Daerah PEMBERDAYAAN

Budidaya Ikan dan Jamur, Upaya Pengembangan Pesantren Zainul Hafidz At-Taufiq Lombok Barat

Sen, 9 Maret 2020 | 03:45 WIB

Budidaya Ikan dan Jamur, Upaya Pengembangan Pesantren Zainul Hafidz At-Taufiq Lombok Barat

Para santri memanfaatkan berugak di Pesantren Zainul Hafidz At-Taufiq Sekotong, Lombok Barat. (Foto: Yusuf Tantowi)

Lombok Barat, NU Online
Selesai mengisi pengajian di madrasah, saya beruntung dapat ngiring (menemani) ayahanda TGH Abu Agus Arafaini dan kanda Nasrullah untuk menghadiri Rapat Kerja Cabang (Rakercab) Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama Lombok Barat.
 
Rakercab ini berlangsung di Pesantren Zainul Hafidz At-Taufiq, Dusun Sepi, Desa Buwun Mas, Sekotong, Lombok Barat, Ahad (8/3). 
 
Butuh sekitar satu jam lamanya bila mengendarai mobil dari pusat pemerintahan Kabupaten Lombok Barat, Gerung, untuk sampai di pondok ini. Melewati kawasan Pelabuhan Very Lembar, jalan yang berkelok, menanjak membelah kawasan pegunungan Sekotong Barat.
 
Desa Buwun Mas ini tahun-tahun sebelumnya ramai dikunjungi orang. Ribuan penambang datang dari berbagai daerah  menggali butiran-butiran emas yang diduga terkandung dalam tanah kawasan pegunungan Sekotong. Mereka yang berhasil banyak yang menjadi orang kaya baru (OKB) dari hasil gali emas.
 
Masuk di Kompleks pesantren, pertama yang tampak berdiri di kiri kanan puluhan buah berugak yang dibangun dari pohon jati beratap ilalang. Di deretan berugak itulah para santri muthalaah kitab. Sementara para tamu yang kebetulan mengunjungi pesantren, menyandarkan punggung mereka di dalam berugak-berugak itu. 
 
Tiupan angin perdesaan, embusan angin gunung, dan lambaian angin daun kelapa membuat pengunjung mau betah berlama-lama duduk ngobrol di atas deretan bangunan berugak. Halaman pondok yang luas menghadap gunung menjadi pelengkap kondisi lingkungan kompleks pondok pesantren ini.
 
"Idenya setelah gempa. Saya ingin anak-anak santri ada tempat berlindung yang nyaman setiap kali gempa datang," kata Ustadz Sahwan, pendiri dan pengasuh Pesantren Zainul Hafidz At-Taufiq. 
 
Setelah gempa, ternyata bukan hanya santri yang menempati berugak itu. Banyak warga sekitar yang tinggal di luar pondok, yang kemudian bergabung. Dari awalnya satu berugak, lalu bertambah hampir menjadi 50-an berugak. Dengan bahan kayu jati dan beratap daun ilalang, jika dihitung biaya mendirikan semua berugak itu mencapai puluhan juta rupiah.
 
Wajar kalau banyak warga sekitar yang heran akan tujuannya membangun puluhan berugak. "Untuk apa membangun berugak banyak-banyak? Satu dua kan cukup," kata Bendahara LP Ma'arif Lombok Barat yang juga akrab dipanggil Guru Wan oleh masyarakat Sekotong.
 
Selain punya lahan yang luas, mencapai 14 hektar, pondok ini sengaja didesain untuk dekat dengan alam. Pemaksimalkan potensi ekonomi juga dilakukan untuk membiayai operasional dan pengembangan pondok kedepan. Diantaranya membudidayakan burung walet, kolam ikan, jamur dan pohon bernilai ekonomi.
 
"Saya niatkan hasil dari budidaya walet nanti 50 persennya untuk keluarga dan 50 persennya untuk membiayai pengembangan pondok," cerita Ustadz Sahwan kepada Ketua PCNU Lombok Barat, H Nazar Naami dan Sekretaris H Ali Maksum, di sela-sela membuka acara Rakercab LP Ma'arif NU Lombok Barat. 
 
Ciri lain dari program pondok pesantren ini menerapkan metode Amsilati, sebuah metode cepat dalam belajar ilmu Nahwu Syaraf. Bukankah ilmu Nahwu merupakan ilmu utama bagi kaum santri agar bisa membaca dan menerjemahkan kitab- kitab kuning (kitab gundul) termasuk membaca dan menafsirkan Al Qur'an secara mendalam?
 
Metode Amsilati ini ditemukan oleh KH Taufiqul Hakim dari Jepara, Jawa Tengah. Untuk kepentingan itu pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hafidz At Taufiqi sengaja mendatangkan beberapa orang guru atau ustazd dari Jepara. Kedatangan mereka secara khusus mengajarkan motode Amsilati kepada para santri yang menuntut ilmu di pondok ini.  
 
Bagi Ustadz Sahwan tidak ada istilah persaingan dalam pengembangan pendidikan, pengembangan SDM, termasuk dalam memajukan pesantren.
 
"Tidak ada istilah persaingan dalam pendidikan yang ada kompetensi dan kompetisi," katanya.
 
Untuk itu jangan sampai pesantren kondisinya hidup segan mati tak mau. Kita jangan kalah dengan lembaga pendidikan agama lain. Meski dalam konteks bernegara kita harus menghormati agama diluar Islam.
 
"Kalau ada pondok usianya sudah sampai 20 tahun, belum ada alumni yang berhasil maka itu gagal total," tambahnya.
 
Mendengar ucapan itu, saya sadar itu adalah kritik yang tajam. Namun, kiranya kritik itu perlu dicamkan oleh setiap pengelola pesantren. Tentu saja agar pesantren dapat meningkatkan diri dan memaksimalkan kemampuan santri, melahirkan para santri yang mumpuni. Bukankah jika santri kemudian menjadi orang yang mumpuni, akan memberikan kemanfaatan bagi lingkungannya? 
 
Yusuf Tantowi, aktivis NU Nusa Tenggara Barat.