Daerah

Makna di Balik Para Kiai Tutup Ngaji dengan 'Wallahu A'lam bis Shawab'

Kam, 6 Mei 2021 | 07:30 WIB

Makna di Balik Para Kiai Tutup Ngaji dengan 'Wallahu A'lam bis Shawab'

Kalimat ini menunjukkan bahwa walaupun para kiai memiliki pemahaman yang luas dan mendalam namun mereka memiliki keluhuran hati untuk menghargai pendapat orang lain atau sering disebut toleransi.

Bandarlampung, NU Online
Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung Prof. Alamsyah mengatakan bahwa para kiai di pondok pesantren telah mengajarkan sekaligus memberi contoh nyata pada kita bagaimana bersikap toleran dan moderat. Hal ini ditunjukkan mereka dengan menutup setiap pengajian yang disampaikannya di pesantren melalui kalimat “Wallahu a’lam bis shawab” (Allah yang paling tahu terhadap semua masalah).


Kalimat ini menunjukkan bahwa walaupun para kiai memiliki pemahaman yang luas dan mendalam namun mereka memiliki keluhuran hati untuk menghargai pendapat orang lain atau sering disebut toleransi. Padahal merekalah sebenarnya sumber yang otoritatif bagi umat dalam belajar ilmu agama.


“Inilah yang mengajarkan kepada kita untuk bersikap toleran. Dan ketika toleran itu dinaikkan maka akan menjadi sikap yang moderat. Sehingga bisa menerima perbedaan dan bisa bersikap di tengah-tengah,” ungkapnya pada Kajian Virtual Moderasi Beragama dalam Dimensi Pondok Pesantren yang digelar oleh UIN Raden Intan Lampung, Kamis (6/5).


Jadi menurutnya, moderasi pada dasarnya bukan hanya sebagai alat atau media untuk menyatukan perbedaan. Namun lebih dari itu, moderasi dalam beragama adalah prinsip dan ruh ajaran Islam. Karena substansi dari Al-Qur’an adalah sikap tengah dan tidak berlebih-lebihan. Dalam Al-Qur'an pun ditegaskan bahwa berlebih-lebihan merupakan sikap yang tidak disukai oleh Allah SWT.


Selain sikap toleran dan moderat yang telah dicontohkan para ulama, Nabi Muhammad SAW juga memberikan contoh nyata dalam bersikap moderat kepada para sahabatnya. Hal ini tercermin dari kisah tiga sahabat yang tidak lagi mau tidur malam, tidak mau makan enak, dan tidak lagi mau menikah dan berhubungan suami-istri. Hal ini dilakukan agar mereka bisa beribadah dengan tekun seperti Rasulullah.


Melihat hal ini Nabi pun mengingatkan para sahabat tersebut untuk tidak lagi melakukan hal itu. Pasalnya, walaupun ia seorang Nabi, namun ia tidak meninggalkan hal-hal tersebut. Nabi tetap beribadah dan juga tetap menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Inilah luhurnya agama Islam yang menjunjung tinggi sikap di tengah-tengah dan tidak ekstrem.

 

Ia pun juga mengingatkan bahwa prinsip Islam di manapun sama, namun pada implementasinya bisa mengalami perbedaan-perbedaan seperti terkait dengan budaya yang dimiliki suku dan bangsa. Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman suku, budaya, dan bahasa tentu tidak bisa disamakan dengan bangsa Arab.

 

Senada dengan Prof. Alamsyah, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI H Waryono Abdul Ghafur juga mengatakan bahwa Indonesia diciptakan dari awal sudah beragam. Para ulama terdahulu tidak menjadikan budaya dan tradisi yang sudah berbeda ini menjadi seragam.

 

“Karena pluralitas ini adalah bagian dari anugerah Tuhan. Anugerah Allah SWT,” jelasnya.

 

Para ulama mengedepankan prinsip toleran dan moderat dalam memasukkan nilai-nilai Islam di tengah kebhinekaan yang ada di Nusantara. Inilah yang menurutnya menjadi khazanah yang dipelihara oleh komunitas pesantren dalam menghadapi keragaman.

 

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan