Daerah

NU adalah Badan, Amaliah Aswaja Jadi Ruhnya

Sab, 19 Desember 2020 | 07:21 WIB

NU adalah Badan, Amaliah Aswaja Jadi Ruhnya

NU secara organisasi adalah badan. Sedangkan kultur dalam hal ini amaliah Aswaja merupakan jiwanya. (Foto: Istimewa)

Lampung Tengah, NU Online
Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Lampung Gus Syaikhul Ulum Syuhada menjelaskan bahwa Jamiyyah Nahdlatul Ulama didirikan oleh para ulama untuk mewadahi amaliah Ahlussunah wal jamaah di Indonesia.


Pengasuh Pondok Pesantren Wali Songo Lampung Tengah ini mengibaratkan NU secara organisasi adalah badan. Sedangkan kultur dalam hal ini amaliah Aswaja merupakan jiwanya.


“Ber-NU tanpa diikuti amaliah seperti yasinan, manaqib, maulid, dan lain-lain bagaikan badan tanpa jiwa, maka akan kosong. Sebaliknya hanya amaliah saja tanpa ada NU bagaikan jiwa tanpa badan, tidak akan kuat dan gampang goyah," jelasnya.


Hal ini dijelaskannya pada Lailatul Ijitima' pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Punggur, Lampung Tengah di Masjid Nahdlatul Ukhwah Dusun V Morodadi, Kampung Nunggalrejo, Selasa (15/12).


Hal ini senada dengan penjelasan Sekretaris Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (LBMNU) Provinsi Lampung Agus Mahfudz terkait dengan ciri-ciri warga NU. Menurutnya ada empat ciri utama yang sudah diwariskan turun temurun oleh para pendiri Nahdlatul Ulama.


Pertama adalah terkait Amaliah (cara beribadah) di mana Nahdlatul Ulama merupakan organisasi Islam yang mengusung ideologi Aswaja serta menjaga kemurnian islam dengan berpegang pada Al-Qur'an, sunah Nabi, dan para sahabat dengan sanad keilmuan yang jelas.


“Dalam persoalan fiqih bermadzhab pada salah satu madzhab empat, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Dalam beraqidah sesuai dengan aqidah Islam yang diajarkan Rasulullah yang sudah dikemas rapih dalam manhaj Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam bertasawuf mengikuti pendapat-pendapat yang sudah dirumuskan oleh Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali,” jelasnya.


Kedua adalah terkait Fikrah (pemikiran) di mana cara pandang atau berfikir, Nahdlatul Ulama senantiasa mengusung nilai-nilai yang berhaluan pada konsep tasammuh (toleran), tawassuth (moderat), tawazzun (seimbang) dan ‘adalah (adil). Artinya, NU tidak condong pada pemikiran-pemikiran liberal ataupun pemikiran-pemikiran radikal.


“Jadi seharusnya orang NU itu bukanlah orang yang kagetan dengan mendengar beraneka ragam pendapat dan pemikiran. Karena orang NU adalah orang yang bijak dalam merespon segala bentuk pendapat dan pemikiran. Yang butuh ditindak sekarang ya ditindak sekarang. Yang hanya berupa bualan-bualan panggung ya tidak usah diterima agar bualan-bualan itu kembali lagi kepada pembualnya itu sendiri,” tegasnya.


Ketiga adalah Harakah (gerakan) di mana menjadi NU harus bergerak sesuai dengan cara yang sejalan dan selaras dengan organisasi NU. Siapapun bisa bergerak untuk NU. Bisa berjuang bersama struktural maupun hanya sebagai kultural.


“Maka tidak dibenarkan jika ada orang mengaku NU namun malah masuk dalam gerakan atau organisasi yang justru bertentangan dengan gerakan NU. Terlebih masuk dalam gerakan yang ingin menghancurkan NU. Maka orang yang demikian itu adalah penghianat besar. Na'udzubillahi min zdalik,” ungkap salah satu Pengasuh Pesantren Al-HIdayat Pesawaran, Lampung ini.


Keempat adalah Ghirah (semangat) yakni semangat juang yang menggelora dalam berkhidmat kepada NU.


“NU adalah rumah besar para kiai, ulama, habaib, santri dan hampir seluruh masyarakat muslim di Indonesia. Berkhidmat kepada NU berarti berkhidmat kepada kiai, ulama dan habaib. Karena mereka adalah pendiri Nahdlatul Ulama,” pungkasnya.


Kontributor: Akhmad Syarief Kurniawan
Editor: Muhammad Faizin