Daerah

Inilah Nilai Tawasuth dalam Peristiwa Isra’ Mi’raj

Rab, 11 Maret 2020 | 07:30 WIB

Inilah Nilai Tawasuth dalam Peristiwa Isra’ Mi’raj

Peringatan Harlah ke-97 NU dan Isra’ Mi’raj di halaman kantor PCNU Jember, Jawa Timur, Selasa (10/9) malam. (Foto: Nu Online/ Aryudi AR)

Jember, NU Online
Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW bukan sekadar persitiwa luar biasa yang menyibak keajaiban tanda-tanda kebesaran Allah. Isra' Mi'raj juga mengandung makna lain dari sisi rute perjalanan suci tersebut. Menurut Ketua PCNU Jember, Jawa Timur, KH Abdullah Syamsul Arifin, perjalanan Isra’ Mi’raj dimulai dari Masjidil Haram, (Makkah) ke Masjidil Aqsha (Palestina) lalu ke Sidratil Muntaha (langit). Rangkaian perjalanan tersebut, diawali dengan berjalan (diperjalankan) ke samping (Palestina) lalu ke atas.
 
“Itu menunjukkan keseimbangan antara hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan manusia)," jelasnya.
 
Keseimbangan, yang dalam NU disebut dengan istilah tawasuth, merupakan salah satu prinsip NU dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Menjaga hubungan baik dengan manusia, itu penting namun tidak boleh mengabaikan hubungan baik dengan Allah.
 
Menjaga hubungan baik dengan manusia lanjutnya bisa diwaujudkan dengan toleransi, sopan santun, tidak menyakiti tetangga, menjaga pergaulan, dan sebagainya. Sedangan menjaga hubungan baik dengan Allah bisa diwujudkan dengan beribadah kepada-Nya. “Kedua-duanya harus jalan, seimbang,” tegasnya.
 
Nilai-nilai keseimbangan (tawasuth) juga berkembang dan diterapkan untuk hal lain. Misalnya saat di awal-awal pembentukan negara, NU menerapkan tawasuth. Ketika itu muncul usulan agar Indonesia dijadikan sebagai negara agama dengan alasan bahwa Muslim merupakan penghuni mayoritas di negeri ini. Usulan itu bisa saja diamini namun kiai-kiai NU menolak keras usulan tersebut.
 
“Sebab realitasnya, di Indoneisa tidak hanya dihuni oleh umat Islam, tapi juga ada agama lain, ada umat lain selain Muslim,” jelasnya.
 
Kemudian muncul usulan lain, yaitu agar Indonesia dijadikan sebagai negara sekuler yakni urusan agama dan negara dipisah. Dalam pemahaman sekuler, agama tidak ada hubungannya dengan negara. Terhadap usul ini, NU juga tidak setuju. Sebab, jika urusan negara dipisah dengan urusan agama, ini sangat berbahaya. Agama seharusnya menjadi ruh dalam setiap kebijakan negara, sehingga negara tidak kering dari nilai-nilai spritual.
 
“Maka akhirnya, NU menyetujui bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” jelas Gus Aab, sapaan akrabnya.
 
Dosen IAIN Jember tersebut menambahkan, bentuk negara kesatuan adalah yang paling cocok buat bangsa Indonesia. Cocok sekali. Meskipun bukan negara agama, tapi pemeluk agama dibebaskan untuk menjalankan kewajiban agamanya secara sukarela. Sementara di sisi lain, urusan di luar agama (kenegaraan) juga berkembang sebagaimana mestinya.
 
“Prinsip tawastuh yang diterapkan oleh NU, itu merupakan kontribusi terbesar dan sangat berharga bagi keberlangsungan dan kedamaian bangsa Indonesia,” pungkasnya.
 
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Muhammad Faizin