Daerah

Menjaga dan Merawat Tradisi adalah Kemaslahatan

Sab, 5 Oktober 2019 | 15:30 WIB

Menjaga dan Merawat Tradisi adalah Kemaslahatan

Tim Aswaja NU Center Jawa Timur, Ustadz Yusuf Suharto (kanan) memberikan buku Aswaja kepada jajaran kepolisian di Magetan. (Foto: NU Online/ Syamsul Arifin)

Magetan, NU Online
Tradisi-tradisi yang berjalan di tengah masyarakat tentu ada yang baik, dan atau sebaliknya. Beragam tradisi yang memberi dampak positif, baik terhadap pribadi seseorang maupun kepada masyarakat secara kolektif hendaklah dijaga, bahkan harus terus dirawat agar tidak 'punah' meski zaman terus berkembang.
 
Demikian ini disampaikan salah seorang tim Aswaja NU Center, Jawa Timur, Ustadz Yusuf Suharto saat menjadi pembicara kegiatan Sarasehan Islam Nusantara di Aula Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Acara digelar oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ansor dan Fatayat Barat, Sabtu (5/10).
 
"Menjaga dan merawat tradisi itu adalah sebuah kemaslahatan," ucapnya.
 
Bahkan Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, lanjut dia, ketika memahami hadits 'wa khaliqin nasa bikhuluqin hasanin' (dan pergauilah manusia dengan akhlak yang bagus) menyatakan, bahwa arti pada kalimat itu adalah menyesuaikan dengan masyarakat dalam hal yang bukan maksiat.
 
Penjelasan ini menurutnya sangat sesuai dengan sikap seseorang tatkala melihat tradisi yang berkembang di masyarakat. Tidak boleh kemudian semua yang baru itu dianggap salah dan melarang orang lain mengikutinya.
 
Justru yang baik adalah bersikap lentur. Sepanjang tradisi itu tidak terdapat nilai-nilai kemaksiatan, sesama anak bangsa harus menghormati dan menjaganya. 
 
Jangankan hanya tradisi, kata dia, sesuatu yang sudah jelas memiliki hukum seperti qunut, meski hal itu terdapat perbedaan pendapat, ulama terdahulu yang menentukan hukum qunut itu tidak saling menyalahkan, malah sebaliknya. Mereka saling menghargai.
 
"Kalau dalam suatu masyarakat itu biasanya berqunut ketika shubuh, maka yang jadi imam adalah imam yang berqunut. Kita hormati kebiasaan di suatu masyarakat itu. Imam Syafi'i ketika berkunjung ke makam Abi Hanifah itu ketika shubuh tidak berqunut karena menghormati pendapat Imam Abu Hanifah yang tidak berqunut," jelasnya.
 
Perangai ulama mujtahid tersebut memberikan pelajaran tersendiri bagi manusia yang hidup di zaman milenial seperti sekarang ini yang memiliki dampak serba baru. Demikian ini tentu akan melahirkan tradisi-tradisi baru pula. 
 
Kemudian cara menyikapi situasi ini seseorang dituntut untuk tidak gampang mengklaim salah atau benar. Sejauh itu tidak memiliki nilai negatif, maka ikut berbaur dan menjaganya adalah sikap yang tepat. 
 
"Inilah pentingnya tradisi, dan bahkan dikatakan oleh ulama Mazhab Hambali, bahwa meninggalkan tradisi masyarakat adalah makruh," pungkasnya.

Pewarta: Syamsul Arifin
Editor: Muhammad Faizin