Daerah

Rais NU Pidie Jaya: Tradisi Meugang Kekuatan Merajut Ukhuwah 

Sel, 3 Mei 2022 | 11:15 WIB

Rais NU Pidie Jaya: Tradisi Meugang Kekuatan Merajut Ukhuwah 

Ilustrasi: Masyarakat membeli daging untuk menyiapkan tradisi meugang di Aceh. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Pidie Jaya, NU Online
Tradisi meugang di beberapa daerah dilakukan menjelang Ramadhan atau Lebaran dengan variasinya berbeda-beda menyesuakan kearifan lokal setempat. Dalam tradisi meugang ada acara makan secara bersama-sama beraneka macam masakan dari olehan daging yang telah dimasak. Secara umum, aktivitas dalam perayaan meugang ini memiliki dimensi sosial kegamaan dan ukhuwah.


Demikian diungkapkan Tgk. Rusydi Muhammad Rais Syuriyah PCNU Pidie Jaya, Provinsi Aceh menyampaikan hal itu kepada NU Online, Ahad (1/5/2022).


Tokoh masyarakat dan agama negeri Japakeh itu mengatakan di berbagai  wilayah, masakan dari olahan daging ini dapat berbeda sesuai karakteristik  wilayah tersebut. Misalnya di Pidie, Bireuen, Aceh Utara dan beberapa daerah lain masyarakatnya suka memasak kari atau sop daging. 


"Masyarakat di Aceh Besar, pada hari meugang sangat senang  memasak  daging asam keueungdan sie reuboh atau daging yang dimasak  dengan dicampur asam cuka," paparnya.


Tgk. Rusydi yang akrab disapa Abi Rusydi itu menyebutkan selain daging, juga ada makanan pendamping yang disediakan khusus pada hari meugang, seperti tape, lemang, dan timphan (kue khas Aceh yang terbuat dari tepung dan dibungkus dengan daun pisang muda).


Abi menambahkan tradisi meugang merupakan warisan leluhur (endatu) yang telah berlangsung lama. Tradisi meugang memiliki beberapa dimensi nilai-nilai ajaran Islam dan adat istiadat dalam masyarakat Aceh. 


"Hari meugang merupakan identik dengan hari bersedekah dan berbagi. Momentum meugang terlebih adanya saweu gampong (mudik) kala jelang hari meugang, tentunya ada  nilai religiusnya tersendiri. Meugang pada hari raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan," ulasnya.


Saat mudik itu menurut Abi Rusydi di hari meugang tentunya menjadi satu momen berharga bagi petinggi istana, para dermawan dan orang kaya untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin.  


Tradisi meugang menjadi nilai kebersamaan. menjadi hal yang penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahim di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan. Begitu menyatunya masyarakat Aceh di kala menyambut bulan suci Ramadhan. 


"Mereka yang mencari nafkah di negeri orang akan segera pulang kampung untuk berkumpul bersama keluarga pada uroe meugang, dan menghormati kedua orang tua dan teungku (ulama)," lanjutnya.


Abi mengatakan tradisi meugang juga menjadi ajang bagi anak-anak untuk menghormati kedua orang tuanya, para menantu menghormati mertuanya, dan para santri pun biasanya akan mendatangi rumah para teungku atau guru ngaji dengan mengantarkan masakan dari daging meugang.


Ini, katanya, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka karena telah mengajarkan ilmu agama, membina dan mendidik mereka dengan tulus ikhlas.


Pimpinan Dayah Irsyadul Ulum Al-Aziziyah Meurah Dua itu melihat di balik perayaan meugang pada masyarakat  Aceh, dapat diketahui bahwa meugang sangat berkaitan dengan ajaran dalam Islam. Nilai-nilai ajaran Islam  melekat pada perayaan meugang.  


"Jika ditinjau dari segi budaya, tradisi meugang adalah satu tradisi yang tidak berkaitan dengan ajaran agama Islam. Tapi jika dihubungkan dengan konteks dan latar belakang perayaan meugang ini, tradisi ini dapat dinyatakan merupakan pengamalan ajaran agama Islam, seperti  mempererat hubungan kekeluargaan serta saling membantu dan mengokohkan  silaturahmi," ungkap alumni MUDI Samalanga itu.


Hal ini menurut Abi Rusydi dilatarbelakangi oleh syariat Islam merupakan living of live bagi masyarakat Aceh yang diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari serta pada adat istiadat.


"Tradisi meugang merupakan pengamalan nilai-nilai dalam ajaran Islam di kehidupan sehari-hari. Karenanya tradisi ini adalah suatu  bagian dari tafsir agama yang  diimplementasikan dalam  bentuk  budaya atau tradisi," sambungnya.


Abi Rusydi mengajak kita untuk melestarikan kearifan lokal yang dianggap baik dan bernilai ibadah termasuk tradisi meugang dan sejenisnya.


Kontributor: Helmi Abu Bakar
Editor: Kendi Setiawan