Cerpen CERITA PENDEK

Tuhan Hyang Maha Misterius

Sab, 4 September 2021 | 23:00 WIB

Cerita Pendek Ren Muhammad
Anak-anak kecil itu berhamburan tak tentu arah, sembari berteriak ketakutan. Beberapa dari mereka melintas di hadapanku. Sisanya hilang entah ke mana. Semuanya meneriakkan kata dengan tekanan nada yang sama, "Madlawe mati! Madlawe mati!" Semula aku sempat meragukan pendengaran sendiri. Karena sekelompok anak itu kuanggap sedang iseng bermain. Tapi sekian jenak kemudian, aku mulai mengamini ucapan mereka. Raut wajah panik dan ketakutan yang tergambar di wajah-wajah polos itu, sudah cukup jadi bukti. Perkara ini bukan kabar sembarangan. 


Beberapa orang warga mulai tersambar kabar angin. Satu persatu mereka saling bertanya. Ada pula yang menyangsikan. Sama seperti aku yang mendengarnya kali pertama. Namun desas-desus itu perlahan mereda, setelah Kamitua desa kami memastikan sendiri apa yang seharusnya ia ketahui. Aku berjalan di belakangnya, menuju kediaman Madlawe yang angker. Sebelum ini, tak seorang pun kami berani sekadar lewat. Melihat pun enggan. Kamitua memastikan bahwa sang bromocorah memang telah tumpas dihempas waktu. Mayatnya terbujur kaku di dalam kandang. Berselemak tahi kerbau.  


Cerita si kerbau bisa sampai di situ, berawal dari seorang peternak di dusun seberang, yang kehilangan hewan ternak. Ia menduga Madlawe adalah malingnya. Lantas mengajak penduduk dusun menyatroni rumah pelaku. Dugaannya benar belaka. Kerbau malang itu sedang tertambat di dalam kandang, dan Madlawe tengah asyik memberinya rumput untuk dimakan. Alih-alih mendapatkan kerbaunya kembali, peternak yang sial itu malah habis dihajar sampai babak belur. Sementara orang-orang yang mengantarkannya melabrak, lari sipat kuping. Sejak itu, kasus kerbau hilang pun dipetieskan oleh Kamitua.  

 

Drama kematian Madlawe segera menarik perhatian banyak orang. Sebagian besar warga ogah mengurusi jenazahnya, malah ada dua-tiga orang yang dengan enteng mengencingi mayat itu, lalu melemparinya dengan tinja. Sehari sudah berlalu. Kamitua belum berani memutuskan langkah. Ia masih belum bisa menenggang murka penduduk Desa Urug yang selama ini telah dirugikan oleh almarhum atas perilaku bejatnya. Aku tak mau mewarnai cerita ini dengan buruk sangka yang belum pernah kudengar dan lihat dengan mata kepala sendiri.

 

Pun semua kisah yang kudengar tentang Madlawe, selalu sumbang. Banyak orang tua di Urug yang menakut-nakuti anaknya yang nakal dengan nama itu. Termasuk sumpah serapah bila anak mereka mulai kelihatan bandel tak ketulungan, "Semoga kau tak jadi Madlawe berikutnya!"


Embusan angin mulai membawa aroma busuk dari mayat Madlawe. Kendati gubuknya berada di tepian desa dan agak jauh dari rumah warga, ternyata bau menyengat itu bisa sampai juga ke penciuman kami. Kini masalah Kamitua mulai bertambah serius. Sementara ia masih belum juga memutuskan langkah terbaik yang harus kami ambil. Andai Kamitua memerintahkan warga Urug membakar mayat sialan itu, sudah pasti perintahnya akan dilaksanakan. Kemelut yang sedang menimpa desa kami ini, membawa ingatanku pada kisah Abu Lahab yang jasadnya dibiarkan membusuk dan kemudian ditimpuki batu oleh orang-orang Makkah.

 

"Fardhu kifayah mengurus jenazah dalam Islam, kali ini tak berlaku bagi Madlawe. Dosanya bejibun, tak terampuni! Kita tak perlu repot-repot mengantarnya ke pekuburan," pekik Kiai Farid di antara kerumunan warga.


"Tapi Madlawe juga manusia, Kang. Bukan binatang," sergah Kamitua.

 

"Kalau dia manusia, perbuatannya takkan nista sebegitu rupa."


Mendengar sanggahan Kiai Farid, Kamitua pun terdiam. Sebagian orang yang duduk bersama mereka, mengangguk-angguk tanda setuju. 

 

"Jadi kita harus bagaimana, Kang Farid?" Kamitua bertanya dengan nada putus asa.

 

"Saya mengharamkan bangkainya diurus dan dimakamkan!"


"Gusti… Saya sendiri pernah mendengar Madlawe minta ampun pada Hyang Maha Kawasa, beberapa hari sebelum ia wafat," pungkas Kamitua.


"Pokoknya saya tak mau jadi imam shalat jenazahnya… Titik!"

  
Goro-goro di Desa Urug kian merajalela. Pada hari kedua kematian Madlawe, siapa pun warga yang sedang duduk berkumpul, pasti membincangnya, sambil sesekali terpaksa membiarkan udara yang meruap bercampur bau busuk teramat sangat. Tak sedikit juga mereka yang mengkhawatirkan kematian sendiri. Adakah mereka akan mengalami hal serupa jika sekarang membiarkan Madlawe menjadi bangkai teronggok? Apakah nanti akan ada yang mau mengantar mereka ke taman pemakaman? Sesungguhnya, orang-orang desa yang lugu ini juga takut terkena tulah. Kualat! 


Halimun turun menyelimuti Urug yang baru saja diguyur hujan deras awal tahun. Dari puncak desa, aku bisa menikmati pemandangan indah yang tiada tara itu. Para petani turun sejenak ke sawah mereka yang mulai menghijau. Anak-anak gembala tampak tekun menemani kambing dan kerbaunya di padang rumput. Petang merembang. Mega berarakan di ufuk barat. Burung-burung berbondong pulang ke sarangnya. Kumandang adzan Maghrib menutup hari ini dengan sempurna. Sebentar lagi, Urug akan tertutup selendang gelap. Bintang gemintang pun bertaburan di seantero penjuru langit. 

 

Irama alam yang sudah lazim itu, mendadak buyar. Serombongan santri Kiai Farid yang baru saja pulang kenduri dari kampung seberang, melihat semburat sinar terang memancar dari rumah Madlawe. Tersedot rasa penasaran, mereka menghambur bersama beberapa orang lain yang juga melihat fenomena itu—termasuk aku yang datang belakangan. Setiba di sana, mulut kami tak mampu berkata sepatah pun. Tiga sosok cahaya berperawakan tinggi, nampak tengah mengurusi jenazahnya. Mereka memakaikan tujuh buah kafan, yang juga terbuat dari cahaya. Tak berselang lama, Madlawe dibawa terbang. Lalu hilang dalam sekejap mata.   

 

"Jagat dewa batara!" ujar para pinisepuh yang sempat kami temui di langgar, saat kembali dari rumah Madlawe. Suasana malam yang biasanya syahdu di Urug, sontak gegap gempita. Keajaiban yang kami saksikan itu segera menjadi buah bibir. Tutur tinular, hingga sampai kepada khalayak pembaca sekalian. Para santri yang menjadi saksi, berkeyakinan bahwa Madlawe telah diangkat menjadi Waliyulah pada akhir hayatnya, lantaran pertobatannya ditampi Gusti Allah. Sementara mereka yang sudah berlaku keji pada almarhum, dihantui rasa bersalah. Tepatnya, takut mengalami hal serupa, dan bahkan lebih parah. 
 

Kiai Farid yang mendengar berita tersebut langsung dari santrinya, nyaris tak berkutik. Tapi ia masih angkat bicara di hadapan Kamitua, pinisepuh, dan para jamaah shalat Isya. Wejangan kiyai limapuluhan tahun itu, kali ini bernuansa amanah. Mungkin agak pas jika disebut wasiat kematian. Semua yang hadir saat itu, khusyuk mendengarkan. Kiyai Farid yang sebelumnya terkesan keras dan cenderung kolot pada segala perubahan, kali ini tampak melunak. Suaranya yang berat berbobot, meluncur dengan kata-kata yang seolah dipilah dengan cermat. 

 

"Hadirin sadayana, jikalau Madlawe yang bromocorah brengsek bin bajingan itu saja bisa diperlakukan sedemikian mulia oleh Allah, maka hal serupa bukan tak mungkin terjadi pada kita, terutama pada saya yang menjadi kiiai."


Para hadirin tekun menyimak. 

 

"Maka perhatikanlah pesan ini. Kelak nanti saya meninggal, letakkan saja jenazah saya di mihrab masjid kita, yang semoga diridhai Allah."


Lantai masjid yang dingin itu, kemudian menjadi saksi atas ucapan Kiai Farid yang tak masuk akal. Hari terus berganti pekan. Bulan bersusulan menutup tahun. Manakala warga Urug hampir melupakan wasiat itu, tibalah hari yang telah ditentukan. Pengeras suara di masjid mengabarkan, bahwa Kiai Farid telah katimbalan Gusti Hyang Widi, pada hari Rabu wekasan.

 

Keluarganya yang telah berkumpul di rumah kemalangan, seperti enggan membicarakan satu hal. Persis ketika jenazahnya hendak dimandikan, Kamitua mengingatkan bahwa yang bersangkutan meminta jasadnya diletakkan saja di mihrab masjid. 

 

Meski berat terasa, alhasil permintaan terakhir Kiai Farid itu pun terpaksa dikabulkan. Anak-anak dan santrinya turut memanggul jenazah, dengan airmata bersimbah. Sebenarnya bukan hanya mereka yang gagal menemukan rahasia pesan tersebut, seluruh warga Urug pun begitu. Tapi apa mau dikata. Nasi telah menjadi bubur. Awalnya, para jamaah shalat masih berusaha memahami keadaan aneh yang mereka alami: shalat berjamaah ditemani jenazah yang tak hendak dishalatkan. Sehari kemudian, penciuman mereka tak bisa dibohongi. Tubuh sang kiai mulai mengeluarkan bau tak sedap. Dari rongganya juga muncul air berwarna hitam pekat, berbau busuk. Siapa saja yang nekat mendekat, niscaya muntah seketika.

 

Naluri warga Urug serta-merta bersepakat menjauh dari areal masjid. Mereka yang tinggal di sekitaran masjid, menumpang tinggal sementara di rumah sanak semendanya. Shalat jamaah lima waktu juga telah berpindah ke langgar yang tak terlampau besar. Masalah baru terbit, saat Jumat tiba. Kamitua dan khatib shalat Jumat, kemudian bersepakat mengajak kami beribadah di masjid kampung sebelah. Anehnya, bau busuk menyengat bangkai manusia itu, masih terus menempel di penciuman kami. Padahal warga di sana tak tahu menahu soal kejadian membingungkan tersebut, termasuk tak mencium aroma yang menyengat itu. 

 

Orang-orang dewasa di Urug mulai terganggu kesabarannya. Mereka mengusulkan pada Kamitua, agar jasad sang kiai dibakar saja, setelah lebih dulu ditimbun dengan kayu dan dedaunan kering. Maka mulailah mereka bekerjasama mengumpulkan kayu bakar dan daun pohon yang sudah getas. Pada hari ketujuh, dilaksanakanlah rencana yang sudah disusun dengan matang itu. Dari kejauhan aku melihat para anak dan istri sang kiai tak sanggup menahan pilu. Sudah barang tentu mereka terpukul begitu. Manusia mana yang tak remuk hatinya menyaksikan mayat orang yang ia cintai, harus digarang api.

 

Palagan menghadapi kekacauan itu ternyata tak jua berakhir. Bangkai yang sudah diaben secara tak wajar tersebut, masih menyisakan kerumitan. Bau busuk masih tetap tercium, malah kian kentara saja. Padahal Masjid Niskala Wastu Kencana yang sudah berdiri lebih dari seratus tahun di desa kami, telah roboh dilalap si jago merah. Kamitua menyarankan kami agar segera pindah ke mana pun, asal tak lagi bermukim di Urug. Lantaran tak kuat menjalani hari-hari berikutnya, satu demi satu kami pergi meninggalkan tanah kelahiran sendiri. Desa yang menyimpan misteri Tuhan dalam selubungnya itu pun, tak lagi berpenghuni.

 

Konon, warga desa lain masih sering mencium aroma busuk pada malam Rabu wekasan. Tapi mereka tak pernah tahu sebab musababnya. Mereka hanya mengerti bahwa Urug ditinggal pergi karena pagebluk. Orang-orang yang sempat menjadi saksi mata kejadian menakjubkan itu, hanya menyimpan aibnya dalam kenangan. Namun aku memilih menuliskannya, agar kelak menjadi pelajaran bagi anak-cucu. Apa yang bisa disembunyikan dari panggung raya kehidupan ini. Toh, semua terjadi sebagaimana wayahnya. Tak seorang pun sanggup menundanya barang sekejap mata.