Daerah

Kisah Khalifah Abdurrahman III 'Selesaikan' Paceklik di Andalusia

Kam, 12 Agustus 2021 | 08:30 WIB

Kisah Khalifah Abdurrahman III 'Selesaikan' Paceklik di Andalusia

Sudah menjadi tradisi dan ibadah ketika menghadapi paceklik dan kemarau yang panjang Amirul Mukminin, sang khalifah ini, meminta kiai yang paling saleh, dianggap paling zuhud, paling wara’, untuk yaummunnāsa, memimpin umat manusia melakukan shalat istisqa.

Jakarta, NU Online
Wakil Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Muhammad Faiz Syukron Ma’mun mengisahkan bagaimana Khalifah Bani Umayyah Andalusia Abdurrahman III yang bergelar An-Nashir (w 961 M/ 350 H) dalam 'menyelesaikan' paceklik yang menimpa negerinya. Hal itu ia utarakan dalam acara Jakarta Bershalawat: Khotmil Qur’an, Shalawat Nariyah dan Doa untuk Muassis NU DKI Jakarta serta Doa untuk Kesehatan dan Keselamatan Masyarakat Jakarta, yang digelar secara daring, Rabu (11/8) malam.
 
Dalam kitab Siyar A’laam an-Nubala karangan seorang ulama besar al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dhahabi yang hidup di abad ke-8 hijriah (w 748 H), di juz 16 di halaman 170-an, ia menuliskan satu riwayat tentang hakim agung Qadhil Qudhat di Andalusia (Spanyol) yang hidup di abad ke-4 hijriah bernama al-Qadhi Mundzīr bin Said al-Ballūtī (w. 355 H.).
 
“Ini adalah faqīh, seorang yang sangat faqīh, fāshihullisān, khātib yang tiada duanya di bumi Andalusia saat Dinasti Bani Umayyah berkuasa, menguasai begitu banyak dataran Eropa,” terang Gus Faiz, sapaan akrabnya.
 
Pada satu masa di akhir masa pemerintahan an-Nashir, lanjutnya, terjadi kemarau panjang. Sudah menjadi tradisi dan ibadah ketika menghadapi paceklik dan kemarau yang panjang. Maka Amirul Mukminin, sang khalifah ini, meminta kiai yang paling saleh, dianggap paling zuhud, paling wara’, untuk yaummunnāsa, memimpin umat manusia melakukan shalat istisqa mohon diturunkannya hujan.
 
“Tentu, seperti yang sudah kita pelajari dulu di pesantren, di banyak literatur, sebelum melakukan melakukan shalat istisqa ini perlu melakukan persiapan, riyadlah bathiniyah,” ungkap mantan ketua Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Madinah itu. Ia pun melanjutkan.
 
Maka Sang Qadhi itu melakukan shalat malam yang lebih banyak dari biasanya. Beliau ruju’ kepada Allah, bertaubat atas dosa-dosa pribadinya, kemudian memperbanyak sedekah dan begitu banyak amalan yang tujuannya adalah tathhīr, menyucikan diri dulu, sehingga nanti doa-doa yang dipanjatkan itu akan didengar oleh Allah swt.
 
Pada hari yang ditentukan, selesai melewati masa-masa persiapan dalam riyadlah ini, datang hari H-nya. Maka utusan sang khalifah itu datang untuk menjemput sang kiai. “Bahasa sekarangnya mungkin, kata pengawal presiden, kata para pejabat di sana: ‘monggo, kiai, mari pimpin shalat istisqa,” kata Gus Faiz, menirukan.
 
Sebelum beliau berjalan keluar rumah, beliau bertanya kepada utusan Khalifah An-Nashir tersebut. Kata beliau, “Apa yang dilakukan Amirul Mukminin beberapa hari belakangan ini?”
 
Maka orang dekat Amirul Mukminin, pengawalnya yang hidup hampir setiap hari bersama beliau itu bercerita, bahwa Amirul Mukminin semenjak datangnya paceklik ini mengubah jalan hidupnya. Ia melepas pakaian kebesarannya, ditukarkan dengan pakaian yang sederhana. Ia memperbanyak shalatnya sebagai bagian dari ibadah individual, hubungannya dengan Allah. Kemudian dia juga memperbaiki hablun minan-naas. Tidak jarang beliau turun, blusukan mengontrol keadaan rakyatnya. Memperbesar bantuan pangan, memperbesar bantuan keuangan kepada mereka yang terdampak karena kekeringan panjang yang menimpa Bumi Andalusia di masa itu.
 
Setelah utusan pemimpin ini bercerita tantang perubahan hidup sang khalifah yang sekarang jauh lebih khusyuk, lebih menundukkan dirinya kepada Allah, maka kiai tadi, al-Qadhi Mundzir bin Saīd al-Ballūtī, saat keluar dari pintu rumahnya mengatakan kepada santri pengiringnya.
 
