Daerah

Ini 5 Narasi Kelompok Radikal-Teroris dalam Merekrut Anggotanya

Kam, 14 September 2023 | 16:15 WIB

Ini 5 Narasi Kelompok Radikal-Teroris dalam Merekrut Anggotanya

Arif Budi Setiawan saat mengisi Sarasehan Kebangsaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pringsewu di Hotel Urban Pringsewu, Kamis (14/9/2023) (Foto: NU Online/Faizin)

Pringsewu, NU Online
Mantan narapidana teroris yang merupakan mantan Jamaah Islamiyah dan militan ISIS Arif Budi Setiawan mengungkapkan 5 narasi propaganda yang sering digunakan untuk merekrut anggota. Dalam menjadikan seseorang militan dalam kelompoknya, narasi ini ditanamkan kepada para anggota melalui fase ketertarikan, penyamaan persepsi, kesepakatan jalan perjuangan, dan akhirnya pada fase ketaatan mutlak.

 

"Setidaknya ada 5 narasi yang biasa dimainkan hingga seseorang itu sampai pada tahapan mau melakukan sebuah tindakan radikal," jelasnya pada Sarasehan Kebangsaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pringsewu yang digelar di Hotel Urban Pringsewu, Kamis (14/9/2023)

 

Level pertama adalah narasi propaganda dakwah. Narasi propaganda dakwah yang disampaikan pada level ini masih sama dengan yang disampaikan oleh gerakan-gerakan Islam yang lain, seperti : masalah aqidah, syariah, mu'amalah, tata cara ibadah yang benar, dan sejenisnya.

 

"Tapi dalam propaganda dakwah ini terkadang sudah muncul indikasi 'bermasalah', yaitu ketika mulai mengajarkan klaim sebagai kelompok yang paling benar,” ungkapnya.

 

Level kedua adalah narasi kegelisahan atau penderitaan yang dialami umat Islam. Pada level narasi ini, disampaikan kondisi umat Islam yang sedang tertindas dan menderita di mana-mana. Di antaranya konflik berkepanjangan, pembantaian, kebodohan dan kemiskinan yang merajalela, terusir dari negerinya, dan sebagainya. 

 

“Dari pemaparan itu diharapkan para pengikut atau binaannnya menjadi tergugah rasa ingin memperjuangkan Islam dan kaum Muslimin,” ungkapnya. 

 

Level ketiga adalah narasi bahwa penyebab kegelisahan atau penderitaan umat Islam adalah karena ulah musuh-musuh Islam. Pada tahapan ini mulai ditanamkan bahwa semua bentuk penderitaan umat Islam disebabkan oleh ulah musuh-musuh Islam yang tidak suka bila Islam berjaya.

 

Dalam level ini juga dikembangkan narasi bahwa Umat islam mengalami kemunduran karena tidak menjalankan kehidupan sesuai syariat Islam dan malah mengikuti aturan kehidupan di luar ajaran Islam yang terjadi karena kuatnya cengkraman hegemoni kekuasaan musuh-musuh Islam.

 

"Dari sini diharapkan muncul semangat perjuangan untuk meruntuhkan sistem yang terbukti membuat umat Islam menderita," ungkap Arif.

 

Level keempat adalah narasi perlawanan. Pada level ini dimunculkan pemikiran bahwa satu-satunya jalan membebaskan umat Islam dari penderitaan adalah dengan mulai memerangi musuh-musuh Islam dengan kekuatan yang ada.

 

"Jika pada narasi-narasi sebelumnya seseorang masih punya pilihan jalan lain, maka pada narasi ini sudah tidak lagi pilihan lain. Akibatnya orang yang meyakininya akan menganggap semua jalan perjuangan yang selainnya adalah salah,” jelasnya pada sarasehan bertema Moderasi Beragama dalam Berpolitik dan Berbangsa.


Orang yang sudah sampai pada pemikiran seperti ini cenderung akan selalu berpikiran sempit dan mudah terprovokasi, sehingga mudah menerima doktrin.

 

Adapun level narasi kelima adalah provokasi melakukan aksi. Pada tahapan ini, seseorang yang telah meyakini bahwa melakukan perlawanan adalah satu-satunya solusi. Tinggal diprovokasi sedikit lagi maka ia akan berubah dari sekedar berpemikiran radikal menjadi pelaku aksi terorisme.

 

Di antara contoh kalimat provokasi yang menurutnya sangat ampuh adalah :“Lebih baik mati dalam keadaan melawan musuh daripada hidup terhina dalam kekuasaan musuh”. 

 

Narasi ini yang menurut Arif harus diwaspadai masyarakat agar tidak terjerumus. Ia pun mengungkapkan pengalamannya terjerumus dalam narasi-narasi ini yang ia harapkan diketahui masyarakat sehingga tidak mengalami seperti yang ia alami.


Terlebih saat ini menurutnya, narasi-narasi seperti ini dengan mudah dapat ditemui di media sosial yang jika tidak disadari akan mengarahkan kita kepada pemahaman yang tidak moderat dan mudah terbawa untuk menjadi simpatisan ataupun anggota kelompok teroris.