Daerah

Teladani Pendiri NU, Ansor-IKA PMII Maros Diskusikan ‘Kiaiku Pahlawanku’

Sab, 13 November 2021 | 07:00 WIB

Teladani Pendiri NU, Ansor-IKA PMII Maros Diskusikan ‘Kiaiku Pahlawanku’

Suasana diskusi panel di Warkop Amure oleh GP Ansor dan IKA PMII Maros Sulsel. (Foto: Dok. Ansor Maros)

Makassar, NU Online
Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Maros dan Pengurus Cabang Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA-PMII) Maros mengadakan diskusi panel dalam rangka memperingati momentum Hari Pahlawan Nasional 10 November di Warkop Amure Jln Crisant, Kelurahan Pettuadae, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.


Diskusi bertema Kiaiku Pahlawanku ini dihadiri panelis Safaruddin dari Pimpinan Cabang GP Ansor Kabupaten Maros dan Abdul Rahman dari Pengurus Cabang IKA PMII Kabupaten Maros.


Abdul Rahman, dalam pandangannya mengungkapkan bahwa dalam tinjauan keagamaan khususnya di Nahdlatul Ulama, jauh sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia ini, NU telah mencetuskan konsep bernegara yaitu negara Darussalam.


“Sedangkan dari tinjauan keindonesiaan sendiri, proses kemerdekaan Indonesia tidak hanya diperjuangkan oleh beberapa kelompok saja. Tetapi, diperjuangkan dengan banyak kelompok,” jelas Rahman dalam diskusi yang digelar pada, Rabu (10/11/2021).


Oleh karena itu, lanjut dia, karena negara diperjuangkan oleh latar belakang masyarakat yang berbeda-beda, maka sepatutnya dapat memahami agama sesuai dengan substansinya dan tidak memaksakan suatu kehendak.


“Sehingga tercapai visi negara yang baldatun tayyibatun warabbun ghafur,” jelas Dosen STAI DDI Maros ini.


Sementara Safaruddin, panelis dari GP Ansor Maros, mencoba mengkaji fatwa dari Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari, yakni Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945. Fatwa ini merupakan energi besar yang dijadikan pegangan oleh ulama, santri, dan warga NU yang diwariskan sampai sekarang.


KH Abdul Wahab Chasbullah yang mencetuskan jargon Hubbul Wathan Minal Iman (mencintai tanah air adalah sebagian dari iman), lanjutnya, merupakan konsep mencintai negara. Ini sangat penting untuk ditanamkan kepada seluruh elemen bangsa.


“Karena kita dapat melihat di luar sana, seperti Suriah, sampai sekarang masih berjibaku dengan peperangan. Hal ini tentu saja dipicu akibat tidak adanya konsep mencintai bangsa dan negaranya sendiri,” tandasnya.


Posisi sentral Maros
Sedangkan dalam konteks Kabupaten Maros sendiri, jika ditinjau dari sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, Maros memiliki posisi sentral dalam melahirkan tokoh ulama dari jaringan tarekat yang ada.


Maka dari itu, salah satu langkah nyata untuk menghargai perjuangan para ulama yang pernah mewarnai peradaban Islam di Kabupaten Maros, pemerintah daerah bersama seluruh pihak diharapkan mampu mengidentifikasi jejak para ulama, merawat, sekaligus mendokumentasikan karya-karyanya.


“Ini sekali lagi sebagai salah satu apresiasi kita kepada para ulama, yang sejatinya mereka juga adalah pahlawan tapi dalam konteks lokal,” tutur Dosen STAI DDI Pangkep ini.


Ketua PC GP Ansor Maros, Abrar Rahman, yang juga sebagai pembanding diskusi,  mengatakan bahwa jauh sebelum negara ini berdiri, para ulama telah mengkonsolidasikan proses-proses kemerdekaan bangsa dimulai sejak 1924 dalam momen pembentukan wadah bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Tashwirul Afkar (Kebangkitan Pemikiran), dan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar).


Lalu, dibentuklah Komite Hijaz oleh Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari, yang kemudian diketuai oleh KH A Wahab Hasbullah. Hal inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya ormas besar bernama Nahdlatul Ulama.


“Karena itu, kaum muda NU dan santri harus melek sejarah, bahwa kemerdekaan bangsa kita ini tidak terlepas dari perjuangan para ulama kita, peran ulama dengan segala bentuk ikhtiar lahir batin yang dilakukan mampu mendorong banyak pihak untuk terlibat dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan negeri ini," tandas Abrar.


Sebagai contoh, para ulama terdahulu mengeluarkan suatu fatwa jihad fisabilillah yang saat ini dikenal dengan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 yang menjadi pemicu peristiwa perang 10 November di Surabaya melawan tentara Inggris dan Belanda sekaligus untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945.


“Sekarang, kita hanya dituntut untuk memastikan bahwa negara ini tidak dirongrong oleh kelompok yang mau mengubah ideologi negara yakni, Pancasila,” jelas Abrar.


“Maka dari itu, sebagai kaum muda NU, khususnya kader GP Ansor harus menjadi pejuang di garda terdepan dalam upaya mengkontekstualisasikan spirit resolusi jihad NU di masa kini dan ke depan,” tambahnya.


Resolusi Jihad dalam konteks kekinian adalah perjuangan menghadapi kelompok-kelompok intoleran yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.


“Mengawal kiai-kiai NU dalam menjalankan aktivitas dakwahnya, serta mengambil peran-peran strategis di tengah masyarakat, dalam upaya menjaga Pancasila dan keutuhan NKRI,” pungkas Abrar.


Kontributor: Ridwan
Editor: Musthofa Asrori