Daerah

Rumah Inklusif Kebumen Gelar Upacara Bendera bagi Para Difabel

Sel, 18 Agustus 2020 | 03:45 WIB

Rumah Inklusif Kebumen Gelar Upacara Bendera bagi Para Difabel

Rumah Inklusif Kebumen, Jawa Tengah menggelar upacara bendera untuk memperingati HUT ke-75 RI, pada Senin (17/8) pagi. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Rumah Inklusif Kebumen, Jawa Tengah menggelar upacara bendera untuk memperingati HUT ke-75 RI, pada Senin (17/8) pagi. Petugas dan peserta upacara ini adalah para penyandang disabilitas bersama keluarganya. Sekitar 50 orang hadir dalam upacara tersebut. Di dalam upacara itu, syair Ya Lal Wathan karya KH Wahab Hasbullah dikumandangkan.


Koordinator Rumah Inklusif Nyai Muinatul Khairiyah mengatakan bahwa selama ini upacara bendera pada 17 Agustus selalu diikuti oleh para ASN, pejabat negara, tantara, polisi, dan orang-orang sekolahan atau berpendidikan.


“Tapi sejak tahun lalu, Rumah Inklusif menggelar upacara bendera yang pesertanya adalah anak-anak disabilitas yang tidak sekolah. Tahun ini adalah kali kedua kami menggelar upacara bendera,” katanya, melalui telepon, Senin (17/8).


Dikatakan, Rumah Inklusif yang berdiri sejak 2011 ini merupakan tempat berkumpul keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Kemudian dalam perjalanannya, ada banyak penyandang disabilitas yang merasa nyaman di sana. Bertahun-tahun pula para pegiat kian bertambah, seperti dari kalangan mahasiswa dan santri.


“Motivasi saya mendirikan Rumah Inklusif ini dimulai dari diri saya sendiri yang punya anak penyandang disabilitas, yaitu tunadaksa. Anak saya tunadaksa. Ketika anak saya lahir, saya terpuruk. Sama sekali tidak berpikir soal dunia sosial apa pun,” kata Nyai Iin, demikian sapaannya. 


Ia bercerita, pernah suatu ketika bertemu dengan seseorang yang memiliki anak penyandang disabilitas. Kemudian anak itu memeluknya, tanpa tangan. Dari situlah, titik balik Nyai Iin akhirnya mengabdikan dirinya untuk orang-orang yang memiliki keresahan sama.


“Jadi pintu itu adalah anak. Saya tidak akan berbuat seperti sekarang ini jika tidak dikaruniai anak yang menyandang disabilitas. Akhirnya saya berpikir, saya harus mendengar suara-suara mereka, saya harus belajar dunia mereka,” katanya, haru.


Karena itu, lanjut Nyai Iin, Rumah Inklusif dijadikan sebagai wadah untuk berkumpul keluarga disabilitas, tempat untuk saling mencurahkan isi hati, dan rumah yang berfungsi untuk membesarkan jiwa manusia.


“Keluarga kami (di Rumah Inklusif) tersebar di beberapa desa. Problem keluarga yang akhirnya bergabung di sini itu karena kesulitan mengurus anak disabilitas dan akhirnya kami bantu di sini. Kita tidak pernah memaksa agar mereka ikut kegiatan-kegiatan di sini, tapi kita saling mendukung,” kata Pengurus PP IPNU di era 1990-an ini.


Nyai Iin berharap agar anaknya kelak dapat dimanusiakan oleh orang lain. Maka, hal yang harus dilakukan adalah dengan memuliakan anak-anak disabilitas yang lain. Sebab, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan.


“Saya berharap, anak saya harus berpikir bahwa jika ingin dihargai orang lain itu tergantung pada bagaimana kamu belajar, berkarya, bersikap. Karena kelak hidup mereka akan hidup berguna bagi masyarakat,” jelas seorang yang pernah menjabat sebagai Ketua PC IPPNU Kabupaten Kebumen ini.


Kini, menurutnya, sekitar 80 persen hidupnya dihibahkan untuk mengurusi anak-anak disabilitas di Rumah Inklusif itu. Di rumahnya, ada lima anak disabilitas yang tinggal di situ. Selebihnya, pergi pulang untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Rumah Inklusif. 


“Seiring berjalannya waktu ada dermawan yang membantu kami untuk membangun Joglo di belakang rumah saya, untuk aktivitas anak-anak disabilitas itu. Dulu, kami berkegiatan hanya di mushola dekat rumah saya,” katanya.


Salah satu dari sekian banyak kegiatan Rumah Inklusif adalah kerajinan tangan membuat batik pegon, yang masing-masing memiliki edisi cerita. Motif batik itu salah satunya adalah mengisahkan tentang kehidupan kaum disabilitas yang masih jauh dari akses pendidikan.


“Banyak dari mereka yang tidak diterima di sekolah-sekolah formal. Kalaupun diterima mereka harus keluar atau dikeluarkan karena dianggap tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik,” kata Nyai Iin menjelaskan.


Ia menegaskan bahwa Rumah Inklusif didirikan tidak sama sekali berorientasi pada keuntungan materi. Dalam perjalanannya, Nyai Iin tidak pernah meminta bayaran sedikit pun kepada keluarga yang menitipkan anak-anaknya itu. 


“Semuanya di sini gratis. Tidak dipungut biaya sepeser pun,” tegasnya.


Terakhir, perempuan aktivis Nahdlatul Ulama ini sangat berharap banyak kepada organisasi Islam terbesar di Indonesia itu. Sebab, hampir 99 persen dari keluarga yang menitipkan anak kepadanya itu adalah Nahdliyin, sekalipun Rumah Inklusif tidak pernah membawa embel-embel NU.


“Saya berharap NU-lah yang menjadi garis terdepan untuk mengurusi warganya yang masih tersingkirkan ini. Perhatikanlah umat-umatnya,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad