Daerah

Rektor IAIN Pontianak: Komunisme dan Radikalisme Ancaman Bangsa

Rab, 23 Oktober 2019 | 12:15 WIB

Rektor IAIN Pontianak: Komunisme dan Radikalisme Ancaman Bangsa

Rektor IAIN Pontianak, Kalimantan Barat, Syarif saat mengisi wawasan pada peringatan Hari Santri di Ketapang. (Foto: NU Online/Syafi’ie Huddin)

Ketapang, NU Online
Menurut Syarif, Rektor IAIN Pontianak, Kalimantan Barat, bahwa Indonesia menghadapi dua ancaman, yakni komunisme dan radikalisme. Karenanya semua kalangan hendaknya ekstra waspada atas ancaman berbahaya tersebut. 
 
Penegasan ini disampaikan saat menyampaikan ceramah pada Pengajian akbar dalam rangka memeriahkan Hari Santri di halaman Mapolres Ketapang, Kalimantan Barat, Senin (21/10).
 
“Malah kadang radikalisme itu menurut saya yang lebih mengkhawatirkan. Sebab, kalau komunis akan berhadap-hadapan dengan agama, sementara radikalisme justru mereka menggunakan istilah atau termenologi agama, misalnya kata jihad diganti menjadi hijrah.” kata putra asal Ketapang tersebut.
 
Menurut Sekretaris Pengurus Cabang Nahdaltul Ulama (PCNU) Kota Pontianak ini, ada empat indikasi radikalisme di Indonesia. Pertama, anti Pancasila dan UUD 1945. 
 
“Kedua anti NKRI dan ketiga intoleransi antar umat beragama. Serta keempat adalah berpikir, bergerak dan bercita-cita membangun khilafah islamiyah,” tegasnya. 
 
Oleh karena itu menurutnya, jangan heran jika hari ini ada gerakan di media sosial agar anak-anak negeri ini anti NKRI, benci Pancasila dan UUD 1945. 
 
“Mereka menganggap apapun produk yang dihasilkan pemerintah, dan andaikan di Senayan itu sekelas malaikat sekalipun tetap menganggap thogut,” katanya. 
 
Hal tersebut lantaran ada target besar dari mereka bahwa demokrasi yang berasaskan Pancasila dianggap tidak benar, sehingga muncul dengan terminologi baru dengan nama NKRI bersyariah.
 
Menurut Syarif, negara Mesir, Suriyah, Afganistan tidaklah aman. Afganistan punya tujuh suku bangsa berperang yang tidak selesai-selesai. 
 
“Lalu kenapa NKRI mau diutak-atik? Dan tolong sebutkan, mana ajaran Islam di Indonesia yang dilarang?” katanya balik bertanya.
 
Baginya, banyak hal membanggakan dari negeri ini. Bahkan 22 Oktober dijadikan sebagai hari santri nasional, dan baru-baru ini pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-Undang Pesantren.
 
“Ada juga kelompok yang menolak undang-undang itu karena mereka tahu bahwa santri adalah paku-paku NKRI,” tegasnya.
 
Pesantren dan santrinya akan konsisten dengan menangkal gerakan-gerakan yang anti Pancasila, menghadang kalangan yang akan mengubah negara ini. 
 
“Cukup, kita sudah hidup enak dengan ibadah yang tenang, rukun dan damai di NKRI ini,” pungkasnya. 
 
 
Kontributor: Syafi’ie Huddin
Editor: Ibnu Nawawi