Daerah

Semarak Agustusan Perlu Dibarengi Kesadaran Makna Kemerdekaan

Ahad, 18 Agustus 2019 | 13:15 WIB

Semarak Agustusan Perlu Dibarengi Kesadaran Makna Kemerdekaan

Pengibaran bendera di kantor PWNU jatim.

Kendal, NU Online
Semarak masyarakat dalam menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia tidak ubahnya serupa dengan tahun-tahun sebelumnya. Antusiasme masyarakat pada umumnya berbentuk aneka ragam perlombaan yang menarik. Pun demikian, sebagian golongan justru nyinyir atau menganggap kegiatan tersebut hanya hura-hura. 
 
Menurut salah satu pengasuh Pondok Pesantren Sabilunnajah Desa Penjalin Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal, Jawa Tengah yakni Kiai Mandzur Labib, perlombaan sebagai bentuk rasa syukur suka cita dan sarana untuk memperkokoh persatuan. Selain bersuka cita dalam lomba, masyarakat juga perlu mengerti substansi antara semarak Agustusan dalam perlombaan dan arti kemerdekaan.  
 
"Para santri dan masyarakat pada umumnya mengadakan kegiatan berbagai lomba untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan. Ini merupakan sebuah ungkapan rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan, dan itu sesuai perintah Allah dalam Alquran Surat Ibrahim ayat 7 Juz 13," katanya, Ahad (18/8).
 
Gus Labib, sapaan akrabnya, melanjutkan, kegiatan perlombaan juga untuk mengenang jasa para pahlawan dan memupuk jiwa patriotisme generasi penerus bangsa. 
 
“Sebab, Syaikh Musthafa Al-Ghulayani dalam Idzatun Nasyiin menegaskan kemerdekaan adalah sebuah karunia Allah SWT. Karena itu, dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa karunia berupa kemerdekaan diharapkan membuat manusia bisa memberi manfaat yang baik untuk dirinya sendiri dan juga orang lain,” terangnya. 
 
Menurutnya, orang yang merdeka dalam pengertian baru dan benar adalah dapat dilihat beberapa faktor. “Yakni orang yang murni pendidikannya, bersih jiwanya, berpegang teguh dengan sifat-sifat terpuji, menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela, melepaskan diri dari segala bentuk ikatan perbudakan dan melaksanakan kewajiban yang menjadi kewajibannya," jelasnya.
 
Lebih lanjut Gus Labib mengingatkan, saat ini tinggal menikmati hasil perjuangan para pahlawan yang telah gugur. Namun bukan berarti tinggal diam ongkang-ongkang kaki, melainkan mempertahankan kemerdekaan justru lebih berat. 
 
Dia mencontohkan perjuangan setelah kemerdekaan yaitu memperjuangkan kemandirian ekonomi, mengejar ketertinggal dalam kemajuan teknologi dan lain sebagainya. 
 
"Nah, beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap generasi penerus bangsa Indonesia adalah meningkatkan jumlah orang-orang terpelajar yang bermoral tinggi dan baik, yang di dalam dirinya telah tertanam kuat cinta tanah air itu adalah bagian dari keimanan," tuturnya.
 
Gus Labib melanjutkan, dahulu para santri jarang yang sekolah formal, akan tetapi saat ini lulus S2 sudah biasa, bukan prestisius lagi. Sebab itu seperti yang diajarkan dalam kitab, upaya meningkatkan jumlah kaum terpelajar tidak akan terwujud kecuali dengan semangat jihad melawan kebodohan. 
 
"Harus berani mengorbankan harta dengan niat demi kemaslahatan umum, mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mencerdaskan masyarakat melalui pengajian di musalla atau masjid, dan pesantren, atau bahkan membangun lembaga pendidikan formal yang dapat menghembuskan jiwa nasionalisme," urainya.
 
Menurut kiai muda yang pernah diamanahi sebagai Ketua Pengurus Wilayah (PW) Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Jateng ini, kesadaran nasionalisme sejak dini pada jiwa para pelajar dapat melahirkan gagasan mulia dan amal saleh. 
 
Lebih dari itu juga sanggup membangkitkan semangat menjadi dewasa untuk berkhidmat demi kepentingan negara yang berada di ambang kehancuran oleh ulah sebagian golongan masyarakat yang tidak bertanggung jawab yang tanpa sadar kejahatannya melebihi musuh bangsa yang sebenarnya. 
 
"Merdeka bukan berarti bebas semaunya sendiri, sehingga merasa bebas membahayakan dirinya sendiri dan orang lain," tegasnya.
 
Dicontohkannya, perilaku berfoya-foya, tindakan yang semena-mena, merusak tatanan kemasyarakatan dengan menyebarkan paham anti NKRI dan merasa paling benar sendiri dalam persoalan khilafiah sehingga menganggap kafir terhadap yang beda dengannya. 
 
Karena itu Gus Labib mengingatkan untuk meniru semangat perjuangan dari kisah Pangeran Diponegoro, seorang santri Kiai Ageng Besari yang nama aslinya Abdul Hamid.
 
"Pangeran Diponegoro membuat Belanda kocar kacir. Beliau salah satu teladan bagi para santri. Santri harus turut ambil peran dalam semua sendi kehidupan dalam menjaga keutuhan NKRI dan menyebarkan Islam yang damai apapun profesinya," tuturnya.
 
Untuk diketahui pula, Pesantren Sabilunnajah telah mendirikan Madrasah Tsanawiyah Plus Sabilunnajah. Saat ini, tengah dalam proses mendirikan sekolah kejuruan. (A Rifqi H/Ibnu Nawawi)