Probolinggo, NU Online
Menjadi santri, bukan berarti harus menjadi kiai atau pengasuh pesantren. Tetapi, bisa menggeluti profesi apapun. Seperti Muhammad Haris, alumnus Pesantren Zainul Hasan dan Darul Ulum Jombang, yang kini menjadi dokter dan direktur rumah sakit.
<>
Tidak sulit untuk mengenal dan bertemu dengan Muhammad Haris. Seorang dokter sekaligus salah seorang Pengasuh Pesantren Zainul Hasan (Zaha) Genggong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo itu, sudah banyak dikenal masyarakat. Baik masyarakat biasa maupun para pejabat atau pengusaha.
Untuk menemuinya, datang saja ke Pesantren Zaha Genggong. Masyarakat sekitar, akan menunjukkan rumah dimana Muhammad Haris tinggal. “Sejak kecil, kehidupan pesantren sudah tidak asing lagi bagi saya. Karena saya lahir di lingkungan pesantren,” ungkap lelaki yang akrab disapa Gus Haris ini.
Lelaki kelahiran Jombang, 27 September 1974 itu mengaku merasa sangat tidak asing dengan kehidupan pesantren. Sebab, ia dilahirkan di tengah-tengah lingkungan sebuah pesantren di Jombang. Tetapi ia mengaku soal pendidikan agama dan kehidupan pesantren yang sebenarnya, mulai dirasakan kali pertama di Pesantren Zaha Genggong.
Beberapa tahun sebelum merasakan pendidikan sekolah dasar, dirinya menetap di Pesantren Zaha. Sejak itulah, dirinya mulai belajar ilmu agama dan mengenal kehidupan pesantren. Bahkan, ia dibimbing oleh kakeknya Almarhum KH. Hasan Saifourridzall (Pengasuh ketiga Pesantren Zaha).
“Saya ingat betul, waktu pertama diajari mengaji oleh kakak di Genggong. Pertama saya merasakan pendidikan pesantren ya di Genggong,” jelasnya.
Namun masa belajar Gus Haris di Genggong tidak berlangsung lama. Sebab, sesuai tradisi keluarganya, keluarga Pesantren Zaha harus belajar di luar lingkungan Pesantren Zaha. Sehingga meski masih duduk di bangku sekolah dasar, pada tahun 1980, Gus Haris harus tinggal jauh dari keluarganya. Ia dikirim ke Pesantren Darul Ulum Jombang.
“Alasan mondok pertama karena diawali keinginan orang tua. Hanya saja, pada akhirnya benar-benar sadar, bahwa apapun yang dilakukan orang tua untuk kebaikan utama saya,” terangnya.
Menurut Gus Haris, kehidupan di pesantren manapun sama. Bahkan, menurutnya masa terbaik untuk belajar dan mengenal kehidupan sesungguhnya adalah di pesantren. Baik itu beratnya kehidupan, kemandirian, kebersamaan, kesabaran dan kedisiplinan. Termasuk, belajar soal pentingnya sebuah keistiqamahan.
“Memory terbaik dalam hidup saya adalah masa-masa hidup di pesantren. Masa dimana kita dipaksa untuk belajar sabar, disiplin, mandiri dan belajar akan pentingnya sebuah keistiqamahan,” ungkapnya.
Dikatakan Gus Haris, pesantren memaksanya untuk belajar arti bertanggung jawab pada diri sendiri. Sebab, kehidupan selama di pesantren itu akan dijalani di tengah-tengah masyarakat. Sehingga,, alumni pesantren akan lebih siap menghadapi kehidupan di tengah-tengah masyarakatdari kalangan manapun. Sebab, di pesantren telah digembleng dengan berbagai jenis disiplin ilmu.
Namun, bila disuruh membandingkan antara suka dan duka saat mondok, Gus Haris mengaku lebih banyak dukanya. Misalnya saat mandi di sungai, maka kerap harus iuran untuk nanak bersama. Bahkan tidur pun numpuk menjadi satu tanpa alas.
“Semua serba sederhana dan bersama-sama. Jadi kalau satu kena gatal-gatal, semua juga pasti kena. Bahkan dulu, orang-orang tua bilang, kalau belum pernah kena penyakit gatal-gatal belum dikatakan santri,” kenangnya.
Tetapi itu dulu, beda dengan pesantren saat ini. Kini pesantren juga sudah dilengkapi dengan fasilitas kesehatan. Bahkan, tidurpun juga harus pakai alas dan kualitas makanannya juga terjaga. “ Mungkin sudah beda zamannya. Terpenting pembelajaran kehidupan di pesantren tetap sama dengan yang dulu,” ujarnya.
Putra pasangan suami istri Almarhum KH. Damanhuri Romly dan Hj. Diana Susilowati (Ning Sus) itu mengatakan, santri itu bisa berasal dari kata sun three (tiga matahari) atau tiga keharusan yang harus dimiliki santri. Yakni, iman, Islam dan ikhsan. Ketiganya itu, diajarkan di pesantren. Tetapi apapun makna atau arti kata santri itu, prinsipnya santri harus mampu memberikan manfaat bagi masyarakat sebanyak mungkin. Terlepas apapun profesinya.
“Ibarat matahari yang secara ikhlas dan mampu memberikan manfaat dan kehidupan pada makhluk lain dengan sinarnya,” terangnya.
Bertahun-tahun Gus Haris menyelesaikan studinya di Jombang. Selulus SMA, ia hijrah ke Semarang untuk menimba ilmu kedokteran di Universitas Sultan Agung Semarang. Dan melanjutkan studi Strata -2 Manajemen Kesehatan, kini gelas MKes disandangnya.
Gelar yang disandangnya kini kata Gus Haris itu karena keinginan sang kakek, Kiai Hasan Saifourridzall. Alasannya, keluarga pesantren tidak harus menjadi kiai. Sehingga dirinya dituntut bisa berdakwa di jalan lain, selain menjadi pengasuh pesantren. Baik itu menjadi dokter, pengusaha, kontraktor, insinyur atau apapun. Terpenting dapat memberikan manfaat pada banyak orang.
“Kakek ingin keluarga pesantren tidak hanya menjadi kiai. Karena syiar agama memang harus ada di banyak profesi,” tegasnya.
Keinginan sang kakek itu, dijawab oleh Gus Haris. Kini, ia sudah menjadi dokter. Bahkan dipercaya menjadi direktur salah satu rumah sakit di Kota Kraksaan. Di luar itu, Gus Haris juga pernah membintangi sekitar 3 film dengan masing-masing 17 dan 3 episode.
Redaktur : Mukafi Niam
Kontributor : Syamsul Akbar
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
2
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
3
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
4
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
5
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
6
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
Terkini
Lihat Semua