Daerah

KH Fuad Affandi: Menjadi Kiai Boleh Kaya

NU Online  ·  Senin, 13 April 2015 | 15:00 WIB

Bandung, NU Online
Pengasuh Pesantran Entrepreneur Al-Ittifaq, Rancabali Kabupaten Bandung, KH Fuad Affandi, Sabtu 11 April 2015, melontarkan beberapa pertanyaan menggelitik terkait dengan Islam, kewirausahaan dan kehidupan kaum tani. 
<>
Dihadapan puluhan santri senior dari 34 perwakilan pengurus pesantren dari Cirebon, Indramayu dan Majalengka itu, ia mengatakan bahwa menjadi seorang kiai itu boleh kaya. "Tak apalah menjadi kiai itu kaya. Saya tidak merasa rendah diri memiliki harta," ujarnya.

Pada acara pendidikan kewirausahaan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia Perwakilan Cirebon di Aula Pesantren Al-Ittifaq itu, ulama Nahdlatul Ulama yang juga murid KH Maksum Lasem itu juga mengkritik tradisi kehidupan pesantren yang sebagian masih berpikir menjauhi duniawi.

"Saya diajari tanggungjawab menyelesaikan masalah oleh guru saya, kiai-kiai Jawa. Karena itu begitu pulang ke kampung saya harus melihat kenyataan baru membuat solusi. Masalah di sini yang utama soal pertanian, karena itu saya berpikir bukan pentingnya membawa tarekat yang kerjanya hanya berdoa semata, tetapi lebih baik tarekat giat kerja. Itulah mengapa saya mendirikan tarekat sayuriah, alias tarekat budiaya sayur-mayur," paparnya disambut tawa hadirin.

Lain daripada itu, KH Fuad juga mengajarkan pentingnya kerjasama dalam kehidupan. Menurutnya, untuk berhasil menjadi baik dan sukses tidak ada cara berjuang sendiri. Selain harus taat pada kitab Allah dan sunnah Rasulullah, orang Islam harus menyadari hukum sunnatullah.

"Sunnatullah kita majemuk. Itu tak bisa dibantah, karena itu kita hadapi kemajemukan itu. Dalam agama ada mazhab, dan mazhab ada golongan, dalam golongan masih ada sektor. Dalam negara ada bangsa-bangsa, dalam bangsa masih ada suku, dalam suku masih ada adat istiadat, semuanya sangat majemuk dan itu sunnatullah. Karena itu kita harus melintas batas dalam tiap berhubungan," terangnya.

Tampang kiai yang satu ini boleh radikal, tetapi pikirannya sangat fleksibel, moderat bahkan sangat berwawasan. Dan itu tidak hanya dalam pikiran, melainkan dalam tindakan.

"Dulu pengurus koperasi pesantren ada yang beragama Katolik, tapi sekarang sudah meninggal. Saya memasang siapa saja atas dasar penilaian kinerja, bukan status. Ada masalah dengan agama?" tanyanya.

Menurut Fuad Affandi sekarang ini banyak orang Islam yang membesar-besarkan perbedaan agama. Seolah-olah semakin kenceng keras mengucapkan kafir, orang itu semakin merasa paling Islam. Padahal menurutnya, Nabi sendiri dalam banyak urusan selalu lintas agama, lintas kesukuan, lintas etnik dan lintas golongan. (Yus Makmun/Mukafi Niam)