Daerah

Menafsirkan Ayat dan Hadits Butuh Ilmu, Tak Sembarangan

Ahad, 15 Desember 2019 | 09:30 WIB

Menafsirkan Ayat dan Hadits Butuh Ilmu, Tak Sembarangan

Ketua PCNU Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin, saat memberikan tausiyah dalam Gumukbago Bershalawat dalam Rangka Maulid Nabi Muhammad SAW di Jember. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online

Penafsiran terhadap satu Hadits atau ayat Al-Qur’an tidak boleh hanya dengan memaknai secara harfiah an sich, namun perlu mempertimbangkan konteks turunnya ayat tersebut atau asal mula muculnya Hadits dimaksud. Sebab, jika memaknai satu ayat atau Hadits dengan telanjang (tanpa bantuan ilmu lain), maka yang sering terjadi adalah penerapannya di masyarakat sangat kaku.

 

Pemaknaan ayat dengan semata-mata berdasarkan teks, biasanya terjadi pada orang yang tanggung dalam belajar agama. Begitu ia mendapati ayat (terjemahan), lalu kemudian kenyataan di masyarakat dinilai tidak sesuai dengan isi ayat atau Hadits itu, maka masyarakat dianggap tidak patuh pada Al-Qur’an dan Hadits, dituding bid’ah, bahkan kafir dan sebagainya.

 

“Contoh yang sudah sering terjadi adalah terkait dengan ayat seruan jihad. Jika tidak dibantu dengan pengetahuan ilmu tafsir dan ilmu yang terkait lainnya, maka jihad itu diartikan seruan untuk berperang secara fisik. Ini yang bahaya kalau diterapkan sekarang,” ungkap Ketua PCNU Jember, Jawa Timur. KH Abdullah Syamsul Arifin, saat memberikan tausiyah dalam Gumukbago Bershalawat dalam Rangka Maulid Nabi Muhammad SAW di Kelurahan Kranjingan, Kecamatan Sumbersari, Jember Jawa Timur, Sabtu (14/12) malam.

 

Menurut Gus Aab, sapaan akrabnya, tidak sedikit orang yang memaknai ayat Al-Qur’an dan Hadist dengan mengabaikan konteks turunnya waktu itu. Akibatnya, penerapannya kerap terjadi benturan dengan kebiasaan masyarakat. Dikatakannya, jika terjadi benturan, yang salah bukan kebiasaan masyarakat, apalagi ayat dan Haditsnya, namun yang menafsirkan.

 

“Sebab yang menafsirkan kurang paham ilmunya,” tambahnya.

 

Dosen IAIN Jember itu mencontohkan Hadits Nabi Muhammad soal perintah azan agar dilakukan di tempat yang tinggi. Dulu, katanya, tidak ada pengeras suara sehingga agar panggilan shalat itu terdengar nyaring oleh masyarakat, maka azan perlu dilakukan di tempat yang tinggi.

 

“Sekarang, sudah ada pengeras suara. Jadi yang tinggi adalah speakernya, sementara yang azan tetap di bawah. Apakah itu salah, tidak!” jelasnya.

 

Gus Aab berharap agar soal hukum agama yang terkait dengan furu’iyah dan ‘adah (kebiasaan) Nabi Muhammad SAW tak perlu diperdebatkan. Soal ‘adah, misalnya cara dan posisi Nabi saat makan, tentu tidak sama penerapannya di satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung kebiasaan daerah setempat.

 

“Artinya, seseorang tidak berhak menyalahkan orang lain hanya karena ia telah merasa paling sesuai dengan ‘adah Nabi Muhammad SAW, sebab ‘adah sangat tergantung dengan kearifan lokal,” pungkasnya.

 

Pewarta: Aryudi AR

Editor: Ibnu Nawawi