Daerah

Ansor Jateng: Radikalisme bukan Rekayasa

Kam, 27 Februari 2020 | 16:30 WIB

Ansor Jateng: Radikalisme bukan Rekayasa

Seminar pencegahan radikalisme, Ansor Kota Semarang (Foto: NU Online/Rifqi Hidayat)

Semarang, NU Online 
Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah H Sholahuddin Aly menyebut pihak yang menganggap radikalisme sebuah rekayasa adalah orang yang terpapar radikalisme.
 
"Orang yang sering koar-koar bahwa terorisme itu adalah rekayasa. Maka ia sebenarnya bagian dari radikalisme," kata Gus Sholah sapaan akrabnya.
 
Hal itu disampaikan saat menjadi narasumber Seminar Pencegahan Radikalisme di Laboratorium Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Wali Songo Semarang, Kamis (27/2).
 
Gus Sholah juga mengungkapkan, paham radikal muncul secara nyata di beberapa lembaga dakwah kampus (LDK) baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Dampaknya, paham radikal masuk ke berbagai sektor swasta maupun pemerintah lantaran para lulusan LDK kampus atau yang berada di bawah binaannya menduduki posisi tertentu di berbagai perusahaan.
 
"Mereka sudah punya banyak posisi strategis di beberapa pos. Dan itu yang menopang di beberapa gerakan yang ada," ungkap aktivis NU asal Jepara ini.
 
Lebih dari itu lanjut dia, mereka juga kembali ke kampung halaman dan mendirikan lembaga pendidikan dengan sumber daya manusia yang sepahaman sebagai tenaga pendidik.
 
Selain itu, ia mengingatkan pentingnya membuat kontranarasi di media sosial sebagai upaya menangkal persebaran radikalisme di dunia maya. "Kita harus mampu membuat kontranarasi sebanyak-banyaknya," tegasnya. 
 
Kepala Campus Ministry Universitas Katolik (Unika) Soegijopranoto Semarang Romo Aloys Budi Purnomo Pr mengatakan, yang transenden dari agama adalah persaudaraan dan kedamaian. 
 
Dalam kesempatan itu, ia menerangkan prosesnya belajar sampai menjadi seorang Romo tidaklah instan. Sejak lulus SD sudah mulai sekolah seminari. Bahkan, khusus mendalami spiritualitas selama 1 (satu) tahun penuh yang disambung dengan filsafat sehingga ia mampu membangun persahabatan meski berbeda keyakinan sebagai apilkasi ajaran agama yang dianutnya.
 
"Unggahan di facebook saya isinya persahabatan, persahabatan dengan Gus Mus, persahabatan dengan Habib Luthfi, persahabatan dengan Gus Muwafiq," kata dia.
 
Tak hanya itu, Romo Budi juga mengaku tidak pernah melawan pihak yang membully di media sosial maupun kekerasan lain dengan kekerasan. Ia merasa tidak pernah terpengaruh adanya radikalisme Islam. Karena itu, tokoh yang dekat dengan berbagai kalangan lintas agama ini hanya menyebut sebagai oknum dalam menyikapi radikalisme berbasis agama. 
 
"Itu hanya oknum yang merusak, apapun agama yang dibela,"tegasnya.
 
Dalam kebaikan, ia mengimani sesuai yang termaktub dalam Al-Kitab Injil. Sebab kata dia, Gereja Katolik mengakui, menghargai semua kebaikan semua agama. Karena itu hal-hal terkait perdamaian dan kemanusiaan perlu dikerjasamakan, terlebih jika menjadi penentu kebijakan. 
 
"Apabila semua tergantung padamu, maka jadilah pembawa perdamaian," tandasnya.
Sebagai penutup materinya, aktivis lintas agama Jawa Tengah ini membawakan syair karya Abunawas dan Indonesia Pusaka dalam alunan saxophone.
 
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah, Samsul Ma'arif mengatakan, betapa beruntungnya menjadi bangsa Indonesia dengan berbagai kekayaannya. "Anda punya bonus yang luar biasa, bonus kekayaan alam, bonus multikultural, dan bonus demografi," kata Guru Besar UIN Wali Songo Semarang.
 
Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang ini juga mengingatkan, radikalisme berbasis agama di Indonesia, terlebih Islam kerap berhadapan dengan Islam. "Indonesia mayoritas adalah Islam," jelasnya.
 
Dikatakan, kekuatan Indonesia dalam melawan radikalisme adalah local wishdom yang menyejukkan seperti adanya lagu sluku-sluku batok dalam proses penyebaran Islam di tanah Jawa. "Budaya ini terus digerus, yang guyup, dan yang rukun dengan nyanyi," jelasnya. 
 
Pengasuh PP Riset Al Khawarisme Mijen ini berpesan pentingnya sebuah strategi khusus dalam menangkal persebaran radikalisme-terorisme. Teroris dalam aksinya selalu melakukan tindakan yang bertolak belakang dari ajaran agama. Karena itu teroris disebut kejahatan kemanusiaan yang luar biasa atau extra ordinary crime.  
 
Kontributor: A Rifqi Hidayat
Editor: Abdul Muiz