Nasional

Islam Menghargai Budaya, Karenanya Tidak Menolak Lokalitas

Sab, 28 September 2019 | 07:00 WIB

Islam Menghargai Budaya, Karenanya Tidak Menolak Lokalitas

Nadirsyah Hosen menyampaikan materi di hadapan peserta Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Islam Nusantara. Kegiatan diselenggarakan di Universitas Yudharta, Pasuruan, Jatim. (Foto: NU Online/A Hanan)

Pasuruan, NU Online
Nadirsyah Hosen, Rais Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Australia-New Zealand (ANZ) menegaskan bahwa Islam sangat menghargai budaya lokal. Karenanya, banyak kekhasan yang dimiliki sejumlah daerah yang kian memperkaya khazanah Islam itu sendiri.
 
Penegasan disampaikannya saat mengisi kegiatan Lokakarya Internasional dan Pelatihan Metodologi Islam Nusantara yang berlangsung Rabu hingga Jumat (25-27/9) di Universitas Yudharta Pasuruan, Jawa Timur.
 
“Para ulama dulu sudah membahas tentang lokalitas pendapat. Misalnya, kita tahu dengan tafsir al-Qurthubi. Al-Qurthubi itu sebetulnya nama dari kota dari Cordoba di Spanyol. Karena beliau itu tinggalnya di kota Cordoba, maka diarabkan menjadi Qurthubi,” katanya.
 
“Jadi tafsir Al-Qurthubi itu sebetulnya tafsir Cordoba. Jadi nama beliau itu di belakangnya ditulis nama daerahnya,” imbuhnya.
 
Gus Nadir, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa salah satu kebiasaan ulama klasik adalah mengasosiasikan diri mereka dengan daerah asal atau tinggalnya. 
 
“Jadi, hal biasa kalau para ulama klasik itu mengasosiasikan diri dengan daerahnya tinggal,” bebernya.
 
Ia kemudian memberikan contoh ulama-ulama Indonesia yang turut mengasosiasikan dengan daerah asalnya. Seperti apa yang dilakukan oleh Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Nawawi al-Bantani, dan masih banyak lagi.
 
“Kota-kota yang tadi saya sebutkan di belakang para ulama tadi kalau digabung itu namanya apa? Ya Nusantara. Sebetulnya namanya ya nusantara kalau digabung,” ungkapnya.
 
Dosen di Monash University Australia ini melanjutkan dengan memberikan contoh apa yang ada di fiqih klasik. Menurutnya, para ulama dalam kitab fiqih klasik biasanya mengasosiakan diri mereka mulai dari mazhab, teologi, hingga daerah.
 
“Baca saja kitab-kitab klasik, nanti akan disebut namanya, kemudian mazhabnya, kemudian teologinya, baru kemudian disebut daerahnya. Jadi itu hal biasa, mengasosiasikan sebuah pemikiran dengan lokalitas,” urainya.
 
“Kenapa ini semua terjadi? Karena memang sejak awal masalah lokalitas atau adat setempat itu diperhitungkan dalam Islam,” tegasnya.
 
Selain itu, dirinya juga menyikapi banyaknya penceramah yang kerap membahas masa-masa jahiliyah sehingga muncul pandangan bahwa apa saja yang berasal dari masa jahiliyah itu adalah hal yang jelek. Hal ini tidak bisa dibenarkan jika mau menilik pada tarikh tasyri’.
 
“Tidak semua hukum-hukum maupun tradisi jahiliyah itu dihapuskan oleh Nabi Muhammad. Tradisi yang baik diterima, bahkan diadopsi. Jadi saya ingin mengatakan bahwa sejak awal Nabi Muhammad hadir itu tidak anti terhadap lokalitas,” urainya.
 
Selain itu, saat ini masih banyak orang yang menganggap harus mengikuti contoh dari Nabi dan para sahabat di Madinah dan tidak boleh dari yang lainnya. 
 
Gus Nadir menyatakan bahwa hal semacam ini sudah pernah dibahas oleh para ulama terdahulu, sebab perbedaan lokasi dan tempat tinggal turut menentukan perbedaan istinbath hukum.
 
“Jadi kalau sekarang ulama NU punya tradisi bahtsul masail yang kemudian mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan yang lain karena mempertimbangkan lokalitas, ya tidak perlu heboh karena para ulama terdahulu sudah berdebat karena hal itu,” katanya di hadapan ratusan peserta.
 
Begitu pula tradisi yang ada di suatu daerah. Imam Syafi’i pun menggunakan budaya atau urf untuk menentukan hukum dari suatu permasalahan yang ada.
 
“Al-adah muhakkamah. Yang berarti semua adat istiadat bukan hanya diterima, tapi juga bisa menjadi sumber hukum,” tandasnya.
 
 
Pewarta: Ahmad Hanan
Editor: Ibnu Nawawi