Daerah

FGD PMII Guluk-Guluk Sebut 6 Persoalan Bangsa Mesti Ditangani

Rab, 25 September 2019 | 06:00 WIB

FGD PMII Guluk-Guluk Sebut 6 Persoalan Bangsa Mesti Ditangani

Para peserta FGD berfoto bersama (Foto: NU Online/Hairul Anam)

Sumenep, NU Online

Kantor MWCNU Guluk-Guluk disesaki oleh Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Guluk-Guluk, Sumenep, Selasa (24/9). Mereka menggelar Focus Group Discussion (FGD). Mantan Ketua I Pimpinan Cabang PMII Sumenep, Moh. Roychan Fajar, menjadi pemantik FGD.

 

Dalam kesempatan itu, terungkap setidaknya terdapat 6 poin persoalan bangsa terkait RUU Pertanahan 2019.

 

Pertama, sekalipun rezim penguasa orde baru telah tumbang, namun sejumlah bekas kebijakannya yang merugikan publik masih terasa. Bahkan kebijakannya tidak sedikit yang berpihak pada pemodal.

 

Kedua, negara tidak konsisten, cenderung bergaruk ke arah suburnya modal, yakni kapitalisme. Tidak kepada isu-isu problem kerakyatan. Inilah fakta yang terjadi pada era neo-liberal.

 

Ketiga, di tengah berkembangnya ilmu pengetahuan, membuat elemen masyarakat semakin jauh dengan problem-problem kerakyatan.

 

“Maka untuk apa ilmu-ilmu pengetahuan dikembangkan, bahkan dengan disiplin bidangnya masing-masing, jika kemudian tidak diproyeksikan untuk membela atau menyelesaikan persoalan-persoalan kerakyatan?” ujar Moh. Roychan Fajar.

 

Keempat, jargon NKRI harga mati akan menjadi satu hal yang kosong idealisme jika malah mengabaikan persoalan-persoalan yang terjadi di negeri ini. Karena mencintai negara ini tidak harus tunduk dan patuh pada beberapa pola gerakan pemerintah yang tidak prorakyat.

 

“Akan tetapi, harus mengkritisinya dengan pemikiran-pemikiran segar yang solutif dan gerakan yang massif,” lanjutnya.

 

Kelima, pembangunan infrastruktur yang pada rezim ini terus digalakkan, rupanya tidak hanya kepentingan mobilisasi dan pemerataan ekonomi, namun ada maksud tertentu di balik itu semua. Salah satunya adalah untuk menghelat karpet merah bagi para pemodal guna tertarik berinvestasi di Madura, hingga pada akhirnya nanti merugikan rakyat, karena sumber daya alamnya terus dihabisi.

 

Keenam, konsep ke-Islaman hari ini yang seringkali diistilahkan sebagai Islam Nusantara rupanya banyak yang menyalahpahami. Seakan-akan Islam Nusantara ini adalah Islam yang lembek, lentur, dan kalem. Akan tetapi, jika menilik sejarah perjuangan Islam Nusantara ini adalah Islam yang selalu melawan atas kekejaman penguasaan belanda oleh para sufi, seperti di Jombang.

 

“Kiai-kiai NU, KH. Hasyim Asy’ari melakukan perlawanan terhadap pabrik tebu yang terus memeras rakyat dan cendrung menindas kalangan yang lemah. Semestinya studi ke-Islman kita hari ini harus merujuk pada pemaknaan Islam Nusantara yang komprehensif yang keberpihakannya kepada rakyat sangat jelas,” urainya.

 

Sementara itu, Ketua Pimpinan Komisariat PMII Guluk-Guluk, Moh. Faiq, menegaskan, persoalan bangsa Indonesia hari ini adalah terkait regulasi undang-undang yang tidak pro rakyat dan cenderung berpihak pada kepentingan feodal. Hal tersebut merupakan mata rantai persoalan yang merembet pada semakin mudahnya masyarakat melepas tanahnya sebagai sumber mata pencaharian, di samping itu sistem perekonomian mereka, rakyat, semakin dijepit. otomatis ketika mereka sudah berada dalam kondisi yang serba kesulitan, membuat mereka tergiur kepada hal-hal yang bernilai materi, sekalipun harus ditukar dengan sesuatu yang penting yang mereka miliki.

 

“Untuk itu sebagai satu solusi dari problem kerakyatan yang sangat akut ini, perlu kita mengkoreksi ulang studi-studi ke-Islaman kita yang harus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan sesuai dengan disiplin bidangnya masing-masing, harus diproyeksikan untuk memperjuangkan dan menyelesaikan persoalan kerakyatan. Hal ini bisa kita lakukan dengan terus membangun relasi kuat dan belajar kepada rakyat, menjadikan mereka sebagai bagian utuh dari kita,” paparnya.

 

Solusi lainnya, tambah Faiq, adalah menyegarkan kembali pemahaman ke-Islaman yang seringkali disebut dengan Islam Nusantara sebagai spirit keagamaan yang menumbuhkan semangat perjuangan dalam memberantas hegemoni kolonial pemodal, dengan mengacu pada sejarah perjuangan para tokoh Islam Nusantara di Jombang yang ikut serta dalam mendampingi masyarakat menumpas tuntas konflik penindasan oleh pabrik tebu.

 

“Dengan demikian, relugasi perundang-undangan yang dirancang oleh pemerintah, terus dikaji dan jika terdapat berbagai ketimpangan, spirit untuk membela rakyat akan terus diperjuangkan,” tegas Faiq.

 

Pewarta: Hairul Anam

Editor: Aryudi AR