Daerah

Ihsan Puncak dari Trilogi Agama

Sen, 6 Januari 2020 | 01:30 WIB

Ihsan Puncak dari Trilogi Agama

Pengasuh Pesantren Al-Husna, Jember, Kiai Abdul Azis saat menjadi narasumber dalam Obrolan Santai dan Diskusi di kancakona kafe, Jember. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Dalam trilogi agama, ihsan (berbuat baik) menempati posisi kunci dalam konteks keberagamaan seseorang. Tanpa ihsan, maka tidaklah sempurna iman dan Islam seorang Muslim.

 

Demikian diungkapkan oleh pengasuh Rumah Tahfidz Al-Husna, Jember, Kiai Abdul Azis saat menjadi narasumber dalam Obrolan Santai dan Diskusi di Kancakona Kafe, Kelurahan Tegalbesar, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (4/1) malam.

 

Menurutnya, hal tersebut menggambarkan bahwa Islam tidak hanya mementingkan perbuatan hati, tapi juga mengedepankan aksi nyata yang terkait dengan prilaku terpuji dalam keseharian seseorang. Intinya, Islam mengajarkan keseimbangan antara iman-Islam dan realisasi keislaman itu sendiri.

 

“Makanya ihsan disebut sebagai puncak dari keimanan dan keislaman seorang muslim,” jelasnya.

 

Ia mendedah pengertian ihsan sebagaimana jawaban Rasulullah terhadap pertanyaan malaikat Jibril, yaitu: Seakan melihat Allah saat beribadah. Jika, tidak bisa. Maka, (ketahuilah) bahwa Allah yang sedang melihatmu.

 

Dikatakannya, yang dimaksud ibadah adalah dalam arti umum. Ibadah bukan hanya shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Tapi setiap aktifitas, ucapan dan tindakan manusia bisa bermakna ibadah jika diniatkan untuk ibadah.

 

“Berarti ihsan adalah menghadirkan Allah dalam setiap relung kehidupan kita. Sehingga kita tidak berani bermaksiat. Karena merasa bersama Allah. Yang di kantor, tidak berani korupsi. Yang di pasar, tidak berani curang, dan seterusnya,” ulasnya.

 

Selanjutnya, Kiai Abdul Azis menjelaskan korelasi Islam, iman dan ihsan. Katanya, orang yang sudah Islam belum tentu iman dalam hatinya. Karena, Islam itu perbuatan fisik, misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Sedangkan iman adalah perbutan hati, sementara Islam adalah pengejawantahan dari iman.

 

Ia lalu mengutip Al-Qur’an surat Al-Hujurat, ayat 14. Dijelaskan, pernah suatu ketika orang Arab Badui datang kepada Rasulullah, dan berkata: Kami telah beriman. Lalu Allah menyanggah pernyataan mereka: Katakanlah (wahai Muhammad), kalian belum beriman, tapi katakan kami telah Islam, karena Iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.

 

“Kalau hanya itu (pengakuan beriman) yang di lakukan, tidak ada bedanya dengan orang munafiq. Tetapi, jika keimanan tertanam dalam hati, selain tunduk dan patuh (Islam), ia juga yakin bahwa itu semua ajaran agama yang diyakini kebenarannya,” terangnya.

 

Kiai Abdul Azis juga mengutip kitab Syarah Al-Hikam yang dikarang oleh Syekh Muhammad Said Ramadan Al-Buthi, bahwa Islam, iman, dan Iisan bagaikan jasad dan ruh. Ihsan itu adalah ruh agama.

 

“Apalah gunanya jasad, jika tidak ada ruh,” jelasnya di hadapan 100-an pelajar NU yang memadati kafe milik Ikatan Alumni Annuqayah itu.

 

Pewarta: Aryudi AR

Editor: Ibnu Nawawi