Daerah

Pancasila Jadi Titik Temu, UUD 45 Jadi Tatanan Kehidupan Berbangsa

Sab, 25 Januari 2020 | 12:30 WIB

Pancasila Jadi Titik Temu, UUD 45 Jadi Tatanan Kehidupan Berbangsa

KH Khairuddin Tahmid menerima cinderamata yang diserahkan oleh Bupati Pringsewu KH Sujadi. (Foto: NU Online/Angga)

Pringsewu, NU Online
Indonesia adalah negara yang terbentuk atas dasar kesepakatan dari seluruh golongan yang ikut berjuang memerdekakan bangsa. Indonesia bukan negara golongan tertentu, sehingga Indonesia dalam perspektif hukum bukanlah negara Islam. Indonesia bukan pula negara kufur tapi negara kesepakatan. 
 
Menurut Rais Syuriyah PWNU Lampung KH Khairuddin Tahmid, negara dalam perspektif Islam adalah negara kesepakatan (Darus Sulh), atau Darul Ahdi, negara kesepakatan. Bukan negara Islam (Darul Islam), bukan pula negara kufur. Adapun dasar negara itu adalah Pancasila sebagai titik temu dan UUD 1945 sebagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
 
"Kedua hal ini (Pancasila dan UUD 45) kita sebut sebagai ittifaqan akhawiyah, kesepakatan saudara sebangsa dan setanah air," katanya saat menjadi pembicara pada Akademi Dai Wasathiyah angkatan ke-1 yang diselenggarakan oleh MUI Kabupaten Pringsewu di Aula Kantor NU Pringsewu, Sabtu (25/1).
 
Bagi sebagian besar ulama dan umat Islam Indonesia lanjutnya, negara dengan dasar Pancasila adalah pilihan yang sudah final dan sama sekali tidak bertentangan dengan akidah maupun syartiat Islam. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengatakan wajib hukumnya mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila sebagai mitsaqon gholigho (kesepakatan luhur).
 
"Dalam konteks berbangsa dan bernegara, setelah proklamasi 1945 Islam memandang posisi umat beragma sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan, sehingga harus berdampingan secara damai dengan prinsip perjanjian kebangsaan (mu’ahadah) atau (muwatsaqah), bukan posisi muqatalah (saling membunuh) atau muharab (saling berperang)," terangnya.
 
Tujuan didirikannya negara menurut Islam jelas Dekan Fakultas Syariah UIN Radrn Intan Lampung ini adalah untuk meletakkan prinsip-prinsip yang jelas dan kuat untuk pemencaran kekuasaan negara yang terdiri dari keadilan sebagai tujuan, musyawarah sebagai metodenya. 
 
"Dengan kata lain, tujuan didirikannya negara dalam Islam berbanding lurus dengan tujuan syariah, yaitu untuk mewujudkan kulliyat al-khamsahkhamsah (lima prinsip umum), yakni (1) Hifdzu din (melindungi agama), (2). Hifdzu nafs (melindungi jiwa), (3). Hifdzu aql (melindungi pikiran), (4). Hifdzu mal (melindungi harta), (5). Hifdzu nasab (melindungi keturunan)," jelasnya.
 
Cinta Tanah Air Perspektif Islam
Tanah air dapat dipahami sebagai al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Tanah air bukan sekadar tempat kelahiran, tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. 
 
"Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman. Pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya, sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela," jelas Kiai Khairuddin.
 
Nabi pun pernah menyatakan dalam hadits: "Wahai Makkah, sungguh engkau adalah bumi yang terbaik bagi Allah dan dicintai oleh Allah. Kalau saja aku tidak dikeluarkan darimu, maka aku tak kan meninggalkanmu. Hal serupa juga ia lakukan pada Madinah, tempat ia berhijrah dengan ucapan: "Ya Allah, cintakanlah Madinah kepadaku, buat aku mencintai Madinah sebagaimana aku mencintai Mekkah atau lebih tinggi lagi. 
 
"Inilah pelajaran dari Nabi Muhammad agar mencintai tanah air, agama dan cinta terhadap tanah air (sikap nasionalisme) bisa saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara," terangnya pada acara bertemakan Moderat dalam Beragama, Maslahat dalam Berbangsa.
 
Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air memerlukan siraman-siraman nilai-nilai agama agar tidak tandus dan kering.
 
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Syamsul Arifin