“Kan kiai kalau keluar itu biasanya diikuti oleh santri-santri utamanya, khadam yang berkhidmah kepada sang guru,” imbuh Gus Faiz.
 
Sang guru mengatakan, “ya ghulām, ihmilil mimtharata ma’aka (Nak, kamu nanti bawa payung),” kata gurunya.
 
“Maka terjadi shalat istisqa seperti yang kita pelajari di pesantren, di kitab kuning,” sambung alumnus Universitas Kairo, Mesir, itu.
 
Begitu selesai ritual istisqa ini hujan dengan derasnya turun membasahi bumi Andalusia. Maka sang santri sesampainya di rumah langsung memuji gurunya, “Subhanallah, guru saya ini shāhibul karāmah” (memiliki keramat).
 
“Kalau orang Jawa bilang, mungkin, ‘guru saya ini weruh sak durunge winarah.’ Belum terjadi tapi guru sudah tahu. Itu buat orang NU adalah tradisi biasa. Kayak kita datang ke rumah orang saleh, kemudian begitu pulang ditepuk-tepuk punggung kita, dikatakan ‘sabar-sabar,’ keluar rumah tahu-tahu motornya hilang. Maka kita katakan, ‘masyaallah,’ ini tahu sebelum kejadian,” jelas Gus Faiz.
 
Kata santrinya, “Subhanallah, guru. Doa guru itu mustajab luar biasa. Tadi Guru keluar rumah itu memerintahkan membawa payung, seolah-olah guru yakin bahwa istisqa kita akan diterima oleh Allah swt dan kita mendapatkan karunia berupa turunnya hujan". 
 
Apa kata Qadhi Mundzir bin Saīd al-Ballūtī?
 
“Bukan, anakku. Bukan saya yang shāhibul karāmah. Bukan saya yang weruh sak durunge winarah. Tetapi saya dulu belajar, ketika saya ngaji, guru saya itu ngomong begini: idzā khasya’a jabbārul ardli, rahima jabbārus samā’. (Jika yang perkasa di bumi menundukkan hati, maka Yang Perkasa di langit mengasihi – terjemah bebas dari penulis). Kalau sudah khasya’a, tunduk, menundukkan hati,” ungkap Gus Faiz, menirukan kata Qadhi Mundzir bin Saīd al-Ballūtī.
 
Orang yang alim menundukkan hatinya: mendengar pendapat orang lain. Apalagi yang bukan di bidangnya. Jabbār. “Seorang kiai kan juga jabbār. Saya di pesantren jabbār kepada santri saya. Kemudian pada masa pandemi saya mendengarkan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), misalnya. Saya mendengarkan ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization), misalnya. Ini ada prokes kesehatan, ini ada vaksinasi. Saya khasya’a, saya merendah. Karena apa ini? Hati saya ber-taqarrub kepada Allah untuk belajar, mengambil ilmu atas apa-apa yang saya tidak tahu,” ungkap putra KH Syukron Ma’mun yang masih berdarah Madura ini.
 
“Seorang pejabat pemerintah itu khasya’a, dia menjadi taqarrub kepada Allah SWT, dia bertaubat atas kesalahannya. Mungkin ada kezalimannya, ada ketidakadilannya, ada niatan yang tidak baik ketika ingin meraih jabatan, dia kembali kepada Allah, khasya’a jabbārul ardli,” imbuhnya.
 
Seorang pemimpin di rumah tangga, misalnya, Gus Faiz mencontohkan. Ketika dia memiliki rezeki yang luas, tetapi sopirnya, asisten rumah tangganya mungkin tidak tinggal di rumahnya, pulang – pergi datang ke rumah majikannya. Dia khawatir nanti sopir ini terpapar di jalan. Maka dia katakan kepada sopirnya, “kamu tidak perlu lagi datang ke rumah saya, tidak perlu lagi membawa mobil saya, biar saya bawa mobil saya sendiri. Tetapi kamu jangan pernah takut dan khawatir, gajimu tidak saya potong sama sekali. Alhamdulillāh, saya masih punya kelebihan harta, maka gajimu saya serahkan kepadamu sepenuhnya tanpa potongan sampai kamu mendapatkan vaksin yang lengkap, sampai mungkin badanmu sehat dan sesebagainya". 
 
“Kalau kita sebagai kepala rumah tangga itu kemudian sudah khasya’a jabbārul ardli, maka rahima jabbarus sama’. Jangan pernah khawatir. Wallāhu fiaunilabdi kānalabdu fi auni ahihi (Allah swt senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya – terjemah bebas),” pungkas putra dari murid KH Idham Chalid itu, mengakhiri cerita.
 
Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Syamsul Arifin