Daerah

Mengenal Festival Tabuik, Tradisi Masyarakat Pariaman Sambut Tahun Baru Islam

Rab, 19 Juli 2023 | 08:30 WIB

Mengenal Festival Tabuik, Tradisi Masyarakat Pariaman Sambut Tahun Baru Islam

Masyarakat Pariaman, Sumatra Barat menyambut Tahun Baru Islam melalui gelaran upacara yang dikenal dengan sebutan Tabuik atau Tabut. (Foto: sumbarprov.go.id)

Jakarta, NU Online

Tahun baru Islam atau 1 Muharram menjadi hal yang istimewa. Tak heran kalau masyarakat di beberapa daerah merayakannya dengan suka cita melalui tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun. Salah satunya di Provinsi Sumatera Barat.


Masyarakat Pariaman, Sumatra Barat menyambut Tahun Baru Islam melalui gelaran upacara yang dikenal dengan sebutan Tabuik atau Tabut. Tradisi ini memperingati hari Asyura pada 10 Muharram. Upacara ini dilakukan untuk mengenang gugurnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad saw.


Ada tujuh tahap rangkaian ritual Tabuik di Pariaman ini. Dimulai dengan mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek hingga hoyak tabuik dan membuang tabuik ke laut.


Pada hari puncak tabuik, dilakukan ritual Tradisi Tabuik naik pangkek yang kemudian dilanjutkan dengan hoyak tabuik. Hoyak Tabuik inilah yang merupakan upacara peringatan kematian Hasan dalam pertempuran di Bukit Karbala.

 

Dilansir dari Jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id, Tradisi Tabuik diambil dari bahasa arab ‘tabut’ yang bermakna peti kayu. Nama tersebut mengacu pada legenda tentang kemunculan makhluk berwujud kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut buraq.


Cerita legenda tersebut mengisahkan bahwa setelah wafatnya sang cucu Nabi, Husein bin Ali, kotak kayu berisi potongan jenazah Husein diterbangkan ke langit oleh buraq. Berdasarkan legenda inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan dari buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya.


Menurut kisah yang berkembang di masyarakat secara turun temurun, Tradisi Tabuik ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi.

 

Tradisi Tabuik pada masa itu masih kental dengan pengaruh dari timur tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India penganut Syiah. Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan Tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga berkembang menjadi seperti yang ada saat ini.


Tradisi Tabuik terdiri dari dua macam, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya berasal dari dua wilayah berbeda di Kota Pariaman. Tabuik Pasa (pasar) merupakan wilayah yang berada di sisi selatan dari sungai yang membelah kota tersebut hingga ke tepian Pantai Gandoriah.


Wilayah Pasa dianggap sebagai daerah awal mula Tradisi Tabuik. Adapun tabuik subarang berasal dari daerah subarang (seberang), yaitu wilayah di sisi utara dari sungai atau daerah yang disebut sebagai Kampung Jawa.


Sejak 1982, perayaan tabuik dijadikan bagian dari kalender pariwisata Kabupaten Padang Pariaman. Karena itu terjadi berbagai penyesuaian salah satunya dalam hal waktu pelaksanaan acara puncak dari rangkaian ritual tabuik ini.

 

Jadi, meskipun prosesi ritual awal tabuik tetap dimulai pada tanggal 1 Muharram, saat perayaan tahun baru Islam, tetapi pelaksanaan acara puncak dari tahun ke tahun berubah-ubah, tidak lagi harus pada tanggal 10 Muharram.


Rangkaian Tradisi Tabuik di Pariaman terdiri dari tujuh tahapan ritual tabuik, yaitu mengambil tanah, menebang batang pisang, mataam, mengarak jari-jari, mengarak sorban, tabuik naik pangkek, hoyak tabuik, dan membuang tabuik ke laut.


Prosesi mengambil tanah dilaksanakan pada 1 Muharram. Menebang batang pisang dilaksanakan pada hari ke-5 Muharram. Mataam pada hari ke-7, dilanjutkan dengan mangarak jari-jari pada malam harinya. Pada keesokan harinya dilangsungkan ritual mangarak saroban.


Setiap tahunnya puncak gelaran Tradisi Tabuik selalu disaksikan puluhan ribu pengunjung yang datang dari berbagai pelosok Sumatera Barat. Tidak hanya masyarakat lokal saja, tradisi ini pun mendapat perhatian dari banyak turis asing yang membuatnya menjadi perhelatan besar yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya.


Pantai Gandoriah yang menjadi titik pusat perhatian seakan menjadi lautan manusia, khususnya menjelang prosesi tabuik diarak menuju pantai.