terharu hingga-hingga meneteskan air mata. Kemudian ia meminta bocah itu untuk mengantarkannya pada tuannya.

 

Sesampai mereka kepada majikan bocah itu, Umar bin Khattab menyatakan bahwa ia ingin menebusnya demi memerdekakannya. Boleh, jawab orang itu, asal cocok tebusannya.


Setelah tawar-menawar hingga harga yang mereka sepakati, Umar bin Khattab pun menebus dan memerdekakannya. Tak hanya itu, ia juga membeli beberapa kambing yang kemudian ia berikan padanya. Semua ini ia lakukan karena ia kagum atas kejujuran dan keteguhan bocah itu menjaga amanah yang diembannya.


Kemudian, seusai bocah itu menyatakan terima kasih dengan penuh rasa gembira, ia baru tahu bahwa orang yang memerdekakannya itu adalah pemimpin yang amat mencintai rakyatnya.

 

Cerita tersebut, demikian lanjut si penjual buah, amat menyentuh kesadarannya. Ia merasa bersalah karena beberapa kali pernah melakukan apa yang seperti tadi diminta padanya oleh beberapa pembeli buahnya. Sembari menyesal ia memohon ampun kepada Gusti Allah Ta'ala yang Maha Pengampun—berkali-kali dan suka mengampuni kesalahan-kesalahan hamba-hamba-Nya. "Hari ini," katanya, "adalah hari pertama saya bertekad untuk tidak mengulanginya."

 

Di luar dugaannya, raut tersinggung tidak tampak di wajah calon pembelinya itu. Malah yang tersirat semacam kelegaan di situ. Untuk beberapa saat ia rada bingung atas reaksi tersebut, namun kemudian ia tahu setelah orang itu berkata dengan nada penuh haru, bahwa kejujuran jawabannya serta ceritanya amat menyentuh kalbu.

 

Kemudian, karena merasa telah tercipta keakraban di antara mereka, ia menceritakan kejadian-kejadian yang ia alami tadi; mulai dari saat ia meminjam uang pada temannya, pergulatan dalam benaknya sampai di tempat ini. "Terima kasih," katanya, "lantaran sampean, saya tidak jadi melakukannya. Seandainya tadi sampean mengiyakan, di lain kesempatan mungkin saya jadi tidak segan lagi melakukannya."

 

Untuk beberapa saat kelegaan tampak terpancar di wajah mereka. Kemudian, sekonyong-konyong  penjual buah  itu berkata, "Alhamdu…"


"Lillah!" sambutnya seketika, "sepuluh kilo yang lima belas ribu, tulis sesuai harga..."


Kesugihan, 29 Juli 2022  


Baitul Muttaqin Al Majid, penulis tinggal di Cilacap Jawa Tengah
Â