Daerah

Anekdotal IPNU Banyuwangi Tempo Dulu

Sen, 10 Oktober 2022 | 11:00 WIB

Anekdotal IPNU Banyuwangi Tempo Dulu

Bedah buku Pelajar Bergerak: Fragmen Sejarah IPNU Banyuwangi di acara Banyuwangi Book Fair. (Foto: NU Online/Mohamad Soleh Kurniawan)

Banyuwangi, NU Online 
Kiprah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur terbentang cukup lama. Setidaknya sejak awal dekade 60-an dan terus berkembang hingga saat ini. Dalam sejarahnya, banyak hal yang telah dilakukan. Mulai yang prestius hingga yang sederhana. Mulai yang serius sampai yang biasa.


Di tengah perjalanan tersebut, tak jarang tersimpan kisah-kisah anekdotal yang membuat terpingkal jika dikenang kembali. Kisah keluguan dan kepolosan para kader IPNU yang membangkitkan gelak tawa. Hal itu, sebagaimana dikisahkan oleh KH Muhammad Ikrom Hasan, Ketua PC IPNU Banyuwangi masa khidmat 1980-1983.


"IPNU zaman dulu itu, tidak seperti sekarang. Rata-rata mereka hanya anak-anak santri yang tidak sekolah umum. Jadinya, tidak sedikit yang awam dengan sesuatu yang bersifat umum. Seperti halnya tata cara upacara," ungkap Kiai Ikrom saat bedah buku Pelajar Bergerak: Fragmen Sejarah IPNU Banyuwangi di acara Banyuwangi Book Fair, Ahad (9/10/2022).


Peristiwa tersebut terjadi tatkala apel peseta Porseni Pimpinan Wilayah (PW) IPNU Jawa Timur yang dilaksanakan di Kediri. Saat itu, Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Makhrus Ali berkeliling untuk inspeksi pasukan selayaknya dalam upacara kemiliteran. Melihat kiai karismatik pengasuh Pesantren Lirboyo melintas di depannya, jiwa santri kader IPNU dari Banyuwangi pun tergerak. Secara spontan, seorang kader bernama Asmuni Adji, langsung menyalami sang kiai. Tak ayal, hal ini pun diikuti oleh barisan yang lain.


"Akhirnya, barisan upacara yang telah rapi tadi, bubar. Salaman semua dengan Kiai Makhrus," kenang Kiai Ikrom disambut derai tawa para peserta.


Masih tentang upacara. Suatu saat IPNU Banyuwangi menggelar apel. Sebelum pelaksanaan, telah dikabari oleh panitia tentang jumlah para peserta dari masing-masing barisan. Baik yang dari Pimpinan Anak Cabang maupun utusan dari badan otonom NU lainnya. Sampai akhirnya, saat upacara dilaksanakan, sang komandan pun melaporkan jumlah masing-masing barisan.


"Saat komandan laporan, seharusnya kan dijawab; 'laporan diterima. Laksanakan!'. Nah, ini tidak. Sang inspektur dengan polosnya menjawab; 'saya sudah tahu'. Pakai mik lagi. Langsung saja para peserta upacara tertawa semua," cerita Kiai Ikrom kembali disambut gelak tawa pengunjung.


Keluguan sang inspektur upacara tak berhenti di sini saja. Kisah berlanjut saat pengibaran sang saka merah putih. Pada saat latihan bersama tentara diajarkan bahwa saat dilakukan proses pengibaran bendera, semua peserta upacara harus memberi hormat seraya menatap ke sang dwi warna.


Ajaran dari seorang tentara yang melatih itu dipegang betul oleh inspektur upacara. Ketika latihan, hal itu berjalan baik. Namun, saat upacara berlangsung keanehan yang memancing ketawa.


"Waktu latihan, panggung inspektur upacara tidak ada payon (penutup panggung), jadi enak. Langsung bisa menatap ke bendera. Tapi, saat upacara, ada payon yang akhirnya menghalangi pandangan," terang santrinya KH As'ad Syamsul Arifin itu.


"Seharusnya, dalam kondisi demikian, kan yang penting hormat. Tak perlu memandang secara langsung. Tapi, karena mencerna instruksi tentara bulat-bulat, akhirnya si inspektur upacara ini memiringkan badan. Demi bisa menatap bendera yang terhalang payon tadi," ujar Kiai Ikrom sembari terpingkal.


Kisah-kisah anekdotal tersebut menjadi pelengkap dalam bedah buku "Pelajar Bergerak: Fragmen Sejarah IPNU Banyuwangi". Buku ini sendiri terdiri dari tiga bagian.

 

Bagian pertama mengulas tentang latar sosiologis kepelajaran yang merupakan agen aktif dalam derap sejarah bangsa dan latar belakang organisasi induknya, Nahdlatul Ulama, dengan segala kontestasi ideologisnya. "Dengan latar belakang demikianlah, IPNU terlahir dan eksis hingga hari ini," papar penulisnya, Ayung Notonegoro.

 
Dengan latar yang sama, IPNU di bumi Blambangan berdiri. Pada 1960, IPNU Cabang Banyuwangi berdiri. Setahun kemudian disusul IPNU Cabang Blambangan sebagai persiapan. "Bahkan, pada 1970, terdapat arsip yang menyebutkan bahwa di Banyuwangi secara bersamaan ada tiga Cabang IPNU. Selain Banyuwangi dan Blambangan, ada juga Cabang Rogojampi," papar Ayung.
 

Pemekaran cabang tersebut, jelas Ayung, dipicu karena luasnya geografis Banyuwangi, akses transportasi yang terbatas dan sumber daya yang juga limit. "Baru pada 1984, saat Pemerintah melakukan intervensi pada organisasi, ketiga cabang tersebut dilebur dalam satu kepengurusan," ungkap founder Komunitas Pegon itu.

 
Sedangkan bagian ketiga, berisi sejumlah catatan reflektif atas berbagai kiprah IPNU Banyuwangi pada masa silam. Mulai hubungannya dengan Nahdlatul Ulama dan banom-banom NU yang lain, kiprah di dunia politik, kiprahnya di wilayah hingga pusat, serta identitas kepelajarannya. 


Kontributor: Mohamad Soleh Kurniawan
Editor: Syamsul Arifin