Daerah

Asas Hubungan Muslim non-Muslim adalah Perdamaian

Rab, 11 Desember 2019 | 11:30 WIB

Asas Hubungan Muslim non-Muslim adalah Perdamaian

Ustadz Yusuf Suharto (memegang mik) pada seminar kebangsaan Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif (Ikapmam) Denanyar, Jombang di Yogyakarta. (Foto: NU Online/panitia)

Yogjakarta, NU Online
Wacana terkait hubungan antara Muslim dan non-Muslim selalu hangat diperbincangkan. Banyak yang masih alergi saat bertemu kalangan beragama lain. Apalagi hal tersebut diperkuat dengan sejumlah ayat, hadits dan kisah yang menyebutkan bahwa dalam Islam tidak dikenal hubungan lintas agama. 
 
"Hubungan Muslim non-Muslim itu asasnya adalah perdamaian, dan bukan peperangan. Islam adalah agama cinta dan kasih sayang," demikian disampaikan Ustadz Yusuf Suharto, Rabu (11/12).
 
Pandangan tersebut disampaikan tim peneliti Pengurus Wilayah (PW) Aswaja NU Center Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini saat menjadi pembicara  pada 'Seminar Kebangsaan; Islam, Toleransi, dan Konsep Kewarganegaraan'. Kegiatan diselenggarakan Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif (Ikapmam) Denanyar, Jombang di gedung teatrikal Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
 
"Kepada non-Muslim saja kita diajarkan oleh Islam untuk bertoleransi dan kasih sayang, apalagi kepada sesama Muslim,” ungkap kandidat doktor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang ini. 
 
Bagaimana jika dalam kenyataannya terjadi perbedaan pandangan dan pendapat yang berbeda terkait satu masalah?
 
“Jika ada perbedaan pendapat sesama Muslim, ya berbeda dengan proposional saja. Tidak perlu saling membully. Ya, berbeda ilmiah,” tegasnya.
 
Justru di sinilah kedewasaan dan keluasan pandangan kaum Muslimin dipertaruhkan. Sejauh mana mereka memaknai dan menyikapi perbedaan yang ada. 
 
"Inilah toleransi, yaitu menyadari bahwa ada perbedaan, dan kita bertenggang rasa,” terangnya.
 
Ustadz Yusuf Suharto kemudian menceritakan sejumlah kisah yang membenarkan terkait pola hubungan manakala terdapat perbedaan pendapat. Bahkan Nabi Muhammad juga telah memberikan teladan bagaimana menyikapi perbedaan tersebut.
 
"Rasulullah sendiri diutus untuk membawa ajaran yang lurus dan toleran, yakni buitstu bil hanifiyyah as-samhah,” jelasnya.
 
Di ujung paparannya, dirinya mengutip pendapat almaghfurlah KH Maimoen Zubair, terkait bagaimana menyikapi perbedaan pendapat.
 
"Perbedaan jangan dibesar-besarkan, sehingga kita bisa hidup rukun. Semua persepsi dan polemik harus kita redam. Jangan marah-marah lalu membuatnya semakin menjadi-jadi. Habluminallah harus dikuatkan dan habluminannas harus selalu dijaga dengan baik. Harus pintar-pintar menyelaraskan,” katanya.
 
Sementara itu pembicara kedua, Ngatiyar, berbicara agar meningkatkan kadar toleransi dari personal menuju toleransi sosial. 
 
"Toleransi itu kebalikan alienasi. Dalam toleransi itu kebersamaan dan tak mengasingkan sesama warga negara,” pungkas dosen Sekolah Tinggi Ilmu Fiqih (STIF) An-Nawawi Banten ini di hadapan peserta seminar.
 
Tampil sebagai moderator Amamur Rohman Hamdani selaku Koordinator Jumat atau Jaringan Ulama Muda Nusantara, Yogyakarta.
 
 
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Aryudi AR