Daerah

Lupakan Stigma Buruk Corona, Santri Al-Falah Puger Jember Beraktivitas Normal

Sab, 20 Juni 2020 | 01:15 WIB

Lupakan Stigma Buruk Corona, Santri Al-Falah Puger Jember Beraktivitas Normal

Suasana pemeriksan rapid test santri Al-Falah Puger Jember saat kembali ke pondok. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online
Bukan meremehkan virus Corona, tapi kehidupan santri harus berjalan sebagaimana mestinya. Sebab jika tidak, santri mengalami kerugian dua kali. Pertama, rugi saat harus pulang ke rumah sebelum waktunya. Kedua, rugi karena saat di pesantren (seandainya) masih harus terkendala oleh pengaruh virus Corona.


“Maka kami memutuskan, aktivitas santri harus berjalan secara normal,” ujar Ra’isul Ma’had Al-Falah, Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger,  Kabupaten Jember, Jawa Timur, Gus Agus Tanthowi Jauhari di kediamannya, Jumat (19/6).


Memang, aktivitas santri di pesantren yang didirikan oleh KH Sholihan Arrosyadi tahun 1981 itu, berjalan normal, seolah tidak tersentuh oleh hingar-bingar virus yang mematikan tersebut. Bahkan sejak santri kembali pekan lalu yang diikuti dengan rapid test, Selasa (16/6), mereka langsung mengikuti kegiatan pengajian dan madrasah diniah dengan jadwal yang cukup padat. Sedangkan untuk sekolah formal, masih menuggu informasi dari pemerintah.


“Tapi untuk diniah dan pengajian kitab kuning, langsung kami laksanakan,” tambah Gus Towi, sapaan akrabnya.


Gus Towi mengaku selalu memberikan pemahaman kepada santri bahwa Corona itu bukan ‘makhluk’ yang luar biasa. Ia adalah makhluk biasa, ciptaan Allah juga. Karena ciptaan Allah, maka berdoa kepada Allah agar ciptaan-Nya itu segera dicabut dari Indonesia adalah suatu keniscayaan.


“Saya ingin santri itu tenang dalam belajar. Pikirannya tidak ke mana-mana, fokus kepada pelajaran, dan tidak terganggu oleh isu Corona,” tambahnya.


Gus Towi menambahkan bahwa pemberitaan terkait Corona selama ini begitu dahsyat, menakutkan lebih dari pada hantu. Betapa tidak, sejak seseorang dinyatakan positif terjangkit Corona, dia sudah diisolasi begitu rupa, harus dijauhkan betul dari sanak keluarga, dan sebagainya. Bahkan mati sekalipun, terkadang masih dianggap berbahaya, sehingga sampai terjadi seorang positif Corona yang sudah meninggal dunia,  terpaksa kuburannya digali, dan mayatnya dipindah oleh warga agar virus di mayat itu tidak menyemburkan hawa penularan.


”Itu stigma yang luar biasa terhadap penderita Corona, dan itu juga berpengaruh pada masyarakat dalam menyikapi Corona. Saya tidak ingin santri saya seperti itu pemahamannya terhadap Corona,” jelasnya.


Walaupun santri Al-Falah diarahkan untuk tidak takut pada virus Corona, namun mereka diharuskan  mematuhi protokol kesehatan dalam beraktivitas sehari-hari. Baliho berukuran besar yang berisi imbauan mematuhi protokol kesehatan terpampang di pintu masuk pesantren. Tempat cuci dan sabunnya juga teronggok di sudut-sudut kompleks pesantren. Bahkan Al-Falah mempunyai item tambahan dalam daftar isi protokol kesehatan. Yaitu selalu pakai masker, selalu cuci tangan, jaga jarak, makan sehat, dan di pondok saja.


“Khusus untuk santri saya tambah ‘di pondok saja’. Maksudnya meskipun ada di lingkungan pesantren, tapi  kalau tidak mendesak, santri tidak boleh keluar bilik,” pungkasnya.


Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi